Semasa hidup, Ibu Teresa pernah mengunjungi keluarga Hindu miskin. Dalam kunjungannya, penerima hadiah Nobel perdamaian itu membawa beras untuk membantu keluarga tersebut. Nyonya rumah menerimanya, membagi beras itu menjadi dua, lalu pergi ke luar rumah.
Ketika wanita itu kembali, Ibu Teresa bertanya ke mana dia pergi. ”Ke rumah tetangga,” jawabnya, ”mereka juga lapar.”
Ibu Teresa adalah sosok insan merdeka. Dia memperlihatkan jiwa merdeka kala meninggalkan negerinya dan pergi ke India sebagai misionaris. Dia juga menampakkan diri selaku pribadi merdeka saat meninggalkan pelayanan sebagai kepala sekolah dan membuka ladang pelayanan baru dalam kekumuhan masyarakat Kolkata. Kisah tadi memperlihatkan kemerdekaan Ibu Teresa sewaktu memberikan beras kepada keluarga dina itu.
Memberi kepada orang lain merupakan tindakan insan merdeka. Dia tak lagi terikat dengan benda tersebut. Dia bersikap lepas-bebas terhadap barang yang dimiliki. Dia rela melepas agar orang lain bisa merasakan apa yang dinikmatinya.
Tindakan merdeka itu menular. Keluarga Hindu miskin itu ternyata tak mau menikmati beras sendirian. Mereka teringat kepada tetangga mereka yang juga lapar. Mereka berbagi agar orang lain bisa makan.
Keluarga Hindu miskin itu juga insan merdeka. Hati dan pikiran mereka tidak melekat pada beras. Mereka rela melepaskannya. Meski sadar, beberapa hari kemudian mereka mungkin tak lagi punya beras untuk dimakan. Agaknya, mereka tak terlalu hirau masa depan. Saat memiliki beras, mereka ingin tetangga sebelah juga merdeka dari lapar.
Kemerdekaan merupakan sikap hidup. Soalnya: apakah seseorang merdeka terhadap harta miliknya? Dan menjadi insan merdeka merupakan panggilan insani karena—mengutip sabda Sang Guru—”Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21).
Selamat bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional