Ini kisah lama. Saya sendiri telah lupa di mana membacanya, namun begitu melekat di hati hingga hari ini.
Sebuah restoran mengadakan Parade Kidung Rohani. Seorang penyanyi terkenal melantunkan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan begitu baik. Nyaris sempurna. Hadirin—yang terpesona dengan suara emasnya itu—riuh bertepuk tangan.
Di akhir parade, tibalah giliran seorang bapak yang tidak begitu dikenal. Dia menyanyikan lagu yang sama. Suaranya biasa saja. Beberapa kali terdengar nada sumbang. Dia menyanyikan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan tersendat, diselingi isak tangis di sana-sini. Penonton pun diam, terkesima, hingga tak menyadari kapan lagu itu berakhir.
Penyanyi terkenal itu pun lalu menghampiri bapak tersebut, menyalaminya, dan berkata, ”Saya menyanyi dengan mulut, tetapi Bapak menyanyi dengan hati. Saya kira, Bapak sungguh-sungguh mengenal Gembala Agung itu!”
Menyanyi dengan hati. Berkarya dengan cinta. Mungkin, di sinilah soalnya. Kita sering terjebak mengerjakan sesuatu hanya dengan otak dan keringat, sehingga tak jarang pekerjaan itu serasa seperti beban di pundak.
Ujung-ujungnya kita berharap pekerjaan itu cepat selesai. Atau, kita malah berpedoman yang penting selesai. Tiada lagi sukacita dalam bekerja.
Karena itu, mari berkarya dengan cinta. Libatkanlah Tuhan karena pekerjaan kita sejatinya adalah pekerjaan-Nya juga!
Selamat bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional