Posted on Tinggalkan komentar

Suluh yang Cendikia dan Mencendikiakan

Sahabat terkasih, hari ini, 1 November 2021, genap sebelas tahun Literatur Perkantas Nasional disahkan menjadi PT Suluh Cendikia oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Sebelas tahun yang membuat kami makin percaya, melayankan Injil melalui media sungguh strategis dan relevan dalam pertumbuhan rohani siswa, mahasiswa, dan alumni.

Sebelas tahun yang membuat kami makin percaya, para sahabat ternyata tak hanya berkenan membeli, melainkan juga memberi, buku. Karena itu kami berterima kasih untuk setiap sahabat yang sudah terlibat dalam penggalangan dana buku selama ini. Laporan penggalangan dana dapat dilihat melalui link berikut: Laporan Donasi Program Berbagi 

Sebelas tahun yang membuat kami makin percaya, kami tak pernah sendirian. Yesus Kristus—Sang Komunikator Agung—telah menjadi sahabat kami dalam melayankan Injil-Nya melalui media, khususnya di kala pandemi.

Dia juga yang menggerakkan semua sahabat kami—pembaca, penulis, penerjemah, sukarelawan, percetakan, toko buku—berkenan menjadi sahabat kami bertumbuh selama ini.

Di tengah kebahagiaan kami, kami juga menyelenggarakan flash sale hari ini. Kiranya program ini juga membahagiakan hati para sahabat.

Akhirnya, doakanlah kami agar tetap setia menjalani panggilan sebagai ”suluh yang cendekia dan mencendekiakan”, agar mampu menjadi ”Sahabat Anda Bertumbuh!”

 

SMaNGaT,

 

Yoel M. Indrasmoro

Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jalan-Nya Tidak Mudah

Banyak hal di dunia ini yang menyebabkan manusia semakin jauh dari Allah. Dosa selalu menghancurkan ciptaan indah Allah, yakni dunia dan segala yang hidup di atasnya. Dalam kondisi ini manusia akan selalu membutuhkan kasih Allah. Manusia selalu haus akan kasih-Nya. Manusia mendambakan terang yang dari Allah.

Di dalam Allah ada kasih kekal. Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus bekerja sama untuk menyelamatkan manusia yang telah jatuh dalam dosa. Itulah satu-satunya penghiburan bagi hati manusia yang sedang berkeluh kesah.

Roh kudus berkenan untuk mengolah hati manusia. Banyak yang dilakukan-Nya dalam kehidupan kita. Bahkan, dalam pergumulan hebat sekalipun, Ia tetap menuntun kita. Bagaimanapun, pada akhirnya oleh anugerah Allah, kita sendiri ingin berjalan di jalan yang ditunjukkan Allah.

Jalan menuju Kristus ialah jalan penyesalan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Dan jalan itu diwarnai oleh emosi yang mendalam, rasa benci terhadap dosa, dan terhadap diri sendiri.

Dalam buku Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus, penulis mengingatkan bahwa semuanya dimulai dari Allah. Dan semuanya menuju kepada Dia. Jalan itu tidak berada di luar dunia ini, melainkan melintasi dunia ini. Dan di situ kita berjalan di belakang Dia, yang telah melintasi dunia ini. Kita berjalan di belakang Juru Selamat melintasi dunia ini menuju Rumah. Jalan-Nya tidak mudah, tetapi penuh harapan.

Heru Santoso

Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Berdoa di dalam Roh

”Berdoa itu sukar. Alangkah senangnya seandainya aku bisa mendapatkan ketenangan untuk berdoa. Orang-orang berbicara begitu indahnya tentang hubungan yang hidup dengan Allah, tetapi selagi berdoa pikiranku terbang ke mana-mana. Aku tidak mampu memusatkan perhatianku dengan baik, dan tidak bisa merasakan juga bahwa aku sedang berbicara dengan Seorang yang mendengarkan. Seakan-akan doaku tidak naik ke atas.”

Kondisi tersebut adalah salah satu contoh dari kehidupan doa orang percaya yang diungkap oleh Egbert Brink dalam buku Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus. Egbert menemukan, ada orang-orang Kristen yang merasa bahwa berdoa kepada Allah yang hidup ialah seperti tugas yang sukar dan beban yang berat. Mereka tidak puas dengan cara doa mereka sehari-hari, dan baru berusaha keras untuk berdoa setelah mereka berada dalam bahaya besar dan tak tahu lagi harus minta tolong kepada siapa.

Dalam menjawab persoalan-persoalan berkait doa, Egbert mendapati bahwa kita memerlukan bantuan Roh Allah ketika kita berdoa. Kekuatan doa tidak pernah terletak dalam isi doa kita, melainkan dalam Dia, kepada siapa kita berdoa. Doa di dalam Roh berarti memusatkan diri pada Allah sendiri. Pergaulan akrab dengan Bapa dan Anak, itulah yang mahapenting.

Egbert menyadari bahwa pada saat Paulus berbicara tentang persenjataan Allah, dia juga mulai dengan seruan untuk mencari kekuatan pada Allah sendiri (lih. Ef. 6:10 dst.). Dengan demikian Paulus menekankan secara khusus ketergantungan kita kepada Allah untuk menjauhkan kita dari kuasa-kuasa jahat. Itu juga berarti, kita memohon supaya dibebaskan dari pikiran-pikiran yang mengganggu usaha kita dalam menjalin hubungan dengan Allah.

Selain itu, Egbert juga menyinggung bahwa doa di dalam Roh bernada sangat berbeda. Doa itu tidak sombong, melainkan memperdengarkan nada yang penuh ketergantungan kepada Allah. Dengan doa itu orang-orang percaya menggali sumber-sumber kekuatan surgawi, dan dengan demikian mereka dapat merasa lega di hadirat Allah.

Dalam hal ini Egbert menyimpulkan, berdoa dalam Roh menunjukkan bahwa doa bukanlah kekuatan dalam dirinya sendiri. Doa bukanlah sebuah energi yang terpisah, melainkan melalui Roh, doa itu menciptakan keterkaitan dengan Allah yang hidup. Allah ingin dilibatkan dalam hidup kita, dan sama sekali tidak mau dikucilkan dari kehidupan anak-anak-Nya. Bahkan, Dia ingin memakai doa-doa itu untuk mencapai tujuan-Nya.

Namun, Egbert mengingatkan, Allah tidak pernah tergantung pada doa-doa kita, kalau Dia memakai kita dalam pelayanan-Nya. Kita sepenuhnya bergantung kepada Dia.

 

Citra Dewi Siahaan

Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Bagaimana Seharusnya Membaca Alkitab?

Alkitab memang bukan sembarang buku. Melalui Alkitab Allah menyapa manusia. Melalui Alkitab pula, manusia menanggapi sapaan Allah itu. Melalui Alkitab, manusia memuaskan rasa rindu mereka kepada Allah. Mereka ingin memperoleh pegangan, kasih, penghiburan, pertumbuhan, dan koreksi. Namun, secara umum orang beranggapan bahwa Alkitab itu sulit dipahami.

Bagaimanakah kita seharusnya membaca Alkitab? Frans Wisselink—dalam buku Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus—menjelaskan kepada pembaca perlunya membedakan antara cerita-cerita alkitabiah dan perintah-perintah alkitabiah.

Dalam Alkiab ada banyak cerita; dan kita harus percaya dengan tulus bahwa cerita-cerita itu menggambarkan apa yang benar-benar telah terjadi. Dalam Alkitab ada juga hukum-hukum dan perintah-perintah dan kita harus menjalankannya dengan taat. Sekali lagi kedua hal itu harus dibedakan.

Sebagai contoh, kisah Ratu Wasti dalam Kitab Ester. Dia kehilangan kedudukannya sebagai ratu karena dianggap tidak taat kepada suaminya. Apakah itu berarti setiap istri harus menaati suaminya tanpa reserve? Tentu tidak bukan! Tergantung konteksnya. Kisah pembuangan Wasti memang membuka jalan bagi Ester untuk menjadi ratu. Namun, kita juga bisa menilai Wasti sebagai seorang perempuan yang teguh dalam prinsip.

Contoh kedua, dalam Kisah Para Rasul Petrus dan Yohanes yang sedang dipenjara secara ajaib dibebaskan. Seorang malaikat membimbing mereka keluar dari penjara. Apakah itu berarti bahwa Allah akan selalu membebaskan utusan-utusan-Nya? Jelas, tidak demikian. Dalam Kisah Para Rasul kita bisa menyaksikan bagaimana Paulus tetap di penjara hingga dibawa ke Roma, atau Stefanus dan Yakobus yang menjadi martir.

Berkait dengan cerita alkitabiah, tentu kita boleh berharap bahwa Allah—jika Dia berkenan—akan memberikan mukjizat-Nya kepada kita seperti dalam cerita. Namun demikian, kita tidak boleh memutlakkannya.

Bagaimana sampai pada kepekaan mampu membedakan antara cerita alkitabiah dan perintah alkitabiah?

Pertama dan terutama adalah marilah kita mulai dengan membaca Alkitab dan merenungkannya! Sebab, bagaimanapun juga, Allah memang ingin menyapa kita!

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Membuka Hati

Dalam dunia psikologis, tingkat depresi turut dipengaruhi oleh respons seseorang dari lingkungan terdekatnya. Semakin depresi seseorang, semakin ia memerlukan perlakuan khusus. Seseorang yang depresi, tetapi merasa dipedulikan pada akhirnya sedikit banyak akan sanggup untuk membuka hatinya. Namun, bagaimana jika seseorang itu diperlakukan sebaliknya?

Buku Kaya Roh: Hidup dalam Roh, Berada dalam Kristus mengungkapkan bahwa banyak sekali berkat yang tersembunyi atau terhalang hanya karena seseorang tidak berani untuk membuka hati. Banyak pergumulan tersembunyi dan tersimpan dalam-dalam hanya karena seseorang tidak mampu membuka hati.

Banyak anak Allah yang karena tidak mempunyai orang lain yang mau mengenal mereka apa adanya lantas merasa kesepian dan tidak bahagia. Di saat-saat seperti itu seseorang membutuhkan orang lain. Seseorang yang mau dan mampu mendengarkan isi hatinya. Seseorang yang mau mengerti situasinya, baik kekalahan maupun kemenangan.

Untuk dapat membuka hati dengan segala sisi kelamnya, seseorang memerlukan orang lain yang dapat ia percaya, yang menunjukkan kasih dan empati yang tulus kepadanya, yang membuatnya merasa aman dan nyaman. Setidaknya dengan begitu ia mampu mengusir rasa takut ditolak dan dihakimi.

Sekalipun demikian, hanya ada Satu Pribadi yang mampu memberikan semua itu. Yesuslah yang senantiasa membuka ruang ketenangan, mengusir rasa takut, dan memuaskan hati kita. Secara pribadi maupun bersama-sama dengan orang lain kita bisa mencari dan menemukan kembali kebahagiaan sejati di dalam Kristus.

Pengampunan Allah senantiasa bagaikan minyak penyembuh bagi jiwa kita. Kasih Allah sanggup mengusir segala rasa takut, ketidakpuasan, dan kebimbangan. Ialah yang senantiasa memberikan kita kelegaan (lih. Mat. 11:28).

Febriana DH

Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Rumah Allah

Kehausan Anda tidak mungkin terpuaskan, meskipun Anda berhasil memperoleh segala sesuatu di bumi ini. Anda tidak akan pernah berhenti mencari-cari.

Manusia memang tidak pernah merasa puas. Dalam hidup bergereja kadang kita menemukan orang yang suka pindah-pindah gereja. Mereka terus-menerus mencari gereja yang sesuai dengan keinginannya.

Di tengah-tengah segala tawaran dunia, Kristus memperkenalkan diri-Nya sebagai Air Hidup, yang dapat memuaskan dahaga kita. Sehingga ketika pergi ke gereja, kita tidak perlu mengajukan tuntutan. Bertemu dengan orang-orang yang tak mudah diajak bergaul semestinya tidak lagi menyurutkan kerinduan kita untuk berjumpa dengan Kristus.

Dari kenyataan itu kita belajar memandang gereja dan dunia, memandang orang-orang di sekitar kita. Bukan diri kita sebagai pusatnya, tetapi rumah di dalam hati kita, di mana kita datang ke hadapan Allah. Itulah satu-satunya cara untuk secara bersama-sama dapat menjadi rumah untuk Allah.

Dalam buku Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus, Bas Luiten mengajak kita belajar saling membantu, memercayai, peka, mengasihi, mendorong, dan setia satu sama lain dalam menyambut Allah.

Dengan cara itu terjadilah awal hidup bersama dengan semua orang kudus di rumah Allah sendiri.

Heru Santoso
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Identitas Sejati

Kartu Tanda Penduduk (KTP) dapat dikatakan sebagai salah satu penunjuk identitas ”utama” kita sebagai warga negara. Padahal di dalam KTP hanya ada sedikit keterangan tentang diri kita. Bila kita mau bertanya lebih jauh, apa yang sebetulnya menentukan identitas kita? Pertanyaan seperti—untuk apa kita hidup; tujuan hidup kita; Apa atau siapa yang menguasai hidup kita;—seharusnya mengusik nurani kita lebih dalam.

Setiap orang lahir di bumi sebagai bayi, dan sejak semula tergantung sepenuhnya kepada manusia lain. Hal itu terus berkembang dan tanpa kita sadari, setelah beberapa lama diri kita sudah dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan itu. Identitas, norma-norma, kapasitas dan perilaku kita, sebagian besar dibentuk dan dikembangkan dari dalam lingkungan.

Hal itu juga terjadi secara rohani. Sebagai manusia, kita menghirup udara di lingkungan rohani sekitar kita. Pada zaman dengan arus informasi yang mengalir deras tiada hentinya, masyarakat semakin lama semakin bersikap hedonis dan konsumtif. Mereka sibuk ingin memuaskan segala keinginan pribadi mereka dengan cepat, dan cenderung mengesampingkan kepentingan sosial.

Dalam situasi seperti itu, timbul pertanyaan mengenai identitas kita sebagai Kristen; Di mana kita seharusnya menanamkan akar-akar kehidupan kita? Apakah atau siapakah yang memengaruhi kemauan kita, pemikiran, perasaan dan tindakan kita?

Dalam buku Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus, penulis Jan Waselling menjelaskan bahwa Tuhan Yesus sendiri berbicara—dengan cara yang sangat mengesankan—tentang suatu hal yang mutlak diperlukan, yaitu kelahiran yang baru. Karya terpenting yang dilakukan Roh Allah ialah untuk melahirkan manusia dari Allah.

Menurut penulis, ”Kelahiran kembali” itu bukan semata-mata suatu kejadian penuh emosi yang meluap-luap dan yang timbul dengan tiba-tiba. Kelahiran kembali itu adalah mukjizat bahwa manusia mulai hidup dari Atas, dalam Roh Tuhan Yesus. Jika kita dipenuhi oleh Roh, kita justru menjadi manusia sejati, seperti yang dikehendaki Allah.

Jika kita hidup di dalam Kristus maka Kristus hidup di dalam diri kita. Dan dalam Dia kita akan menemukan identitas sejati diri kita.

Rycko Indrawan S.
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Allah atau Berkat-berkat-Nya?

Siapakah aku? Demikianlah pertanyaan manusia sepanjang abad. Itu jugalah pertanyaan Daud: ”Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya” (Mzm. 8:4-5).

Dengan rumusan tanya itu, Daud melihat manusia dalam relasinya dengan Allah. Manusia tidak dilihatnya sebagai pribadi otonom—lepas dari Allah; tetapi sebagai pribadi yang diingat dan diindahkan Allah. Dan karena itulah, Daud mengaku dalam refrein, ”Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!” (Mzm. 8:2, 10).

Itu jugalah yang ditekankan Henk ten Brinke, dkk. dalam bukunya Kaya Roh: Hidup oleh Roh, Berada dalam Kristus. Penulis menekankan adanya kaitan antara iman dan relasi. Beriman berarti memercayakan diri. Dan memercayakan diri mensyaratkan  adanya relasi.

Allah adalah Pribadi yang selalu membuka jalan. Kalimat tanya ”Di manakah Engkau?” (Kej. 3:9) menegaskan kerinduan Allah untuk terus bergaul akrab dengan manusia. Dosa adalah situasi di mana manusia merenggut dirinya sendiri lepas dari Allah. Dan hingga kini Allah terus menyapa manusia karena itulah hakikat penciptaan manusia—persekutuan antara Allah dan manusia.

Pada titik ini juga relasi dengan Allah lebih signifikan ketimbang pengalaman iman. Persoalannya, manusia kadang lebih menekankan suatu peristiwa yang wah dan adikodrati, yang akhirnya malah menjerumuskannya dalam jurang kesombongan rohani. Padahal semua peristiwa itu sejatinya berkat Allah semata.

Nah, sekarang pilih mana: Allah atau berkat-berkat Allah?

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kematian Bukan Akhir Segalanya

”Jangan merohanikan hal ini. Hadapilah kenyataan. Tidak berpura-pura. Jika inilah akhir dari hidupnya, maka hadapilah akhir hidupnya.” Kalimat inilah yang muncul dalam benak Mark Yaconelli ketika melihat kondisi ayahnya yang kritis akibat kecelakaan mengerikan. Ia belum pernah sedekat ini dengan kematian. Akhirnya, sekitar menjelang dini hari, jantung sang ayah yang lemah dan berdenyut tidak beraturan, melambat, dan kemudian makin melambat, dan akhirnya berhenti.

Kisah ini menginspirasi bab terakhir buku Karunia Penderitaan: Menemukan Allah dalam Situasi Sulit dan Mencekam, yang ditulis oleh Mark sendiri. Tak ada seorang pun yang dapat luput dari kematian. Cepat atau lambat setiap insan pasti mengalaminya. Kita hanya sedang menunggu giliran. Itu artinya, kita perlu mempersiapkan diri bilamana saat itu tiba.

Yang menarik dari kisah Mark, sekalipun diliputi kepedihan yang memilukan, ia merasa damai. Kedamaian yang tak terbantahkan itu mengalir dan mengalir di balik hatinya yang pilu. Bahkan, sejak saat itu saudara perempuan Mark tidak lagi takut pada kematian karena, entah bagaimana, ia pun merasakan kedamaian. Dengan kata lain, ia menjadi siap menghadapi kematian.

Sejatinya, kematian bukanlah akhir segalanya. Sebagai Kristen kita mengimani bahwa ada kehidupan setelah kematian. Sebagaimana tertulis dalam 1 Tesalonika 4:14: ”Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.” Kematian memungkinkan kita bertemu dengan Sang Sumber Damai Sejati.

Dan sampai saat itu tiba, kita bisa terus mempersiapkan diri dengan menjadikan doa Musa dalam Mazmur 90:12 sebagai doa kita juga: ”Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati bijaksana.”

Citra Dewi Siahaan
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Karunia Kegelapan

“Allah tiba-tiba menjadi diam, tersembunyi dan tidak dapat diakses. Ibadah, doa, dan praktik rohani lainnya tidak memberikan penghiburan seperti yang biasanya saya dapatkan. Praktik keimanan saya mulai terasa tidak berguna, sering kali kosong, terasa asing dan bahkan tidak autentik. Kitab Suci menjadi datar dan tidak menarik, dan keinginan berdoa dan beribadah sepertinya lenyap.” Demikianlah paparan Marc Yaconelli dalam bukunya Karunia Penderitaan.

Apakah Anda pernah merasakan semua itu? Jika pernah, percayalah Anda tidak sendirian. Banyak orang kudus merasakannya. Yesus orang Nazaret pun pernah berseru dari atas kayu salib, “Bapak Kau tinggalkan Aku sendiri?”

Ya, kita tidak sendirian. Bahkan, kita perlu menerima situasi dan kondisi itu—yang digambarkan Yaconelli dengan jiwa dalam kegelapan malam—dengan penuh syukur.

Mengapa? Karena dalam kegelapan malam itulah, Allah mengubah kita. Malam yang gelap merupakan waktu pembebasan bagi untuk Allah menyapih kita dari ketergantungan kita pada pengalaman rohani, memberdayakan kita untuk tidak lagi hidup “sebagai hamba, tetapi sebagai sahabat”.

Menurut Yaconelli, ketika merangkul ketidaktahuan karena percaya bahwa Allah bertanggung jawab atas kehidupan rohani kita, kita bisa belajar untuk bersandar, mengambil risiko, dan melepaskan kegelisahan kita akan masa depan.

Dan biasanya pula dalam malam yang gelap itu Allah memberikan para sahabat iman yang akan menolong kita untuk tetap beriman. Itu jugalah yang dialami Bunda Teresa. Ketika berkali-kali hendak meninggalkan pelayanannya karena merasa kosong rohani, saudara-saudara perempuannya dan pembimbing rohaninya mengingatkan: meski ia tidak merasakan imannya sendiri, hidupnya terpancar dari Kasih Allah.

Karena itu, marilah kita senantiasa berseru, sebagaimana Kidung Jemaat 406:3, “Dan bila tak kurasa kuasaMu, Engkau senantiasa di sampingku. Ya Tuhan, bimbing aku di jalanku, sehingga ’ku selalu bersamaMu.”

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional