Posted on Tinggalkan komentar

Dipimpin Roh

Kepada para murid-Nya, Yesus Orang Nazaret berkata, ”Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran…” (Yoh. 16:13).

Photo by Sunyu on Unsplash

Roh Kudus disebut juga Roh Kebenaran karena Ia akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Ia memimpin kita. Artinya, bukan kita yang memimpin, melainkan Rohlah yang memimpin.

Persoalannya: apakah kita rela dipimpin Roh? Dipimpin berarti menyerahkan wewenang penuh kepada pihak lain. Itu berarti pasrah bongkokan ’menyerah tanpa syarat’.

Sesungguhnya membiarkan diri dipimpin Roh Kudus merupakan tindakan logis karena Dia akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Dalam hidup ada banyak kebenaran, tetapi Roh Kudus akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Itu berarti, tindakan orang-orang yang menyerahkan dirinya dipimpin Roh Kudus memang tak mungkin salah karena semuanya serbakebenaran.

Bukankah ini yang sering kali menjadi soal? Kita acap sulit mengambil keputusan karena merasa takut salah. Oleh karena itu, biarlah diri kita dipimpin oleh Roh Kudus.

Caranya? Pindailah dahulu setiap kata yang belum terucap, juga karya yang masih dalam rencana. Bertanyalah dalam diri: ”Siapakah yang dimuliakan dalam kata dan karya kita itu?”

Mudahkah? Pasti tidak! Karena itu, marilah kita memohon, ”Roh Kuduslah turunlah dan tinggal dalam hatiku, dengan cahaya kasih-Mu terangi jalanku! Apimulah pembakar jiwaku sehingga hidupku memuliakan Tuhanku” (Kidung Jemaat 233:1).

Selamat bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Milik Allah

Ketika seseorang bertanya kepada Dietrich Bonhoeffer, ”Siapakah Anda?”; Teolog Jerman yang mati pada tiang gantungan dalam pemerintahan Nazi menjawab, ”Saya adalah milik-Mu, ya Tuhan!”

Photo by Erik Scheel from Pexels

Kita tentu mengamini jawaban macam begini. Namun—ini yang perlu sungguh-sungguh kita simak sekarang—apa artinya ungkapan ”milik Tuhan”?

Menjadi milik Allah berarti siap menjadi saluran berkat. Menjadi milik Allah berarti siap berkarya di mana pun Tuhan menempatkan kita. Sebab, di mana pun kita berada, frasa ”milik Allah” erat melekat dalam diri kita masing-masing.

Itu jugalah yang dinyatakan Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya Hidup Bersama (terbitan Literatur Perkantas): ”Gereja baru menjadi gereja yang benar kalau dia hadir untuk orang lain. Untuk dapat melakukan hal itu, Gereja harus memberikan segala yang dia miliki kepada mereka yang berkekurangan.”

Bonhoeffer mengecam gereja yang hanya memperjuangkan keselamatan dirinya sendiri. Pada masa itu, gereja-gereja di Jerman malah mendukung apa yang dilakukan Nazi di bawah kepemimpinan Hitler. Dengan tegas, masih dalam Hidup Bersama, ia menyatakan: ”Hanya mereka yang bersuara membela kaum Yahudi boleh menyanyikan lagu Gregorian.” Itulah makna konkret ”milik Allah”.

Apakah kita merasa sebagai milik Allah? Jika ya, buktikanlah dengan cara memperhatikan orang lain! Itu berarti juga rekan sekerja di kantor kita.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Berkarya dengan Cinta

Ini kisah lama. Saya sendiri telah lupa di mana membacanya, namun begitu melekat di hati hingga hari ini.

Sebuah restoran mengadakan Parade Kidung Rohani. Seorang penyanyi terkenal melantunkan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan begitu baik. Nyaris sempurna. Hadirin—yang terpesona dengan suara emasnya itu—riuh bertepuk tangan.

Di akhir parade, tibalah giliran seorang bapak yang tidak begitu dikenal. Dia menyanyikan lagu yang sama. Suaranya biasa saja. Beberapa kali terdengar nada sumbang. Dia menyanyikan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan tersendat, diselingi isak tangis di sana-sini. Penonton pun diam, terkesima, hingga tak menyadari kapan lagu itu berakhir.

Penyanyi terkenal itu pun lalu menghampiri bapak tersebut, menyalaminya, dan berkata, ”Saya menyanyi dengan mulut, tetapi Bapak menyanyi dengan hati. Saya kira, Bapak sungguh-sungguh mengenal Gembala Agung itu!”

Menyanyi dengan hati. Berkarya dengan cinta. Mungkin, di sinilah soalnya. Kita sering terjebak mengerjakan sesuatu hanya dengan otak dan keringat, sehingga tak jarang pekerjaan itu serasa seperti beban di pundak.

Ujung-ujungnya kita berharap pekerjaan itu cepat selesai. Atau, kita malah berpedoman yang penting selesai. Tiada lagi sukacita dalam bekerja.

Karena itu, mari berkarya dengan cinta. Libatkanlah Tuhan karena pekerjaan kita sejatinya adalah pekerjaan-Nya juga!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Damai Sejahtera bagi Kamu

”Damai sejahtera bagi kamu” (Luk. 24:48).

Photo by Biegun Wschodni on Unsplash

Demikianlah sapaan Yesus yang bangkit kepada para murid-Nya. Jelas, damai sejahtera tidaklah berasal dari para murid. Damai sejahtera bersumber pada Yesus yang bangkit. Damai sejahtera juga bukan upaya para murid, namun sungguh anugerah Sang Guru.

Yang dimaksud ”damai sejahtera” di sini, tentu bukan hidup serbasenang. Kita tentu pernah merasakan, meski keadaan serbasulit, hati tetap tenang. Kita tetap merasa ada yang bisa dipegang. Namun, pengalaman hidup memperlihatkan, kadang kita merasa tak enak hati meski semua berjalan baik-baik saja.

Pada waktu itu, keadaan para murid memang jauh dari rasa damai. Sang Guru mati. Mereka tak lagi punya harapan. Belum lagi tekanan para imam kepala dan ahli Taurat. Bisa dipahami jika mereka merasa bagai telur di ujung tanduk. Nasib serbatak pasti. Dan dalam ketidakpastian itu, Sang Guru datang dan menyapa mereka, ”Damai sejahtera bagi kamu.”

Yesus memberikan damai sejahtera bagi murid-murid-Nya. Itu bukanlah sekadar rasa damai, tetapi sungguh-sungguh berdasarkan logika sederhana. Bagaimanapun, Yesus telah bangkit dari maut. Kalau maut saja bisa dipatahkan Sang Guru, mengapa pula harus gentar meski hidup dalam ketidakpastian?

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Inilah Hari yang Dijadikan TUHAN

”Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” (Mzm. 118:24).

Photo by Mads Schmidt Rasmussen on Unsplash

Inilah nyanyian Paskah. Inilah pengakuan akan tindakan Allah yang menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan di Mesir.

Pada kemerdekaan Israel pertama itu, jelaslah bahwa Allah menjadikan Israel sebagai prioritas. Dia menyelamatkan Israel. Paskah merupakan Hari Raya Kemerdekaan Israel dari Mesir. Sehingga mereka berseru: ”Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” This is the day that The Lord has made!

Hari itu bukan sekadar hari. This is The day that The Lord has made! Sayangnya, lagu itu diterjemahkan menjadi ”Hari ini hari ini harinya Tuhan”. Lebih sayang lagi ketika orang menambahkan bait berikutnya: ”Hari Senin Hari Selasa hari….” Padahal ini bukan sekadar hari. Ini hari khusus. Ini hari kemerdekaan Israel. Inilah Paskah pertama.

Paskah kedua adalah ketika Yesus bangkit dari kubur! Kebangkitan Yesus menyatakan dengan jelas bahwa kematian Yesus Orang Nazaret pada Jumat Agung sungguh bermakna. Inilah Paskah kedua—Allah memerdekakan manusia dari belenggu dosa itu sendiri.

Karena itu, marilah kita hidup dalam suasana kebangkitan! Marilah kita hidup dalam suasana kehidupan! Marilah kita membangkitkan orang lain! Marilah kita menghidupkan orang lain dan bukan mematikannya! Juga dalam dunia kerja kita hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menjadi Jembatan

”Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus!” (Yoh. 12:21). Demikianlah harapan orang-orang Yunani yang disampaikan kepada Filipus. Mengapa Filipus? Kita tidak pernah tahu alasan pastinya.

Kemungkinan besar karena Filipus adalah nama Yunani. Bisa jadi mereka beranggapan, orang yang bernama Yunani itu pasti akan mau menolong mereka. Pada masa itu kebanyakan orang Yahudi memandang rendah bangsa lain. Persoalannya: Filipus sendiri tak tahu harus berbuat apa.

Kelihatannya, Filipus tidak tahu tanggapan Yesus terhadap keberadaan orang-orang Yunani itu. Mungkin dia khawatir, Yesus akan bersikap sama seperti orang Yahudi lainnya. Jika demikian, tentu tak ada gunanya menyampaikan keinginan mereka kepada Yesus.

Filipus diharapkan menjadi jembatan. Dari sisi orang Yunani, nama Filipus terasa dekat. Tetapi, persoalannya, sekali lagi, Filipus tidak sungguh-sungguh tahu apa kehendak Yesus sehingga dia gagal menjadi jembatan. Filipus mungkin mengasihi orang-orang Yunani itu, tetapi dia tidak tahu apakah Yesus akan menerimanya atau tidak?

Untunglah, Filipus menyampaikan persoalan itu kepada Andreas. Dan bersama dengan Andreas, Filipus membawa orang-orang Yunani itu kepada Yesus. Andreas mampu menjadi jembatan karena dia tahu kehendak Yesus.

Sejatinya, menjadi jembatan merupakan panggilan setiap Kristen. Menjadi jembatan antara manusia dan Allah. Pertanyaannya: apakah kita telah menjalani panggilan menjadi jembatan dalam hidup sesehari? Syaratnya cuma dua: sungguh-sungguh diterima manusia dan mengetahui kehendak Allah.

Mari menjadi jembatan, juga di tempat kerja kita!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menjadi Manusia (2)

Photo by Kai Dörner on Unsplash

Rame ing gawe, sepi ing pamrih.

Multatuli pernah berkata, sering disitir Pramoedya Ananta Toer, ”Tugas manusia ialah menjadi manusia, bukan menjadi Malaikat atau pun setan.” Ya, tugas manusia ialah menjadi manusia. Jika manusia tidak menjadi manusia, maka dia tidak memenuhi hakikatnya sebagai manusia. Jika demikian, masih layakkah menganggap diri manusia?

Menjadi manusia merupakan panggilan manusia. Menjadi manusia berarti menjalani hidup sebagai hamba Allah. Allah tidak menuntut kita menjadi malaikat, tetapi juga tidak ingin kita menjadi setan. Dia hanya ingin kita memenuhi panggilan hidup sebagai manusia. Itulah cita-cita-Nya ketika mencipta manusia. Ketika manusia tak lagi menjalani hakikat sebagai manusia, ia harus bertobat.

Itu jugalah yang dikumandangkan nabi Yesaya: ”Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya…” (Yes. 55:6-7).

Pertobatan merupakan inti berita Yesaya. Dan berkait dengan pertobatan, saya dan Saudara termasuk golongan manusia berbahagia karena kita masih dikaruniai waktu.

Kita bagai pohon ara yang diberi kesempatan hidup, yang dibela oleh Sang Pengurus (Luk. 13:8-9). Namun, kesempatan itu pun terbatas. Berbahagialah karena kita belum sampai pada masa tenggat itu! Masih ada waktu untuk bertobat. Jika tidak, kita pun akan ditebang!

Sekali lagi, mumpung masih ada waktu marilah kita bertobat. Salah satu langkah konkretnya: rame ing gawe, sepi ing pamrih ’giat bekerja, namun tulus tanpa pamrih’ dalam pekerjaan kita. Jadikanlah pekerjaan kita sebagai ladang misi Allah, sehingga makin banyak orang yang mau belajar menjadi manusia. Menjadi hamba Allah.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Janganlah Gelisah Hatimu

Janganlah gelisah hatimu (Yoh. 14:1). Demikianlah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Perasaan gelisah sering menghantui insan. Sebab, kita memang tidak akan pernah tahu hari depan. Mungkinkah orang gelisah karena sesuatu yang telah terjadi?

Photo by Nik Shuliahin on Unsplash

Rasa gelisah memang bisa menerpa siapa saja dan kapan saja. Dia tidak memandang bulu, juga waktu. Dia datang begitu saja, menyergap laksana angin. Dan akan menjadi masalah besar tatkala orang begitu dikuasai rasa tersebut sehingga tidak mampu berbuat apa-apa.

Lalu, mengapa kita gelisah? Kalau kita simak, akar masalahnya ialah karena kita tidak yakin bisa mengatasi persoalan di depan kita. Ujung-ujungnya, kegelisahan sering disebabkan—biasanya kita tidak menyadarinya—oleh pengandalan terhadap diri sendiri. Dan kita sungguh gelisah karena kita takut tidak mampu mengelola persoalan itu dengan baik.

Kalau sudah begini, cara yang paling mujarab ialah bertindak selaku penumpang bus. Penumpang bus yang baik tidak akan berusaha bertindak selaku supir yang ikut menginjak rem dan gas, tetapi mempercayakan diri kepada sang supir. Kalau kita tidak percaya kepada supir bus, usul saya turun saja!

Yesus punya alasan lain. Tak perlu kita gelisah karena memang ada Roh Kudus yang setia menyertai kita. Dan tidak hanya setia, tetapi Dia juga menghibur kita. Biasanya, kegelisahan acap juga diakibatkan oleh kesendirian. Saat kita gelisah, ingatlah bahwa Roh ada bersama kita dan siap sedia menghibur kita. Persoalannya, mau enggak kita dihibur oleh-Nya?

Mengenai masa depan, ada sebuah syair terpajang di kantor saya. Demikian syairnya: ”Tuhan, ajarku memahami bahwa tidak ada satu persoalan pun pada hari ini yang tidak dapat kita tangani bersama-sama!”

Penyertaan-Nya. Itulah janji-Nya, yang tak lekang ditelan waktu. So, jangan gelisah!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Berdua Saja

”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Perkataan Tuhan Yesus ini—mengenai keberadaan Allah di tengah persekutuan umat-Nya—sering menjadi sumber penghiburan. Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Allah memedulikan mereka. Enggak perlu bicara soal jumlah, Allah hadir dalam persekutuan terkecil sekalipun.

Photo by rawpixel on Unsplash

Namun, frasa ”berkumpul dalam nama-Ku” agaknya kurang mendapat perhatian. Frasa itu berarti Kristuslah yang menjadi dasar dan pusat persekutuan. Persekutuan tidak berdasarkan atas kesamaan ideologi, warna kulit, tingkat sosial, melainkan berdasarkan Kristus. Itulah makna gereja sebenarnya. Kehendak Kristuslah yang utama.

Dan salah satu tindakan nyata ”dalam nama-Ku” ialah keberanian menyatakan kesalahan orang. Yesus Kristus menasihatkan ”Apabila saudaramu berbuat berdosa, tegorlah dia di bawah empat mata” (Mat. 18:15).

Pada kenyataannya, tak banyak yang mengambil jalan ini karena takut terhadap tanggapan orang tersebut. Jika pun ada keberanian, kadang kita lebih suka membicarakannya tanpa ada orangnya atau membicarakannya blak-blakan di hadapan banyak orang ketika orangnya ada. Akhirnya kesalahannya itu menjadi konsumsi banyak orang.

Yesus menasihati, jika hendak menegur orang mulailah dengan berdua saja. Baru setelah itu tiga orang. Dengan cara ini, orang tersebut tidak merasa dihakimi dan kesalahan yang dilakukannya tidak menjadi konsumsi publik. Hanya dengan cara itulah kita akan mendapatkannya kembali.

Sejatinya ini jugalah salah satu tugas pemimpin. Ketika bawahan kita salah, masih merasa perlukah kita menegurnya ”berdua saja” atau kita lebih suka menegurnya di depan banyak orang? Jika kita ingin mendapatkannya kembali, menegur dengan diam-diam merupakan langkah jitu.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kisah Tjondro Sungkowo

Photo by Kristine Weilert on Unsplash

Pada Jumat pagi, 15 Februari 2019, Tjondro Sungkowo—warga jemaat kami sekaligus Om dari istri saya—dipanggil Tuhan. Dari semua orang yang bercakap-cakap dengan kami—teman sejawat, mantan mahasiswanya, dan warga jemaat—terungkap nada yang sama: ”Beliau orang baik!”

Banyak orang telah merasakan kebaikannya melalui profesi dokter, yang ditekuninya seumur hidupnya. Kata mereka, dia memang bertangan dingin. ”Mendengar suaranya saja, anak saya langsung sembuh,” imbuh seorang bapak. Yang lain menambahkan, ”Beliau tidak pernah menolak pasien. Dibangunkan jam dua pagi pun beliau siap menangani.”

Dia juga pribadi yang tidak neko-neko. Alasannya tak mau mengambil kesempatan menjadi spesialis pun sederhana saja. ”Nanti, kalau sudah jadi spesialis malah enggak bisa menolong orang karena takut biayanya mahal,” tutur putrinya.

Ya, setiap yang hadir punya cerita berbeda dengan nada sama: ”Orang baik!” Ibadah penghiburan dan pemakaman akhirnya menjadi sebuah perayaan kehidupan yang menghiburkan banyak orang. Sebab setiap orang telah mengalami kebaikan Allah melalui dirinya. Inilah hidup yang berbuah (Yer. 17:8).

Manusia memang dipanggil untuk berbuah. Tak hanya bagi diri sendiri, terutama untuk orang lain melalui profesinya. Dan hanya dengan itu Allah dimuliakan.

Caranya? Dengan tetap mengandalkan Allah dan menaruh harap kepada-Nya dalam menghidupi profesi yang telah dipilih (Yer. 17:7).

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional