Posted on Tinggalkan komentar

Insan-insan Merdeka

Semasa hidup, Ibu Teresa pernah mengunjungi keluarga Hindu miskin. Dalam kunjungannya, penerima hadiah Nobel perdamaian itu membawa beras untuk membantu keluarga tersebut. Nyonya rumah menerimanya, membagi beras itu menjadi dua, lalu pergi ke luar rumah.

Photo by Nick Agus Arya on Unsplash

Ketika wanita itu kembali, Ibu Teresa bertanya ke mana dia pergi. ”Ke rumah tetangga,” jawabnya, ”mereka juga lapar.”

Ibu Teresa adalah sosok insan merdeka. Dia memperlihatkan jiwa merdeka kala meninggalkan negerinya dan pergi ke India sebagai misionaris. Dia juga menampakkan diri selaku pribadi merdeka saat meninggalkan pelayanan sebagai kepala sekolah dan membuka ladang pelayanan baru dalam kekumuhan masyarakat Kolkata. Kisah tadi memperlihatkan kemerdekaan Ibu Teresa sewaktu memberikan beras kepada keluarga dina itu.

Memberi kepada orang lain merupakan tindakan insan merdeka. Dia tak lagi terikat dengan benda tersebut. Dia bersikap lepas-bebas terhadap barang yang dimiliki. Dia rela melepas agar orang lain bisa merasakan apa yang dinikmatinya.

Tindakan merdeka itu menular. Keluarga Hindu miskin itu ternyata tak mau menikmati beras sendirian. Mereka teringat kepada tetangga mereka yang juga lapar. Mereka berbagi agar orang lain bisa makan.

Keluarga Hindu miskin itu juga insan merdeka. Hati dan pikiran mereka tidak melekat pada beras. Mereka rela melepaskannya. Meski sadar, beberapa hari kemudian mereka mungkin tak lagi punya beras untuk dimakan. Agaknya, mereka tak terlalu hirau masa depan. Saat memiliki beras, mereka ingin tetangga sebelah juga merdeka dari lapar.

Kemerdekaan merupakan sikap hidup. Soalnya: apakah seseorang merdeka terhadap harta miliknya? Dan menjadi insan merdeka merupakan panggilan insani karena—mengutip sabda Sang Guru—”Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21).

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menyalibkan Diri

”Seseorang yang sudah menikah selama 50 tahun ditanya tentang rahasia perkawinannya yang bahagia. Dia menjawab, setiap hari ada sesuatu yang dia tahan untuk dikatakan. Dia menyalibkan dirinya setiap hari.”

Demikianlah salah satu kunci rumah tangga sehat menurut Ajith Fernando, dalam bukunya Aku dan Seisi Rumahku: Kehidupan Keluarga Pemimpin Kristiani. Masih menurut Ajith Fernando, ”Kegagalan kita untuk menyalibkan diri akan membawa ketidakbahagiaan dalam rumah tangga kita.”

Sejatinya, menyalibkan diri merupakan praktik dasar dalam kehidupan bersama kristiani. Jika tidak ada yang mau menyalibkan diri bisa dipastikan bahwa sebuah keluarga akan hancur berantakan. Dan akan lebih baik lagi, jika setiap orang mendahulukan kepentingan pasangannya.

Dalam sebuah perkawinan, jelas Ajith, ”Akhir dari konflik yang kita harapkan bukanlah kemenangan ego, melainkan kesatuan di bawah kehendak Allah dan ketika kita sudah menemukannya, maka kita harus tunduk terhadap kehendak Allah tersebut.” Dengan kata lain, bukan siapa yang menang, tetapi Allahlah yang harus dimuliakan.

Tak gampang memang. Namun, menyangkal diri demi ketaatan kepada Kristus sesungguhnya merupakan jalan menuju hidup. Tak hanya di dunia nanti, tetapi juga di dunia perkawinan kita.

Dan itu bisa dimulai dengan belajar menahan diri untuk mengatakan sesuatu yang mungkin menyakitkan pasangan kita. Terutama ketika hati kita sedang dikuasai emosi.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jika Garam Itu Menjadi Tawar

Seorang murid bertanya kepada Kung Fu Tse, ”Guru, semakin lama kita hidup dan semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita mengetahui. Dari sekian banyak hal itu, apa yang paling perlu kita pelajari dan ketahui?” Kung pun menjawab, ”Li.” Demikianlah percakapan yang direkam Andar Ismail dalam bukunya Selamat Menabur”.

Menurut Kung Fu Tse—filsuf Cina yang hidup pada abad ke-5 SM—yang paling perlu dalam hidup manusia adalah mengetahui dan menjalankan li. Li berarti peran yang sesuai hakikat, perilaku pantas, atau sikap hidup yang patut. Dan setiap orang mempunyai sedikitnya satu li.

Misalnya, li seorang majikan adalah mengupayakan kesejahteraan karyawannya sebaik mungkin, sedangkan li karyawan adalah berdedikasi dengan kinerja setinggi mungkin. Kalau jadi guru, mengajarlah dengan segenap hati; kalau menjadi murid, belajarlah dengan sepenuh hati. Intinya, hidup berkualitas.

Yesus Kristus agaknya tengah membicarakan li saat berujar, ”Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?” (Mat. 5:13). Hakikat garam adalah asin. Fungsinya menggarami. Ketika garam kehilangan asinnya, maka dia akan kehilangan fungsinya; dia tidak dapat menjalankan li-nya.

Menurut G.M.A. Nainggolan, mantan pemimpin redaksi BPK Gunung Mulia juga guru kepengarangan saya, ”Lebih baik jadi kuli yang dibutuhkan, ketimbang bos yang tidak dibutuhkan orang.”

Karena itu, menjaga kadar garam merupakan keniscayaan. Caranya: berlatih, berlatih, dan berlatih. Latihan akan membuat kita sempurna. Sebab, tanpa rasa asin, mustahil kita mampu menggarami tempat di mana kita berada. Juga di tempat kerja kita hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Meningkatkan Kapasitas

”Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka” (Mat. 25:14). Demikianlah Sang Guru memulai perumpamaan-Nya.

Hal kerajaan surga itu berkait dengan kepercayaan. Sang tuan memercayakan hartanya kepada para hambanya, masing-masing menurut kesanggupannya.

Jelaslah, para hamba itu merupakan orang kepercayaan. Jika tidak, mana mungkin tuan itu mau memercayakan hartanya. Mereka dipercaya. Modal dasar seorang hamba adalah kepercayaan.

Kepercayaan juga modal utama sebuah pekerjaan. Jika hari ini kita masih bekerja, sejatinya kita masih dipercaya. Dan jalan terlogis adalah menghidupi kepercayaan itu dengan penuh tanggung jawab.

Itulah yang dilakukan hamba-hamba yang mendapatkan lima dan dua talenta. Mereka tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Mereka mengembangkan talenta mereka. Dan hasilnya, peningkatan wewenang dan tanggung jawab.

Sayangnya, hamba yang mendapat satu talenta, tak merasa diri sebagai orang kepercayaan, malah mengubur talenta itu. Akibatnya, predikat hamba pun dicabut dari dirinya.

Meningkatkan kapasitas diri merupakan hal lumrah. Yang berdampak pada hasil kerja, yang bermuara pada keuntungan tempat kerja. Ujungnya-ujungnya pekerja pulalah yang akan ketambahan rejeki.

Jika tidak ada penambahan rejeki pun, percayalah kita telah meningkatkan kualitas curriculum vitae kita. Itu modal bagi masa depan kita.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Doa Pagi

Ketika orang Filistin telah menduduki lembah Refaim, bertanyalah Daud kepada Tuhan, ”Apakah aku harus maju melawan orang Filistin itu? Akan Kauserahkankah mereka ke dalam tanganku?” (2Sam. 5:19). Tuhan menjawabnya, dan Daud pun berbuat sesuai kehendak Tuhan.

Photo by James Coleman on Unsplash

Sewaktu orang Filistin maju sekali lagi untuk menyerang, Daud tidak serta merta menyerang mereka, namun kembali bertanya kepada Tuhan (2Sam. 5:23). Tuhan berkehendak agar Daud menyerang, tetapi dengan strategi berbeda. Daud taat dan menang.

Meski seorang jenderal tempur yang cakap, Daud merasa perlu bertanya. Masalahnya, banyak orang segan bertanya. Mereka pikir itu hanya akan memperlihatkan kelemahan. Daud tidak. Dia bertanya. Sebelum melangkah, Daud berkonsultasi kepada Tuhan.

Mengapa? Sesungguhnya, Daud, juga kita, takkan pernah tahu masa depan. Tiada yang pasti. Akan tetapi, Allah, Sang Pasti itu, mengetahuinya. Dialah pemegang masa depan. Sehingga, jalan terlogis ialah bertanya kepada-Nya. Caranya? Ya, berdoa!

Doa pagi, setelah bangun tidur, merupakan tindakan tepat untuk mempersiapkan strategi dalam menghadapi hari ini.

Pertanyaannya: bagaimana dengan doa pagi kita hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Melatih Kekuatan

”Memang hitam aku, tetapi cantik, hai puteri-puteri Yerusalem, seperti kemah orang Kedar, seperti tirai-tirai orang Salma.” (Kid. 1:5)

Photo by Stephen Leonardi on Unsplash

Kalimat ini merupakan pengakuan diri. Pengakuan diri yang bersumber pada kenyataan diri. Perempuan itu tidak menyembunyikan kenyataan. Dia tak malu menyatakan bahwa dirinya hitam. Kulitnya tidak putih. Dan dia tidak berusaha memutihkannya.

Dalam BIMK tertera: ”Biar hitam, aku cantik, hai putri-putri Yerusalem; hitam seperti kemah-kemah Kedar, tapi indah seperti tirai-tirai di istana Salomo!” Perempuan itu mampu menerima dirinya. Dia tidak berupaya menjadi orang lain. Bahkan, dia menganggap kehitamannya sebagai kecantikannya. Pada titik inilah kepercayaan diri muncul.

Kepercayaan diri berkembang ketika manusia mampu menerima diri. Kesulitan menerima kenyataan diri akan menyuarkan rasa minder, atau sebaliknya, rasa sombong. Ini jugalah modal utama dalam hubungan antarmanusia.

Rasa percaya diri muncul saat kita mampu menerima kelemahan dan kekuatan diri secara wajar. Dan akan lebih berguna jika kita memfokuskan diri pada kekuatan kita. Melatih kekuatan akan membuat diri kita semakin unik dan berguna. Dan kelemahan pun akhirnya tertutup dengan sendirinya.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Visi

Kita tidak pernah tahu identitas si lumpuh yang terbaring di kolam Betesda itu? Yang pasti dia telah 38 tahun lumpuh (Yoh. 5:5). Kemungkinan dia pernah berjalan sebelumnya. Tiga puluh delapan tahun bukan waktu sebentar.

Namun, si lumpuh tak patah arang. Dia masih memiliki harapan. Meski peluangnya kecil—karena kalah bersaing dengan para penderita sakit lainnya—dia tetap berharap. Bahkan, ketika sadar tak ada orang yang mau mengangkatnya, dia tak sudi meninggalkan kolam itu. Visinya satu: berjalan.

Yesus tahu keinginannya, tetapi Dia merasa perlu bertanya. Guru dari Nazaret itu ingin menguji apakah si lumpuh tetap hidup dalam visinya. Jawaban si lumpuh memperlihatkan bahwa dia masih menghidupi visinya. Itulah sebabnya Yesus menolong dia mewujudkan visinya.

Nah sekarang, apakah visi Anda dalam bekerja? Selaraskah dengan visi perusahaan? Jika tidak, usul saya: pindah tempat kerja. Sebab Anda pasti akan stres setiap hari. Atau, ini jalan terlogis, sesuaikan visi Anda dengan visi perusahaan.

Setelah itu, komunikasikanlah visi itu dengan Allah! Jika memang selaras dengan visi Allah, Allah pasti akan menolong Anda mewujudkannya. Itu hanya soal waktu. Percayalah!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Keprihatinan, Ketaatan, dan Mukjizat

Kita tak pernah tahu siapa para pelayan itu (Yoh. 2:1-11). Namun, mereka menaati perintah Yesus dengan mengisi enam tempayan itu penuh dengan air.

Photo by Dominik Scythe on Unsplash

Mungkin Anda berkata, ”Namanya juga pelayan, ya harus taat!” Saya sepakat. Akan tetapi, kita tahu ada pelayan yang tidak taat, ogah-ogahan, dan tak serius. Ada juga yang menganggap kerja sebagai beban, sehingga menolak saat ketambahan pekerjaan.

Satu tempayan berisi antara 80-120 liter air, anggap 100 liter. Jika satu ember berisi lima liter air, dan dua tangan mengangkat dua ember, maka satu pelayan membutuhkan 60 rit (bolak-balik) untuk enam tempayan. Dua pelayan membutuhkan 30 rit.

Kemudian Yesus meminta mereka mencedoknya dan membawa ke pemimpin pesta. Ini sungguh menggelikan. Mereka tahu persis bahwa yang mereka timba dan cedok air belaka.

Mungkin mereka bingung, bertanya-tanya dalam hati, juga takut dimarahi pemimpin pesta. Masak pemimpin pesta diminta mencicip air! Namun, sekali lagi, mereka taat. Dan pada saat itulah mukjizat terjadi.

Mengapa mereka taat? Sepertinya mereka prihatin atas pesta itu. Mereka tidak ingin pesta itu gagal dan menjadi buah bibir. Mungkin juga karena mereka menyaksikan keprihatinan Maria dan anaknya Yesus. Karena itu, mereka bertindak.

H. A. Oppusunggu—guru penerbitan saya—pernah berkata, ”Modal terbesar perusahaan bukanlah uang, tetapi keprihatinan.” Keprihatinan mendorong orang bertindak.

Keprihatinan para pelayan itu berbuah ketaatan, yang akhirnya berbuah mukjizat!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Dicipta untuk Kemuliaan Allah

”Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yes. 43:4).

Israel berharga di mata-Nya. Begitu berharga, hingga Allah merasa perlu menebusnya. Mereka telah dimerdekakan dari Mesir.

Alasan mendasarnya: Allah menjadikan manusia bukan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia untuk kemuliaan-Nya. Tujuan dasar Allah menciptakan manusia ialah untuk memuliakan Dia (Yes. 43:7).

Tak heran, jika Allah sendiri merasa perlu turun ke dunia—menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus—untuk menebus manusia. Sebab manusia memang dicipta untuk sesuatu yang mulia, yakni memuliakan-Allah.

Itu berarti, profesi atau pekerjaan yang kita pilih merupakan sarana untuk memuliakan Allah. Pertanyaannya: apakah tujuan dasar penciptaan itu sudah tergenapi dalam diri Anda?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kuasa

”Lalu kekuasaan TUHAN meliputi aku” (Yeh. 37:1). Betapa banyak orang—saya juga—ingin memiliki kuasa. Kuasa untuk mengatur orang atau sesuatu. Bangga rasanya jika mampu mengatur.

Photo by Roman Averin on Unsplash

Ada seorang kawan masa remaja bernama Mangatur. Bisa jadi orang tuanya ingin dia menjadi pribadi yang bijak mengatur.

Harus diakui, banyak orang suka mengatur, dan herannya enggak mau diatur. Bahkan, kadang senang melanggar aturan—atas nama wewenang.

Catatan Yehezkiel di pembuangan menarik disimak. Kekuasaan Allahlah yang melingkupinya. Dia dalam kondisi—bukan menguasai—tetapi dikuasai.

Yehezkiel dikuasai Allah, bukan sebaliknya. Dikuasai Allah berarti meletakkan kehendak diri dalam kehendak Allah; menyesuaikan kehendak diri dengan Allah.

Berkait kuasa Allah, memang cuma dua pilihan: dikuasai atau menguasai Allah. Dan Tuhan Yesus pun dalam pencobaan di padang gurun—yang juga berkait kuasa—lebih suka dikuasai Bapa-Nya ketimbang bertindak semaunya.

Kata-kata itu mengikat. Bagi seorang pemimpin, kata-kata itu lebih mengikat lagi, tak hanya bagi orang yang dibawahkannya, terutama dirinya sendiri. Terlebih kata-kata yang memang diyakininya dari Allah sendiri.

Mungkin baik, jika kita berikhtiar: ”Tuhan, ketika diri mulai berpikir, berkata-kata, dan bertindak semaunya, biarlah kuasa-Mu meringkus diriku!”

Selamat bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional