Posted on 3 Komentar

Mengapa Kamu Begitu Takut?

”Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk. 4:40). Mengapa para murid begitu takut dan tidak percaya? Saya tak bermaksud membela mereka. Saya hanya mencoba memahami mengapa para murid begitu takut sehingga tidak percaya, dan berkata, ”Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4:38).

Pertama, mereka begitu takut karena berada dalam keadaan, meminjam istilah Shakespeare, to be or not to be ’hidup atau mati’. Sebab meskipun sebagian dari antara mereka adalah pelaut andal, mereka paham tak akan ada orang yang selamat diterpa taufan macam begitu. Sehingga kata ”binasa” itulah yang melekat dalam benak mereka.

Kedua, mungkin mereka frustrasi karena sebenarnya mereka hanya mematuhi kehendak Yesus. Penginjil Markus mencatat: ”Pada hari itu waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: ’Marilah kita bertolak ke seberang’” (Mrk. 4:35). Jikalau Sang Guru tidak menyuruh, tentulah mereka masih di darat. Sebenarnya mereka hanya ingin menyenangkan hati Sang Guru.

Ketiga, Yesus bersama mereka dalam perahu itu, tetapi taufan tetap ada. Selama ini mereka menganggap Yesus adalah jagoan mereka. Yesus sanggup membuat banyak mukjizat. Dan mereka merasa aman dan nyaman bersama dengan Yesus. Hanya persoalannya—di perahu itu—meskipun mereka bersama Yesus, mereka masih merasakan taufan, dan perahu itu pun mulai penuh dengan air.

Keempat, ini mungkin yang membuat mereka menjadi semakin bingung hingga tidak percaya, Yesus tampaknya tidak memedulikan nasib mereka. Di sinilah puncak ketakutan mereka. Di tengah prahara mereka melihat Sang Guru tidur. Mungkin perasaan mereka agak sedikit tenteram kalau mereka melihat Yesus bersama mereka mengeluarkan air dalam perahu itu. Kenyataannya tidak. Yang mereka lihat: Yesus tidur. Tidur mereka artikan sebagai tanda ketidakpedulian.

Suasana global dua minggu belakangan ini—akibat wabah Covid-19—tak beda dengan keadaan para murid. Kita menjadi khawatir akan banyak hal: penyakit, ekonomi, kekacauan, bahkan politik. Namun, sekadar khawatir malah membuat kita makin khawatir.

Tindakan para murid membangunkan Yesus patut diteladani. Mereka melibatkan Sang Guru untuk mengatasi situasi. Dan Yesus mau terlibat karena itu juga persoalan-Nya.

Agaknya, yang tak boleh kita lupakan, Covid-19 juga merupakan persoalan Tuhan. Bagian kita adalah bersama dengan Dia mencari cara untuk tetap bertahan dan kreatif dalam situasi ini. Tetap menjaga semangat kerja—baik di kantor maupun di rumah—sembari terus menjaga kesehatan pribadi dan keluarga merupakan panggilan utama saat ini.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Bukan Kar’na Upahmu

”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Jelaslah, kita, Anda dan saya, adalah orang pilihan. Berkait dengan pilihan Allah itu, pertanyaan yang layak diajukan ialah mengapa? Apa alasan Allah memilih kita?

Dalam lagu ”Bukan Kar’na Upahmu” yang terekam dalam Pelengkap Kidung Jemaat 265, Godlief Soumokil menyatakan dengan jelas bahwa semuanya itu karena kemurahan Tuhan. Perhatikan liriknya: ”Bukan kar’na upahmu dan bukan kar’na kebajikan hidupmu, bukan persembahanmu dan bukan pula hasil perjuanganmu.”

Karena itulah, bersyukur menjadi hal yang sudah semestinya. Pemazmur mengajak umat untuk mengumandangkan nyanyian baru bagi Tuhan (lih. Mzm. 98:1). Sekali lagi karena Tuhan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. Dan hal terajaib yang dilakukan Tuhan ialah mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya.

Oleh karena itu, jalan terlogis menurut sang penyair ialah ”Janganlah kau bermegah dan jangan pula meninggikan dirimu; baiklah s’lalu merendah dan hidup dalam kemurahan kasih-Nya.” Kita dipanggil untuk hidup dalam kemurahan kasih-Nya.

Tak hanya itu, Tuhan Yesus juga menegaskan: ”Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh. 15:16). Allah menetapkan kita untuk pergi.

Sekali lagi, kita tidak dipilih untuk diam, tetapi untuk pergi. Kita tidak dipilih untuk bertopang dagu, melainkan untuk bergerak. Kita tidak dipilih untuk menikmati kasih Allah sendirian, tetapi untuk membagikannya. Itulah yang dimaksudkan Yesus dengan hidup yang berbuah.

Berkait dengan pekerjaan. Sejatinya, semuanya pun karena kemurahan kasih-Nya. Allahlah yang telah memilih dan menetapkan tempat kerja untuk kita. Sehingga, kerja berkualitas merupakan keniscayaan. Tak hanya temporer, tetapi ajek.

Mungkin persoalannya di sini, kadang semangat kita naik turun dalam bekerja. Padahal kerja berkualitas yang ajek merupakan panggilan kita juga.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Saya Tidak Tahan Lagi, Tuhan

”Saya tidak tahan lagi, TUHAN,” katanya kepada TUHAN. ”Ambillah nyawa saya. Saya tidak lebih baik dari leluhur saya!” (1Raj. 19:4, BIMK). Demikianlah teriakan keputusasaan Elia.

Sebagai nabi, Elia merasa gagal. Izebel terlalu kuat untuk dilawan. Mulanya Elia menduga, Izebel akan berbalik kepada Allah saat mendengar kabar bahwa Allah Israel lebih berkuasa ketimbang Baal.

Perkiraan itu amat meleset. Bukannya bertobat, Izebel mencanangkan vonis mati bagi Elia. Dan Ahab, sang raja Israel itu, ternyata diam saja menyaksikan tekad istrinya. Jika terhadap Allah saja Izebel tidak merasa takut, apalagi terhadap dirinya?

Saya tidak tahan lagi, Tuhan. Adakah di antara kita yang belum pernah mengucapkan kalimat ini? Saya pernah. Dan untunglah, sebagaimana Elia, Allah tidak mengabulkan keinginan saya.

Seandainya Allah menjawab permintaan Elia, kemungkinan besar bangsa Israel tidak akan merasakan pelayanan Nabi Elisa. Kalau Allah menjawab keinginan saya, tulisan ini pun tak pernah ada.

Dan Allah tidak saja memberikan kehidupan, tetapi juga memberi bekal. Dua kali Elia dibangunkan oleh malaikat TUHAN dan dua kali pula ia makan roti bakar dan minum air. Makanan dan minuman itulah yang menjadi bekal bagi Elia untuk menempuh perjalanan berikutnya. Dengan kata lain, makanan dan minuman itulah yang memampukan Elia menempuh perjalanan hidup selanjutnya.

Kisah Elia adalah juga kisah kita. Tentulah, ada masa sulit yang membuat kita merasa tak mampu lagi melanjutkan hidup. Kita merasa lebih baik mati saja. Akan tetapi, Allah senantiasa memberikan bekal kepada kita untuk tetap menjalani perjalanan hidup kita.

Dan hidup berarti pula karya.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Siapa Bertelinga…

”Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.” (Mat. 13:9). Demikianlah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Mungkin agak keras dalam pandangan kita. Namun, kalimat itu hendak mengingatkan manusia akan keberadaan dan panggilannya selaku manusia. Kenyataannya, banyak orang tak lagi mampu menjadi manusia.

Sekadar contoh: soal pendengaran tadi. Yang bertelinga, tak mau mendengar, apalagi mendengarkan. Lalu, apa arti sepasang telinganya? Bukankah telinga dimaksudkan agar orang mampu mendengar?

Persoalan kemauan dan kemampuan menjadi penting kita renungkan karena kemampuan mendengar belum tentu berbanding lurus dengan kemauan mendengar.

Lagi pula, tak ada kelopak telinga, yang ada hanyalah daun telinga. Itu berarti proses pendengaran tak perlu instruksi otak. Kita tak mungkin menutup telinga sebagaimana mata. Artinya, tak mendengar sungguh aneh.

Lebih aneh lagi, jika manusia merasa perlu menyeleksi apa yang didengarnya. Persoalannya: banyak orang mendengar apa yang ingin didengarnya. Kalau sudah begini, nasihat Sang Guru menjadi modal utama bagi para murid-Nya, yang hari ini memulai minggu kerja baru: ”Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Alangkah Baiknya

”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm. 133:1). Demikianlah Daud memulai nyanyian ziarahnya.

Prinsip kerukunan, menurut Rama Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa, bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, dan tanpa perselisihan dan pertentangan. Agar rukun, individu bersedia menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Apakah yang lebih baik dan indah ketimbang hal ini?

Persoalannya: kadang orang berpikir, jika seseorang berbeda pendapat dengan dirinya, maka orang tersebut pasti tidak menyukai dirinya. Sejatinya, orang boleh berbeda pandangan, tetapi harus tetap menghargai setiap pribadi.

Bagaimanapun, menghargai pribadi sebagai pribadi yang unik merupakan penghargaan terhadap Sang Pencipta, yang telah menciptakan keunikan itu. Lagi pula, ada pepatah: ”Selera memang tidak bisa diperdebatkan”.

Ingatlah ketujuh bias warna pelangi! Masing-masing berbeda warnanya, tetapi keragaman warna itulah yang membuat pelangi tampak indah. Bayangkan jika hanya satu atau dua bias warna saja yang muncul! Keindahan itu tampak karena mereka berbeda. Perbedaan itu memperindah dan memperkaya.

Sama halnya dengan alat musik angklung. Satu angklung: satu nada. Masing-masing angklung mempunyai nada tertentu, yang unik dan hanya dimilikinya sendiri. Namun toh, dia tidak dapat hidup sendirian. Untuk menjadi bagian dari sebuah lagu, maka perlu menerima dan menghargai angklung lainnya. Karena berbeda, maka mereka saling membutuhkan. Karena berbeda, mereka bersatu. Perbedaan itulah yang mempersatukan. Dan itu pulalah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan kerja kita.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menara Babel

Di manakah letak kesalahan pembuatan Menara Babel? Pastilah bukan pada menaranya. Bukan itu kesalahannya hingga Allah menghentikan pembangunannya. Menara itu tak punya satu kesalahan pun.

Kesalahan bukan pula terletak pada kemampuan manusia dalam membangunnya. Bagaimanapun, manusia—yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah—mempunyai kemampuan mencipta.

Kreativitas merupakan bukti terkuat bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Manusia yang tidak kreatif pada dasarnya mengingkari panggilannya selaku manusia. Dan IPTEK merupakan karunia Allah juga.

Lalu, di mana kesalahannya? Kesalahannya adalah pada motivasi di balik pembuatan menara itu. ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11:4). Demikianlah mereka bersepakat satu sama lain.

Mendirikan sebuah kota dengan menara yang sampai ke langit bukanlah kesalahan. Namun, pertanyaannya: mengapa perlu membuat menara? Apa tujuannya? Dan tujuannya: ”cari nama”! Dalam Alkitab BIMK tertera: ”supaya kita termasyhur”. Menara itu dibuat agar manusia terkenal!

Manusia ingin cari nama! Manusia ingin terkenal! Manusia ingin dipuji! Sesungguhnya, semuanya itu merupakan perlawanan kepada Sang Pencipta. Dan pada titik itu Allah bertindak.

Ya, inilah masalahnya. Itu jugalah agaknya yang membuat mereka tak lagi mampu bekerja sama saat tak lagi paham bahasa tutur. Sebenarnya mereka bisa menggunakan bahasa isyarat. Kenyataannya tidak! Mereka sulit bekerja sama karena setiap orang ingin mencari nama sendiri-sendiri.

Nah sekarang, apakah motivasi kerja Anda hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jangan Setengah-setengah

Jagat tenis dikejutkan minggu lalu dengan kelahiran juara baru tunggal putri Australia Terbuka (1/2/2020). Sang juara Sofia Kenin mementahkan prediksi pasar taruhan, juga pendapat orang-orang yang meragukan kemampuannya. Di negerinya sendiri, Amerika Serikat, Kenin berada di bawah bayang-bayang Serena Williams, Madison Keys, juga Cori ”Coco” Gauff, petenis 15 tahun yang menembus babak keempat Wimbledon 2019.

Kepada publik, Kenin berpesan, ”Jika punya mimpi, kejarlah.” Pesan yang telah dibuktikannya sendiri di lapangan. Jalannya memang tidak mulus. Kemenangan di Australia Terbuka tercapai setelah kehilangan set pertama. Akan tetapi, semangat bertandingnya membuat dia sanggup membalikkan keadaan.

Kepada Timotius, Paulus berpesan, ”Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua” (1Tim. 4:14).

Karunia yang dimaksudkan di sini adalah jabatan pemimpin jemaat yang diemban Timotius. Itu analog dengan SK Pengangkatan Kerja dalam dunia sekuler. Dan kerja merupakan karunia terbesar manusia setelah keselamatan.

Mungkin persoalan kita bukanlah lalai. Hanya kadang, mungkin karena bosan, kita malah bersikap setengah-setengah dalam bekerja. Yang penting selesai.

Padahal, kerja adalah karunia Allah sendiri. Dan Dia ingin melayani dunia ini melalui kerja kita. Jadi, jangan setengah-setengah. Dan kita bisa belajar dari Kenin dalam hal ini.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Carilah Tuhan

”Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup” (Am. 5:6). Demikianlah nasihat Amos. Nasihat logis. Allah itu sumber hidup. Kalau mau hidup, ya carilah Dia.

Mencari Allah berarti menjadikan Dia fokus kehidupan kita. Pandangan mata hati kita terarah kepada-Nya. Dan itulah yang membuat kehidupan kita sungguh hidup.

Dan dalam mencari Allah, Amos mengajak umat Israel tak sekadar puas dengan tidak berbuat jahat, tetapi aktif melakukan yang baik. ”Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf” (Am. 5:15).

Di sinilah persoalan manusia pada umumnya: Sudah merasa puas jika tidak berbuat jahat. Padahal, dalam bilangan bulat, sekadar tidak berbuat jahat nilainya nol. Dan karena itu, kita dipanggil untuk berbuat baik.

Caranya adalah dengan menegakkan keadilan. Itu berarti menerapkan keadilan dalam diri. Sederhana saja: jika Saudara mempunyai pembantu rumah tangga, berikan upahnya pada waktunya.

Bayarlah juga utang Saudara! Jangan pernah berpikir bahwa orang yang berpiutang itu tak akan menjadi miskin seandainya Saudara tidak membayar utang. Tidak. Kita harus bersikap adil!

Bersikap adil juga berarti menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dalam pekerjaan kita. Menuntut hak tanpa menunaikan kewajiban tentu bukanlah hidup yang seimbang. Dan semua ketidakseimbangan niscaya akan membuat kita jatuh.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Tuhan Menyediakan

Kisah pengurbanan Ishak di gunung Moria (Kej. 22:1-14) sungguh menarik disimak. Dalam bukunya, How To Enjoy The Bible, Pastor Leo van Beurden, OSC menyatakan tindakan Abraham itu sebagai puncak perjalanan iman Abraham. Pada mulanya Abraham diminta meninggalkan masa lalunya dan hanya berpegang kepada Allah. Sekarang dia diminta melepaskan masa depannya—keturunannya Ishak—dan berpegang kepada Allah saja.

Abraham menyambut permintaan Allah itu dengan baik. Tampaknya dia percaya bahwa Allah tidak akan pernah melupakan janji-Nya. Bukankah Allah yang telah menolongnya selama ini?

Memang bukan perkara ringan. Bagaimanapun, Ishak adalah anak yang dijanjikan Allah. Abraham pun sangat mengasihinya. Namun demikian, Abraham menyambut permintaan Allah itu karena tak ingin mengecewakan Allah. Meski taruhannya adalah nyawa anaknya sendiri.

Lagi pula, Abraham percaya bahwa kehendak Tuhan, meski terkadang aneh, merupakan hal yang terbaik baginya. Dan Abraham belajar untuk percaya. Bicara soal keturunan, dia memang pernah berbuat salah ketika mengambil Hagar sebagai selir dan melahirkan Ismael. Dan dia tidak ingin berbuat salah lagi.

Iman Abraham itu tampak saat dia berkata, ”TUHAN menyediakannya!” Sesungguhnya, jalan hidup Abraham memang demikian. Allahlah yang menyediakan apa yang dibutuhkannya. Kalau Dia hendak mengambilnya, mengapa pula harus menolak? Bukankah semuanya itu berasal dari Dia? Bukankah Tuhan yang menyediakan apa yang dimilikinya?

Dan sebagaimana Abraham kita pun dapat berkata, sebagaimana pemazmur, ”Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan karena Ia telah berbuat baik kepada-Ku…” (Mzm. 13:5). Percayalah.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro

Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Hukum dan Keadilan

”Ya Allah, berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putera raja!” (Mzm. 72:1). Catatan redaksi Mazmur 72 menarik disimak: mazmur ini berasal dari Salomo yang menyatakan bahwa awalnya merupakan doa-doa Daud bin Isai.

Doa ini memperlihatkan betapa ”kuasa,” mengutip Lord Acton, ”cenderung membuat manusia menjadi korup dan kuasa yang mutlak pasti korup.” Setulus-tulusnya orang, ketika berkuasa tak steril dari sikap menjadi diktator. Itu jugalah pengalaman Daud, khususnya ketika dia merebut Batsyeba dari Uria.

Agaknya sengaja diberi catatan bahwa mazmur ini merupakan doa dari Daud bin Isai. Yang ditekankan bukanlah keberadaan Daud sebagai raja, tetapi sebagai manusia biasa—daging belaka, yang memang rentan. Di Getsemani pun, Sang Guru mengingatkan, ”roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat. 26:41).

Dalam doanya, Daud memohon hukum Allah. Dia kelihatannya sadar bahwa manusia yang berkuasa kadang merasa boleh melakukan apa saja. Sejarah mencatat begitu banyak diktator. Bahkan, Raja Louis XIV kabarnya pernah berujar, l’etat c’est moi ’negara adalah saya’.

Tak hanya raja, Daud juga menyadari bahwa anak-anak raja kadang merasa lebih hebat dari raja. Mungkin ini juga pengalaman Salomo. Sehingga mereka pun perlu berlajar bersikap adil. Dasar keadilan itu bukan perasaan atau pikiran pribadi, tetapi hukum Allah.

Sejatinya, bukan soal besar atau kecilnya kuasa. Tukang parkir pun bisa menyalahgunakan kuasanya jika ada pengemudi yang dirasa semaunya. Karena itu, manusia perlu membatasi diri. Yang bisa membatasi hanyalah Allah sendiri.

Sesungguhnya aturan dibuat bukan untuk mengikat, tetapi menolong manusia dalam menjaga dirinya agar tetap bermartabat manusia. Dan dalam hidup ada banyak aturan. Salah satunya aturan kerja di kantor kita. Butuh kerelaan untuk mengikatkan diri padanya. Itulah makna sebuah komitmen.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional