Posted on 3 Komentar

Mengapa Kamu Begitu Takut?

”Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” (Mrk. 4:40). Mengapa para murid begitu takut dan tidak percaya? Saya tak bermaksud membela mereka. Saya hanya mencoba memahami mengapa para murid begitu takut sehingga tidak percaya, dan berkata, ”Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?” (Mrk. 4:38).

Pertama, mereka begitu takut karena berada dalam keadaan, meminjam istilah Shakespeare, to be or not to be ’hidup atau mati’. Sebab meskipun sebagian dari antara mereka adalah pelaut andal, mereka paham tak akan ada orang yang selamat diterpa taufan macam begitu. Sehingga kata ”binasa” itulah yang melekat dalam benak mereka.

Kedua, mungkin mereka frustrasi karena sebenarnya mereka hanya mematuhi kehendak Yesus. Penginjil Markus mencatat: ”Pada hari itu waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: ’Marilah kita bertolak ke seberang’” (Mrk. 4:35). Jikalau Sang Guru tidak menyuruh, tentulah mereka masih di darat. Sebenarnya mereka hanya ingin menyenangkan hati Sang Guru.

Ketiga, Yesus bersama mereka dalam perahu itu, tetapi taufan tetap ada. Selama ini mereka menganggap Yesus adalah jagoan mereka. Yesus sanggup membuat banyak mukjizat. Dan mereka merasa aman dan nyaman bersama dengan Yesus. Hanya persoalannya—di perahu itu—meskipun mereka bersama Yesus, mereka masih merasakan taufan, dan perahu itu pun mulai penuh dengan air.

Keempat, ini mungkin yang membuat mereka menjadi semakin bingung hingga tidak percaya, Yesus tampaknya tidak memedulikan nasib mereka. Di sinilah puncak ketakutan mereka. Di tengah prahara mereka melihat Sang Guru tidur. Mungkin perasaan mereka agak sedikit tenteram kalau mereka melihat Yesus bersama mereka mengeluarkan air dalam perahu itu. Kenyataannya tidak. Yang mereka lihat: Yesus tidur. Tidur mereka artikan sebagai tanda ketidakpedulian.

Suasana global dua minggu belakangan ini—akibat wabah Covid-19—tak beda dengan keadaan para murid. Kita menjadi khawatir akan banyak hal: penyakit, ekonomi, kekacauan, bahkan politik. Namun, sekadar khawatir malah membuat kita makin khawatir.

Tindakan para murid membangunkan Yesus patut diteladani. Mereka melibatkan Sang Guru untuk mengatasi situasi. Dan Yesus mau terlibat karena itu juga persoalan-Nya.

Agaknya, yang tak boleh kita lupakan, Covid-19 juga merupakan persoalan Tuhan. Bagian kita adalah bersama dengan Dia mencari cara untuk tetap bertahan dan kreatif dalam situasi ini. Tetap menjaga semangat kerja—baik di kantor maupun di rumah—sembari terus menjaga kesehatan pribadi dan keluarga merupakan panggilan utama saat ini.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Bukan Kar’na Upahmu

”Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Jelaslah, kita, Anda dan saya, adalah orang pilihan. Berkait dengan pilihan Allah itu, pertanyaan yang layak diajukan ialah mengapa? Apa alasan Allah memilih kita?

Dalam lagu ”Bukan Kar’na Upahmu” yang terekam dalam Pelengkap Kidung Jemaat 265, Godlief Soumokil menyatakan dengan jelas bahwa semuanya itu karena kemurahan Tuhan. Perhatikan liriknya: ”Bukan kar’na upahmu dan bukan kar’na kebajikan hidupmu, bukan persembahanmu dan bukan pula hasil perjuanganmu.”

Karena itulah, bersyukur menjadi hal yang sudah semestinya. Pemazmur mengajak umat untuk mengumandangkan nyanyian baru bagi Tuhan (lih. Mzm. 98:1). Sekali lagi karena Tuhan telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib. Dan hal terajaib yang dilakukan Tuhan ialah mengangkat kita menjadi anak-anak-Nya.

Oleh karena itu, jalan terlogis menurut sang penyair ialah ”Janganlah kau bermegah dan jangan pula meninggikan dirimu; baiklah s’lalu merendah dan hidup dalam kemurahan kasih-Nya.” Kita dipanggil untuk hidup dalam kemurahan kasih-Nya.

Tak hanya itu, Tuhan Yesus juga menegaskan: ”Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap” (Yoh. 15:16). Allah menetapkan kita untuk pergi.

Sekali lagi, kita tidak dipilih untuk diam, tetapi untuk pergi. Kita tidak dipilih untuk bertopang dagu, melainkan untuk bergerak. Kita tidak dipilih untuk menikmati kasih Allah sendirian, tetapi untuk membagikannya. Itulah yang dimaksudkan Yesus dengan hidup yang berbuah.

Berkait dengan pekerjaan. Sejatinya, semuanya pun karena kemurahan kasih-Nya. Allahlah yang telah memilih dan menetapkan tempat kerja untuk kita. Sehingga, kerja berkualitas merupakan keniscayaan. Tak hanya temporer, tetapi ajek.

Mungkin persoalannya di sini, kadang semangat kita naik turun dalam bekerja. Padahal kerja berkualitas yang ajek merupakan panggilan kita juga.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Saya Tidak Tahan Lagi, Tuhan

”Saya tidak tahan lagi, TUHAN,” katanya kepada TUHAN. ”Ambillah nyawa saya. Saya tidak lebih baik dari leluhur saya!” (1Raj. 19:4, BIMK). Demikianlah teriakan keputusasaan Elia.

Sebagai nabi, Elia merasa gagal. Izebel terlalu kuat untuk dilawan. Mulanya Elia menduga, Izebel akan berbalik kepada Allah saat mendengar kabar bahwa Allah Israel lebih berkuasa ketimbang Baal.

Perkiraan itu amat meleset. Bukannya bertobat, Izebel mencanangkan vonis mati bagi Elia. Dan Ahab, sang raja Israel itu, ternyata diam saja menyaksikan tekad istrinya. Jika terhadap Allah saja Izebel tidak merasa takut, apalagi terhadap dirinya?

Saya tidak tahan lagi, Tuhan. Adakah di antara kita yang belum pernah mengucapkan kalimat ini? Saya pernah. Dan untunglah, sebagaimana Elia, Allah tidak mengabulkan keinginan saya.

Seandainya Allah menjawab permintaan Elia, kemungkinan besar bangsa Israel tidak akan merasakan pelayanan Nabi Elisa. Kalau Allah menjawab keinginan saya, tulisan ini pun tak pernah ada.

Dan Allah tidak saja memberikan kehidupan, tetapi juga memberi bekal. Dua kali Elia dibangunkan oleh malaikat TUHAN dan dua kali pula ia makan roti bakar dan minum air. Makanan dan minuman itulah yang menjadi bekal bagi Elia untuk menempuh perjalanan berikutnya. Dengan kata lain, makanan dan minuman itulah yang memampukan Elia menempuh perjalanan hidup selanjutnya.

Kisah Elia adalah juga kisah kita. Tentulah, ada masa sulit yang membuat kita merasa tak mampu lagi melanjutkan hidup. Kita merasa lebih baik mati saja. Akan tetapi, Allah senantiasa memberikan bekal kepada kita untuk tetap menjalani perjalanan hidup kita.

Dan hidup berarti pula karya.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Siapa Bertelinga…

”Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar.” (Mat. 13:9). Demikianlah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Mungkin agak keras dalam pandangan kita. Namun, kalimat itu hendak mengingatkan manusia akan keberadaan dan panggilannya selaku manusia. Kenyataannya, banyak orang tak lagi mampu menjadi manusia.

Sekadar contoh: soal pendengaran tadi. Yang bertelinga, tak mau mendengar, apalagi mendengarkan. Lalu, apa arti sepasang telinganya? Bukankah telinga dimaksudkan agar orang mampu mendengar?

Persoalan kemauan dan kemampuan menjadi penting kita renungkan karena kemampuan mendengar belum tentu berbanding lurus dengan kemauan mendengar.

Lagi pula, tak ada kelopak telinga, yang ada hanyalah daun telinga. Itu berarti proses pendengaran tak perlu instruksi otak. Kita tak mungkin menutup telinga sebagaimana mata. Artinya, tak mendengar sungguh aneh.

Lebih aneh lagi, jika manusia merasa perlu menyeleksi apa yang didengarnya. Persoalannya: banyak orang mendengar apa yang ingin didengarnya. Kalau sudah begini, nasihat Sang Guru menjadi modal utama bagi para murid-Nya, yang hari ini memulai minggu kerja baru: ”Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!”

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Alangkah Baiknya

”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm. 133:1). Demikianlah Daud memulai nyanyian ziarahnya.

Prinsip kerukunan, menurut Rama Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa, bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, dan tanpa perselisihan dan pertentangan. Agar rukun, individu bersedia menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Apakah yang lebih baik dan indah ketimbang hal ini?

Persoalannya: kadang orang berpikir, jika seseorang berbeda pendapat dengan dirinya, maka orang tersebut pasti tidak menyukai dirinya. Sejatinya, orang boleh berbeda pandangan, tetapi harus tetap menghargai setiap pribadi.

Bagaimanapun, menghargai pribadi sebagai pribadi yang unik merupakan penghargaan terhadap Sang Pencipta, yang telah menciptakan keunikan itu. Lagi pula, ada pepatah: ”Selera memang tidak bisa diperdebatkan”.

Ingatlah ketujuh bias warna pelangi! Masing-masing berbeda warnanya, tetapi keragaman warna itulah yang membuat pelangi tampak indah. Bayangkan jika hanya satu atau dua bias warna saja yang muncul! Keindahan itu tampak karena mereka berbeda. Perbedaan itu memperindah dan memperkaya.

Sama halnya dengan alat musik angklung. Satu angklung: satu nada. Masing-masing angklung mempunyai nada tertentu, yang unik dan hanya dimilikinya sendiri. Namun toh, dia tidak dapat hidup sendirian. Untuk menjadi bagian dari sebuah lagu, maka perlu menerima dan menghargai angklung lainnya. Karena berbeda, maka mereka saling membutuhkan. Karena berbeda, mereka bersatu. Perbedaan itulah yang mempersatukan. Dan itu pulalah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan kerja kita.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menara Babel

Di manakah letak kesalahan pembuatan Menara Babel? Pastilah bukan pada menaranya. Bukan itu kesalahannya hingga Allah menghentikan pembangunannya. Menara itu tak punya satu kesalahan pun.

Kesalahan bukan pula terletak pada kemampuan manusia dalam membangunnya. Bagaimanapun, manusia—yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah—mempunyai kemampuan mencipta.

Kreativitas merupakan bukti terkuat bahwa manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Manusia yang tidak kreatif pada dasarnya mengingkari panggilannya selaku manusia. Dan IPTEK merupakan karunia Allah juga.

Lalu, di mana kesalahannya? Kesalahannya adalah pada motivasi di balik pembuatan menara itu. ”Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi” (Kej. 11:4). Demikianlah mereka bersepakat satu sama lain.

Mendirikan sebuah kota dengan menara yang sampai ke langit bukanlah kesalahan. Namun, pertanyaannya: mengapa perlu membuat menara? Apa tujuannya? Dan tujuannya: ”cari nama”! Dalam Alkitab BIMK tertera: ”supaya kita termasyhur”. Menara itu dibuat agar manusia terkenal!

Manusia ingin cari nama! Manusia ingin terkenal! Manusia ingin dipuji! Sesungguhnya, semuanya itu merupakan perlawanan kepada Sang Pencipta. Dan pada titik itu Allah bertindak.

Ya, inilah masalahnya. Itu jugalah agaknya yang membuat mereka tak lagi mampu bekerja sama saat tak lagi paham bahasa tutur. Sebenarnya mereka bisa menggunakan bahasa isyarat. Kenyataannya tidak! Mereka sulit bekerja sama karena setiap orang ingin mencari nama sendiri-sendiri.

Nah sekarang, apakah motivasi kerja Anda hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jangan Setengah-setengah

Jagat tenis dikejutkan minggu lalu dengan kelahiran juara baru tunggal putri Australia Terbuka (1/2/2020). Sang juara Sofia Kenin mementahkan prediksi pasar taruhan, juga pendapat orang-orang yang meragukan kemampuannya. Di negerinya sendiri, Amerika Serikat, Kenin berada di bawah bayang-bayang Serena Williams, Madison Keys, juga Cori ”Coco” Gauff, petenis 15 tahun yang menembus babak keempat Wimbledon 2019.

Kepada publik, Kenin berpesan, ”Jika punya mimpi, kejarlah.” Pesan yang telah dibuktikannya sendiri di lapangan. Jalannya memang tidak mulus. Kemenangan di Australia Terbuka tercapai setelah kehilangan set pertama. Akan tetapi, semangat bertandingnya membuat dia sanggup membalikkan keadaan.

Kepada Timotius, Paulus berpesan, ”Jangan lalai dalam mempergunakan karunia yang ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua” (1Tim. 4:14).

Karunia yang dimaksudkan di sini adalah jabatan pemimpin jemaat yang diemban Timotius. Itu analog dengan SK Pengangkatan Kerja dalam dunia sekuler. Dan kerja merupakan karunia terbesar manusia setelah keselamatan.

Mungkin persoalan kita bukanlah lalai. Hanya kadang, mungkin karena bosan, kita malah bersikap setengah-setengah dalam bekerja. Yang penting selesai.

Padahal, kerja adalah karunia Allah sendiri. Dan Dia ingin melayani dunia ini melalui kerja kita. Jadi, jangan setengah-setengah. Dan kita bisa belajar dari Kenin dalam hal ini.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Carilah Tuhan

”Carilah TUHAN, maka kamu akan hidup” (Am. 5:6). Demikianlah nasihat Amos. Nasihat logis. Allah itu sumber hidup. Kalau mau hidup, ya carilah Dia.

Mencari Allah berarti menjadikan Dia fokus kehidupan kita. Pandangan mata hati kita terarah kepada-Nya. Dan itulah yang membuat kehidupan kita sungguh hidup.

Dan dalam mencari Allah, Amos mengajak umat Israel tak sekadar puas dengan tidak berbuat jahat, tetapi aktif melakukan yang baik. ”Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang; mungkin TUHAN, Allah semesta alam, akan mengasihani sisa-sisa keturunan Yusuf” (Am. 5:15).

Di sinilah persoalan manusia pada umumnya: Sudah merasa puas jika tidak berbuat jahat. Padahal, dalam bilangan bulat, sekadar tidak berbuat jahat nilainya nol. Dan karena itu, kita dipanggil untuk berbuat baik.

Caranya adalah dengan menegakkan keadilan. Itu berarti menerapkan keadilan dalam diri. Sederhana saja: jika Saudara mempunyai pembantu rumah tangga, berikan upahnya pada waktunya.

Bayarlah juga utang Saudara! Jangan pernah berpikir bahwa orang yang berpiutang itu tak akan menjadi miskin seandainya Saudara tidak membayar utang. Tidak. Kita harus bersikap adil!

Bersikap adil juga berarti menyeimbangkan antara hak dan kewajiban dalam pekerjaan kita. Menuntut hak tanpa menunaikan kewajiban tentu bukanlah hidup yang seimbang. Dan semua ketidakseimbangan niscaya akan membuat kita jatuh.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Tuhan Menyediakan

Kisah pengurbanan Ishak di gunung Moria (Kej. 22:1-14) sungguh menarik disimak. Dalam bukunya, How To Enjoy The Bible, Pastor Leo van Beurden, OSC menyatakan tindakan Abraham itu sebagai puncak perjalanan iman Abraham. Pada mulanya Abraham diminta meninggalkan masa lalunya dan hanya berpegang kepada Allah. Sekarang dia diminta melepaskan masa depannya—keturunannya Ishak—dan berpegang kepada Allah saja.

Abraham menyambut permintaan Allah itu dengan baik. Tampaknya dia percaya bahwa Allah tidak akan pernah melupakan janji-Nya. Bukankah Allah yang telah menolongnya selama ini?

Memang bukan perkara ringan. Bagaimanapun, Ishak adalah anak yang dijanjikan Allah. Abraham pun sangat mengasihinya. Namun demikian, Abraham menyambut permintaan Allah itu karena tak ingin mengecewakan Allah. Meski taruhannya adalah nyawa anaknya sendiri.

Lagi pula, Abraham percaya bahwa kehendak Tuhan, meski terkadang aneh, merupakan hal yang terbaik baginya. Dan Abraham belajar untuk percaya. Bicara soal keturunan, dia memang pernah berbuat salah ketika mengambil Hagar sebagai selir dan melahirkan Ismael. Dan dia tidak ingin berbuat salah lagi.

Iman Abraham itu tampak saat dia berkata, ”TUHAN menyediakannya!” Sesungguhnya, jalan hidup Abraham memang demikian. Allahlah yang menyediakan apa yang dibutuhkannya. Kalau Dia hendak mengambilnya, mengapa pula harus menolak? Bukankah semuanya itu berasal dari Dia? Bukankah Tuhan yang menyediakan apa yang dimilikinya?

Dan sebagaimana Abraham kita pun dapat berkata, sebagaimana pemazmur, ”Tetapi aku, kepada kasih setia-Mu aku percaya, hatiku bersorak-sorak karena penyelamatan-Mu. Aku mau menyanyi untuk Tuhan karena Ia telah berbuat baik kepada-Ku…” (Mzm. 13:5). Percayalah.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro

Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Hukum dan Keadilan

”Ya Allah, berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putera raja!” (Mzm. 72:1). Catatan redaksi Mazmur 72 menarik disimak: mazmur ini berasal dari Salomo yang menyatakan bahwa awalnya merupakan doa-doa Daud bin Isai.

Doa ini memperlihatkan betapa ”kuasa,” mengutip Lord Acton, ”cenderung membuat manusia menjadi korup dan kuasa yang mutlak pasti korup.” Setulus-tulusnya orang, ketika berkuasa tak steril dari sikap menjadi diktator. Itu jugalah pengalaman Daud, khususnya ketika dia merebut Batsyeba dari Uria.

Agaknya sengaja diberi catatan bahwa mazmur ini merupakan doa dari Daud bin Isai. Yang ditekankan bukanlah keberadaan Daud sebagai raja, tetapi sebagai manusia biasa—daging belaka, yang memang rentan. Di Getsemani pun, Sang Guru mengingatkan, ”roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat. 26:41).

Dalam doanya, Daud memohon hukum Allah. Dia kelihatannya sadar bahwa manusia yang berkuasa kadang merasa boleh melakukan apa saja. Sejarah mencatat begitu banyak diktator. Bahkan, Raja Louis XIV kabarnya pernah berujar, l’etat c’est moi ’negara adalah saya’.

Tak hanya raja, Daud juga menyadari bahwa anak-anak raja kadang merasa lebih hebat dari raja. Mungkin ini juga pengalaman Salomo. Sehingga mereka pun perlu berlajar bersikap adil. Dasar keadilan itu bukan perasaan atau pikiran pribadi, tetapi hukum Allah.

Sejatinya, bukan soal besar atau kecilnya kuasa. Tukang parkir pun bisa menyalahgunakan kuasanya jika ada pengemudi yang dirasa semaunya. Karena itu, manusia perlu membatasi diri. Yang bisa membatasi hanyalah Allah sendiri.

Sesungguhnya aturan dibuat bukan untuk mengikat, tetapi menolong manusia dalam menjaga dirinya agar tetap bermartabat manusia. Dan dalam hidup ada banyak aturan. Salah satunya aturan kerja di kantor kita. Butuh kerelaan untuk mengikatkan diri padanya. Itulah makna sebuah komitmen.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

 

 

Posted on Tinggalkan komentar

Hati yang Berhikmat

”Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat…” (1Raj. 3:9). Demikianlah jawaban Salomo ketika Allah memberinya kesempatan untuk meminta apa pun juga.

Salomo agaknya sadar bahwa dirinya raja—pengambil keputusan tertinggi di kerajaan. Sehingga, dia lebih memprioritaskan hati yang berhikmat ketimbang usia, harta, dan kemenangan. Dan permintaan Salomo itu baik di mata Allah karena seturut kehendak-Nya.

Salomo tidak meminta hikmat. Tidak. Hikmat bukan sesuatu yang sudah jadi dari sananya. Semua itu bersumber dari hati. Fokus Salomo adalah hati yang mampu menimbang-nimbang: mana yang benar, baik, dan tepat.

Kunci hati yang berhikmat adalah persekutuan dengan Allah. Tuhan Yesus pernah bersabda: ”Akulah terang dunia; siapa saja yang mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang kehidupan” (Yoh. 8:12). Manusia hanya mampu mengambil keputusan jernih dalam terang. Dalam gelap yang ada hanyalah kegamangan, bahkan ketakutan.

Ketika kita memiliki terang kehidupan, kita pun dapat menerangi hidup orang lain. Pada titik ini setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil tidak hanya berguna untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain—sebagaimana Salomo!

Tahun kerja baru sudah di depan mata. Apa pun level pekerjaan kita, semuanya itu berkait dengan keputusan. Dan hati yang berhikmat adalah kuncinya.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jangan Korup!

Pada Hari Antikorupsi Internasional, 9 Desember ini, Yohanes Pembaptis mempunyai pesan layak simak. Kepada para pemungut cukai, dia berkata, ”Jangan menagih lebih banyak daripada yang telah ditentukan bagimu” (Luk. 3:13). Tegasnya: jangan menyalahgunakan jabatan. Jangan korup!

Jabatan itu amanat, bukan alat untuk mengumpulkan kekuasaan dan menggunakannya demi kepentingan pribadi. Kalaupun dipahami sebagai alat, ya harus dipakai untuk kesejahteraan umum.

Kepada para prajurit yang bertanya, anak Zakharia itu menjawab, ”Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu” (Luk. 3:15). Jelas maknanya: jangan menyalahgunakan wewenang dan cukupkan diri dengan gaji yang ada!

Yohanes Pembaptis menegaskan pentingnya rasa cukup. Manusia tentu boleh mempunyai keinginan, tetapi jangan ngoyo! Jangan sampai keinginan itu mendorong kita menjadi preman-preman baru, yang hobinya merampas dan memeras.

Penyalahgunaan jabatan dan wewenang sejatinya akan menimbulkan keresahan dan kerusuhan dalam hati pelakunya. Mereka akan dihantui perasaan takut ketahuan. Itu pulalah yang membuat hatinya makin gelisah.

Belum lagi dengan kenyataan—ini dampak buruk reformasi ’98—mantan pejabat biasanya menjadi bulan-bulanan pejabat berikutnya. Saat menjadi pejabat, orang gentar benar terhadap jabatannya. Baru setelah pensiun, orang mulai mengungkit-ungkit borok lama. Oleh karena itu, selama menjabat, jangan sekali-kali korup!

Pesan Yohanes Pembaptis sederhana. Saking sederhananya, mungkin kita malah mengabaikannya. Padahal, segala hal besar dibangun oleh tindakan-tindakan sederhana.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Aku Menunggu-nunggu

Apakah yang kita lakukan sesudah bangun tidur hari ini? Jawabannya mungkin beragam. Dan Daud punya pernyataan yang baik untuk disimak: ”TUHAN, pada waktu pagi Engkau mendengar seruanku, pada waktu pagi aku mengatur persembahan bagi-Mu, dan aku menunggu-nunggu” (Mzm. 5:4).

Pertama, yang dilakukan Daud adalah berseru. Berseru mengandaikan bahwa dia butuh Allah. Seruan mengandaikan juga bahwa dia tidak sendirian. Setidaknya ada Pribadi yang diyakini bersedia mendengarkan seruannya. Daud rindu bersekutu dengan Allah.

Kedua, Daud mengatur persembahan bagi Allah. Persembahan tak perlu dibatasi hanya dengan uang. Mengatur persembahan bisa diartikan juga mengatur segala agenda yang akan dilakukan hari itu. Itu berarti, semua hal yang akan kita lakukan sepanjang hari ini layak dipersembahkan kepada Allah.

Ketiga, Daud menunggu-nunggu. Dia sedang menunggu berkat Allah. Berkat Allah merupakan modal utama dalam seluruh kehidupan manusia. Daud tahu itu. Dia menunggu berkat Allah mengalir sepanjang hari melalui segala yang dia lakukan pada hari itu. Dia terus menggantungkan dirinya kepada Allah.

Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga terus menunggu-nunggu Allah bekerja melalui semua kegiatan kita hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Melayani dengan Kekayaan

”Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka” (Luk. 8:3). Subjeknya adalah perempuan-perempuan ini. Mereka bukan laki-laki. Mereka perempuan, golongan yang kurang mendapat tempat dalam budaya Yahudi.

Akan tetapi, Lukas mencatat bahwa perempuan-perempuan juga diberi tempat untuk melayani rombongan Yesus. Mereka boleh melayani. Pelayanan tidak hanya monopoli laki-laki. Perempuan pun boleh menjadi pelayan.

Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Dengan biaya sendiri, mereka membantu Yesus dan pengikut-pengikut-Nya.” Jelaslah, mereka menggunakan biaya sendiri. Artinya: dengan uang mereka sendiri, mereka membantu Yesus dan pengikut-Nya.

Pelayanan butuh modal. Dan modal terbesar bukan uang, namun manusia. Manusialah yang punya uang. Tersirat, para perempuan itu memandang uang sebagai alat. Kekayaan hanya alat. Dan, penting dicatat, pelayanan bukan untuk mencari kekayaan.

Mengapa mereka melakukannya? Tak mudah menjawabnya! Namun, kita bisa menambahkan sebuah tanya: ”Mengapa kita tidak melakukannya?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jangan Baperan

Namanya Lilik Susanto. Seorang pengemudi ojek online. Dalam perjalanan menumpang motornya dari sebuah mal di Kelapa Gading ke Gereja Kristen Jawa Jakarta, saya menanyakan perihal profesi yang dipilihnya.

Ini jawabannya: ”Kayak orang jualan saja, Pak! Lagi rame enggak usah seneng, lagi sepi enggak usah ngeluh.” Prinsip sederhana sekaligus jitu. Pada hemat saya prinsip macam begini akan membuat dia bersikap seimbang, tidak baperan.

Tak mudah mengembangkan prinsip macam begini. Kenyataannya manusia sering terbawa perasaannya. Yang akhirnya membuatnya dia semakin sulit maju dan berkembang. Lagi pula perasaan memang bak cuaca yang mudah berubah.

Pilihan sikap ”lagi rame enggak usah seneng, lagi sepi enggak usah ngeluh” tentu bukan tanpa dasar. Satu-satunya dasar adalah percaya bahwa semua ada yang ngatur. Dan yang mengatur adalah Allah sendiri. Semua sudah ada takarannya seturut dengan maksud Allah. Bagian kita hanyalah bekerja dengan sebaik-baiknya.

Mengapa? Sebab ”Allah mengatur segala hal, sehingga menghasilkan yang baik untuk orang-orang yang mengasihi Dia dan yang dipanggil-Nya sesuai dengan rencana-Nya” (Rm. 8:28, BIMK).

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Tukang Periuk dan Bejana-Nya

”Apabila bejana, yang sedang dibuatnya dari tanah liat di tangannya itu, rusak, maka tukang periuk itu mengerjakannya kembali menjadi bejana lain menurut apa yang baik pada pemandangannya” (Yer. 18:4).

Setidaknya, ada tiga hal yang kita bisa simpulkan dari pengamatan Yeremia ini. Pertama, Allah adalah pribadi yang mengasihi ciptaan-Nya. Dia menginginkan yang terbaik dalam diri ciptaan-Nya. Buktinya: Allah menciptakan manusia seturut citra-Nya.

Tak hanya itu, Allah mengaruniakan kehendak bebas dalam diri manusia. Allah sungguh memahami, dengan kehendak bebasnya itu manusia bisa salah. Dan di mata Allah salah langkah bukan aib. Yang aib adalah saat manusia tak mengakui kesalahannya.

Kedua, ketika manusia mengakui kesalahannya, pada titik itulah Allah bersedia menyempurnakannya kembali. Seperti tukang periuk, Allah tidak akan membuang bejana yang rusak itu. Dengan telaten dan sabar Dia akan menyempurnakannya.

Ketiga, penyempurnaan itu pastilah makan waktu. Tak jarang juga menyakitkan. Pertanyaannya: Maukah kita dibentuk Allah? Maukah kita pasrah total kepada-Nya? Maukah kita percaya bahwa apa yang dilakukan-Nya baik semata?

Pembaruan diri merupakan kata kunci kehidupan Kristen. Dan tak jarang Allah memakai orang-orang terdekat—juga kolega di kantor kita!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kedaulatan Allah vs Kedaulatan Manusia

”Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu” (Luk. 6:20, 24).

Demikian sabda Yesus. Namun, itu tidak berarti, orang miskin pasti bahagia dan orang kaya pasti merana. Keadaan orang miskin akan berubah menjadi baik asal mereka menerima kedaulatan Allah yang mutlak penuh. Sedangkan keadaan orang kaya akan menjadi buruk kala menolak kedaulatan Allah.

Menurut Rama Gianto, Injil Lukas mau berbicara kepada orang miskin, yakni orang yang kekurangan materi, orang yang tak bisa mencukupi kebutuhan hidup, yang hidupnya pas-pasan. Namun, Injil juga berbicara kepada orang kaya, yakni orang yang berkelebihan, orang yang tak merasakan kekurangan.

Kepada yang miskin dikatakan bahwa mereka tak dilupakan Allah. Mereka malah boleh merasa memiliki Kerajaan Allah. Kepada orang kaya tidak dikatakan bahwa mereka tidak memiliki Kerajaan Allah. Namun, kehidupan mereka itu tak akan ada artinya, malah mendatangkan celaka, bila sudah merasa puas dan aman dengan kelimpahan mereka.

Pada titik ini Yesus tidak menjajakan kemiskinan sebagai keutamaan dan mencerca kekayaan sebagai sumber laknat. Sesungguhnya, sabda bahagia itu memampukan orang berharap akan merdeka sekalipun masih terbelit kemiskinan atau terjerat ikatan kekayaan. Sabda Yesus menawarkan kepada manusia untuk menata kembali martabatnya secara utuh, tidak lusuh karena kemelaratan atau busuk tertimbun kekayaan.

Dan semuanya itu hanya mungkin terjadi tatkala manusia mengizinkan Allah bertakhta atas dirinya!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Bukankah Ia Ini Anak Yusuf?

Bukankah Ia ini anak Yusuf? (Luk. 4:22). Itulah kalimat yang terlontar karena tidak adanya mukjizat penyembuhan. Bisa jadi mereka bingung mengapa Yesus tidak melakukannya. Jika Yesus melakukan penyembuhan di banyak tempat, masak di kota masa kecil-Nya kagak?

Mereka tampaknya ingin Yesus membuktikan diri sebagai pribadi yang sanggup membuat mukjizat. Selama ini mereka hanya mendengar kehebatan-Nya, dan sekarang mereka ingin menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka ingin bukti! Dan untuk semua alasan itu, Yesus punya satu jawaban: tidak.

Yesus tidak tergoda untuk membuktikan diri di hadapan teman-teman sepermainan-Nya. Yesus tidak tergoda untuk membuktikan kehebatan-Nya. Bahkan, Yesus siap dianggap kacang lupa kulit.

Di sini Yesus tidak melakukan sesuatu seturut kata orang. Yesus merupakan pribadi merdeka. Akan tetapi, itu tidak berarti bersikap dan bertindak semau-Nya. Bagaimanapun, Yesus merupakan pribadi yang taat kepada Bapa-Nya.

Kalau Yesus melakukan mukjizat, hal itu bukan untuk memuaskan keinginan orang—apalagi diri-Nya—tetapi agar makin banyak orang mengenal dan memuliakan Allah. Jika dicermati, di akhir semua mukjizat Yesus senantiasa ada, setidaknya satu orang, yang bersyukur kepada Allah.

Jadi, semua mukjizat itu dilakukan bukan buat pamer. Bukan untuk mendapatkan tepuk tangan. Sekali lagi, agar semakin banyak orang mengenal dan memuliakan Allah. Yesus memang tidak sembarangan membuat mukjizat.

Yesus merdeka. Dia hanya melakukan apa yang dikehendaki Bapa. Manusia memang sering menuntut ini dan itu. Namun, Yesus lebih mendengarkan perkataan Bapa ketimbang manusia. Dan karena sikap itulah Yesus siap ditolak!

Bagaimana dengan kita? Juga dalam pekerjaan hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Visi Pemazmur

”Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa” (Mzm. 67:2-3).

Pemazmur mempunyai keinginan kuat agar Allah memberkati dirinya. Ini merupakan keinginan wajar. Allah pencipta. Lumrahlah, meminta berkat dari Sang Pencipta. Yang tak lumrah ialah ketika seseorang merasa tak perlu lagi mengharap berkat Allah karena merasa mampu memberkati dirinya sendiri. Lebih tidak lumrah kala seseorang menolak berkat Allah.

Namun, pemazmur tidak meminta berkat itu untuk dirinya sendiri. Berkat Allah diharap bukan untuk dinikmati sendirian, tetapi agar kehendak Allah dikenal di seluruh bumi dan keselamatan yang dari Allah juga dirasakan semua bangsa.

Pemazmur berkerinduan kuat, agar segala bangsa, tak hanya Israel, mengenal Allah. Kerinduan yang kuat ini bisa kita sebut visi. Visi pemazmur—bisa kita ringkas dengan tiga kata—manusia mengenal Allah. Dan misinya ialah mewujudkan visi tersebut.

Misi umat Allah ialah memperkenalkan Allah kepada dunia. Perkara orang menerima atau menolaknya, itu bukan urusan kita lagi. Namun, kita harus senantiasa berupaya untuk menolong orang mengenal Allah dan merasakan kasih-Nya.

Dalam pembukaan katekismus Heidelberg, tersurat: ”Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati? Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milikku, melainkan milik Yesus Kristus, Juru Selamatku yang setia.”

Itulah makna Injil: kita milik Allah dalam Yesus Kristus. Kepada umat milik-Nya, Yesus berkata: ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu…” (Yoh. 14:27). Dan itulah kebutuhan utama manusia! Lalu, apakah kita berniat membagikannya? Atau damai sejahtera itu kita nikmati sendirian?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Mendengarkan Suara-Nya

Semasa hidup Bunda Teresa pernah membagikan kisah perjumpaannya dengan seorang imam, yang kabarnya juga seorang teolog terbaik di India saat itu.

Peraih hadiah Nobel perdamaian itu berkata, ”Saya mengenal beliau sangat baik, dan saya berkata kepadanya, ’Romo, Anda berbicara tentang Allah sepanjang hari. Alangkah dekatnya Anda dengan Allah!’ Dan tahukah Anda apa yang dikatakannya pada saya? Dia menjawab, ’Saya mungkin berbicara terlalu banyak tentang Allah, tetapi saya mungkin berbicara terlalu sedikit kepada Allah.’ Dan kemudian dia menjelaskan, ’Saya mungkin mengutarakan begitu banyak kata dan mengatakan banyak hal baik, tetapi jauh di lubuk hati saya tidak punya waktu untuk mendengarkan. Padahal dalam keheningan hatilah, Allah berbicara kepada kita.’”

Masalahnya kerap di sini. Kita mungkin terlalu banyak berbicara tentang Allah, atau banyak hal baik, tetapi pertanyaannya: apakah kita sungguh-sungguh mendengarkan Allah?

Mendengarkan adalah awal pemahaman. Tanpa pendengaran yang baik, mustahil kita mampu memahami kehendak Allah. Akhirnya, apa yang kita lakukan bukanlah kehendak Allah, melainkan kehendak kita sendiri.

Padahal, sebagai Kristen kita sering berkata melalui doa Bapa Kami: ”Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Lalu bagaimana kita sungguh yakin bahwa apa yang kita lakukan merupakan kehendak Allah, jika kita sendiri tidak mendengarkan Suara-Nya?

Mendengarkan bukan perkara gampang. Banyak godaan yang membuat kita sulit hening dan mendengarkan Allah. Tekanan hidup sering membuat kita lebih berkonsentrasi pada suara kita sendiri. Namun, baik kepada umat Israel maupun kita sekarang ini, ajaran Musa jelas, ”Jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku…” (Kel. 19:5).

Dan tak jarang Allah berbicara melalui rekan kerja kita.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Engkau Berharga di Mata-Ku

Ia sungguh tak mengerti mengapa lingkungan menolaknya. Mereka sering mengejeknya karena tubuhnya berbeda dengan anak itik lainnya. Mereka acap menertawakan gaya berenangnya yang tak lazim di kalangan itik.

Meski demikian, ia masih bisa menahan perasaannya. Dan menganggapnya sebagai bagian dari hidup. Dan mustahil mengharapkan semua hewan menyukai dirinya. Itulah prinsip yang dianutnya.

Yang lebih menyakitkan ialah tatkala saudara-saudaranya ikut-ikutan mencemoohnya. Mulanya ia mengharapkan perlindungan ibunya. Namun, ia sadar, ibunya tampaknya malu mengakuinya sebagai anak. Bahkan, ibunya, atas desakan saudara-saudaranya, ikut mengusirnya dari areal peternakan itu.

Itulah awal kisah Itik Si Buruk Rupa, karya H.C. Andersen. Dengan sedih, ia mengembara tanpa arah. Dalam pengelanaannya, tak terhitung berapa kali dia luput dari bahaya. Banyak hewan menolaknya.

Suatu kali ia bertemu beberapa angsa cantik, yang mau menerimanya. Ia pun akhirnya menemukan dirinya. Ia ternyata seekor angsa yang cantik.

Sadarlah ia, mengapa banyak anak itik yang menertawakan bentuk badannya yang bongsor, juga gaya berenangnya. Sebab, ia memang bukan anak itik. Ia anak angsa. Karena itulah ia tidak merasa perlu menyesali masa lalu. Apalagi membenci saudara-saudaranya.

”Masa lalu membentuk dirimu, jangan jadi bebanmu!” Ujar Chan Jun Bao dalam film Taichi Master. Tanpa masa lalu, tak ada masa sekarang. Membenci masa lalu berarti membenci diri sendiri yang merupakan bagian dari masa lalu.

Berdamai dengan masa lalu berarti pula berdamai dengan diri sendiri. Intinya, menerima diri sendiri. Hal terlogis yang dapat kita lakukan ialah menerima diri apa adanya. Dan ada satu alasan untuk itu: ”Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia” (Yes. 43:4).

Apakah masa lalu menjadi beban Saudara hingga hari ini? Terimalah masa lalu itu. Terimalah diri Saudara apa adanya. Bagaimanapun juga, di mata Tuhan kita berharga dan mulia!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Insan-insan Merdeka

Semasa hidup, Ibu Teresa pernah mengunjungi keluarga Hindu miskin. Dalam kunjungannya, penerima hadiah Nobel perdamaian itu membawa beras untuk membantu keluarga tersebut. Nyonya rumah menerimanya, membagi beras itu menjadi dua, lalu pergi ke luar rumah.

Photo by Nick Agus Arya on Unsplash

Ketika wanita itu kembali, Ibu Teresa bertanya ke mana dia pergi. ”Ke rumah tetangga,” jawabnya, ”mereka juga lapar.”

Ibu Teresa adalah sosok insan merdeka. Dia memperlihatkan jiwa merdeka kala meninggalkan negerinya dan pergi ke India sebagai misionaris. Dia juga menampakkan diri selaku pribadi merdeka saat meninggalkan pelayanan sebagai kepala sekolah dan membuka ladang pelayanan baru dalam kekumuhan masyarakat Kolkata. Kisah tadi memperlihatkan kemerdekaan Ibu Teresa sewaktu memberikan beras kepada keluarga dina itu.

Memberi kepada orang lain merupakan tindakan insan merdeka. Dia tak lagi terikat dengan benda tersebut. Dia bersikap lepas-bebas terhadap barang yang dimiliki. Dia rela melepas agar orang lain bisa merasakan apa yang dinikmatinya.

Tindakan merdeka itu menular. Keluarga Hindu miskin itu ternyata tak mau menikmati beras sendirian. Mereka teringat kepada tetangga mereka yang juga lapar. Mereka berbagi agar orang lain bisa makan.

Keluarga Hindu miskin itu juga insan merdeka. Hati dan pikiran mereka tidak melekat pada beras. Mereka rela melepaskannya. Meski sadar, beberapa hari kemudian mereka mungkin tak lagi punya beras untuk dimakan. Agaknya, mereka tak terlalu hirau masa depan. Saat memiliki beras, mereka ingin tetangga sebelah juga merdeka dari lapar.

Kemerdekaan merupakan sikap hidup. Soalnya: apakah seseorang merdeka terhadap harta miliknya? Dan menjadi insan merdeka merupakan panggilan insani karena—mengutip sabda Sang Guru—”Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada” (Mat. 6:21).

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Akulah Kebangkitan dan Hidup

”Akulah kebangkitan dan hidup” (Yoh. 11:25). Di dalam suasana duka, Marta mendengar ucapan berwibawa ini. Yesus adalah kebangkitan dan hidup. Artinya, tak ada kematian kekal dalam diri orang yang percaya kepada-Nya. Kematian merupakan awal kehidupan kekal para pengikut Kristus.

Photo by Ricardo Mancía on Unsplash

Itu jugalah kalimat yang menghiburkan dan menguatkan setiap Kristen. Tak hanya dapat dirasakan di surga nanti, tetapi juga di dunia kini.

Dalam pengalaman hidup sesehari, tentu kita pernah mengalami saat-saat sulit, yang membuat kita merasa lebih baik mati saja. Namun, ini pula yang sering terjadi, kita mengalami bahwa Tuhan sungguh nyata dalam hidup. Tuhan peduli.

Ketika semua jalan terasa buntu, kita merasakan tangan Tuhan yang membangkitkan dan menghidupkan. Biasanya dengan cara yang tidak kita duga sebelumnya.

Jika memang demikian pengalaman kita, apakah kita telah menjadi orang yang membangkitkan dan menghidupkan orang lain? Apa yang telah kita lakukan bagi orang lain?

Lebih sempit lagi, bagaimanakah tutur kata kita terhadap orang lain? Kita tahu, pujian akan membangkitkan, menghidupkan, dan menyelamatkan hidup orang. Kapankah terakhir kali kita memuji?

Kita semua juga tahu, makian dan cemoohan akan mematikan dan membuat banyak orang tidak berkembang. Kapankah terakhir kali kita memaki, mencemooh, atau menyindir?

Dan manakah yang lebih banyak dirasakan orang lain: kata-kata yang menghidupkan atau yang mematikan? Pujian atau cemoohan?

Jika kita percaya bahwa Yesus adalah kebangkitan dan hidup—yang membangkitkan dan menghidupkan, apakah kita juga telah membangkitkan dan menghidupkan orang lain—khususnya rekan kerja kita?

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Jika Garam Itu Menjadi Tawar

Seorang murid bertanya kepada Kung Fu Tse, ”Guru, semakin lama kita hidup dan semakin banyak kita belajar, semakin banyak kita mengetahui. Dari sekian banyak hal itu, apa yang paling perlu kita pelajari dan ketahui?” Kung pun menjawab, ”Li.” Demikianlah percakapan yang direkam Andar Ismail dalam bukunya Selamat Menabur”.

Menurut Kung Fu Tse—filsuf Cina yang hidup pada abad ke-5 SM—yang paling perlu dalam hidup manusia adalah mengetahui dan menjalankan li. Li berarti peran yang sesuai hakikat, perilaku pantas, atau sikap hidup yang patut. Dan setiap orang mempunyai sedikitnya satu li.

Misalnya, li seorang majikan adalah mengupayakan kesejahteraan karyawannya sebaik mungkin, sedangkan li karyawan adalah berdedikasi dengan kinerja setinggi mungkin. Kalau jadi guru, mengajarlah dengan segenap hati; kalau menjadi murid, belajarlah dengan sepenuh hati. Intinya, hidup berkualitas.

Yesus Kristus agaknya tengah membicarakan li saat berujar, ”Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan?” (Mat. 5:13). Hakikat garam adalah asin. Fungsinya menggarami. Ketika garam kehilangan asinnya, maka dia akan kehilangan fungsinya; dia tidak dapat menjalankan li-nya.

Menurut G.M.A. Nainggolan, mantan pemimpin redaksi BPK Gunung Mulia juga guru kepengarangan saya, ”Lebih baik jadi kuli yang dibutuhkan, ketimbang bos yang tidak dibutuhkan orang.”

Karena itu, menjaga kadar garam merupakan keniscayaan. Caranya: berlatih, berlatih, dan berlatih. Latihan akan membuat kita sempurna. Sebab, tanpa rasa asin, mustahil kita mampu menggarami tempat di mana kita berada. Juga di tempat kerja kita hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Meningkatkan Kapasitas

”Sebab hal Kerajaan Surga sama seperti seorang yang mau bepergian ke luar negeri, yang memanggil hamba-hambanya dan mempercayakan hartanya kepada mereka” (Mat. 25:14). Demikianlah Sang Guru memulai perumpamaan-Nya.

Hal kerajaan surga itu berkait dengan kepercayaan. Sang tuan memercayakan hartanya kepada para hambanya, masing-masing menurut kesanggupannya.

Jelaslah, para hamba itu merupakan orang kepercayaan. Jika tidak, mana mungkin tuan itu mau memercayakan hartanya. Mereka dipercaya. Modal dasar seorang hamba adalah kepercayaan.

Kepercayaan juga modal utama sebuah pekerjaan. Jika hari ini kita masih bekerja, sejatinya kita masih dipercaya. Dan jalan terlogis adalah menghidupi kepercayaan itu dengan penuh tanggung jawab.

Itulah yang dilakukan hamba-hamba yang mendapatkan lima dan dua talenta. Mereka tidak menyia-nyiakan kepercayaan itu. Mereka mengembangkan talenta mereka. Dan hasilnya, peningkatan wewenang dan tanggung jawab.

Sayangnya, hamba yang mendapat satu talenta, tak merasa diri sebagai orang kepercayaan, malah mengubur talenta itu. Akibatnya, predikat hamba pun dicabut dari dirinya.

Meningkatkan kapasitas diri merupakan hal lumrah. Yang berdampak pada hasil kerja, yang bermuara pada keuntungan tempat kerja. Ujungnya-ujungnya pekerja pulalah yang akan ketambahan rejeki.

Jika tidak ada penambahan rejeki pun, percayalah kita telah meningkatkan kualitas curriculum vitae kita. Itu modal bagi masa depan kita.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Doa Pagi

Ketika orang Filistin telah menduduki lembah Refaim, bertanyalah Daud kepada Tuhan, ”Apakah aku harus maju melawan orang Filistin itu? Akan Kauserahkankah mereka ke dalam tanganku?” (2Sam. 5:19). Tuhan menjawabnya, dan Daud pun berbuat sesuai kehendak Tuhan.

Photo by James Coleman on Unsplash

Sewaktu orang Filistin maju sekali lagi untuk menyerang, Daud tidak serta merta menyerang mereka, namun kembali bertanya kepada Tuhan (2Sam. 5:23). Tuhan berkehendak agar Daud menyerang, tetapi dengan strategi berbeda. Daud taat dan menang.

Meski seorang jenderal tempur yang cakap, Daud merasa perlu bertanya. Masalahnya, banyak orang segan bertanya. Mereka pikir itu hanya akan memperlihatkan kelemahan. Daud tidak. Dia bertanya. Sebelum melangkah, Daud berkonsultasi kepada Tuhan.

Mengapa? Sesungguhnya, Daud, juga kita, takkan pernah tahu masa depan. Tiada yang pasti. Akan tetapi, Allah, Sang Pasti itu, mengetahuinya. Dialah pemegang masa depan. Sehingga, jalan terlogis ialah bertanya kepada-Nya. Caranya? Ya, berdoa!

Doa pagi, setelah bangun tidur, merupakan tindakan tepat untuk mempersiapkan strategi dalam menghadapi hari ini.

Pertanyaannya: bagaimana dengan doa pagi kita hari ini?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Melatih Kekuatan

”Memang hitam aku, tetapi cantik, hai puteri-puteri Yerusalem, seperti kemah orang Kedar, seperti tirai-tirai orang Salma.” (Kid. 1:5)

Photo by Stephen Leonardi on Unsplash

Kalimat ini merupakan pengakuan diri. Pengakuan diri yang bersumber pada kenyataan diri. Perempuan itu tidak menyembunyikan kenyataan. Dia tak malu menyatakan bahwa dirinya hitam. Kulitnya tidak putih. Dan dia tidak berusaha memutihkannya.

Dalam BIMK tertera: ”Biar hitam, aku cantik, hai putri-putri Yerusalem; hitam seperti kemah-kemah Kedar, tapi indah seperti tirai-tirai di istana Salomo!” Perempuan itu mampu menerima dirinya. Dia tidak berupaya menjadi orang lain. Bahkan, dia menganggap kehitamannya sebagai kecantikannya. Pada titik inilah kepercayaan diri muncul.

Kepercayaan diri berkembang ketika manusia mampu menerima diri. Kesulitan menerima kenyataan diri akan menyuarkan rasa minder, atau sebaliknya, rasa sombong. Ini jugalah modal utama dalam hubungan antarmanusia.

Rasa percaya diri muncul saat kita mampu menerima kelemahan dan kekuatan diri secara wajar. Dan akan lebih berguna jika kita memfokuskan diri pada kekuatan kita. Melatih kekuatan akan membuat diri kita semakin unik dan berguna. Dan kelemahan pun akhirnya tertutup dengan sendirinya.

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Visi

Kita tidak pernah tahu identitas si lumpuh yang terbaring di kolam Betesda itu? Yang pasti dia telah 38 tahun lumpuh (Yoh. 5:5). Kemungkinan dia pernah berjalan sebelumnya. Tiga puluh delapan tahun bukan waktu sebentar.

Namun, si lumpuh tak patah arang. Dia masih memiliki harapan. Meski peluangnya kecil—karena kalah bersaing dengan para penderita sakit lainnya—dia tetap berharap. Bahkan, ketika sadar tak ada orang yang mau mengangkatnya, dia tak sudi meninggalkan kolam itu. Visinya satu: berjalan.

Yesus tahu keinginannya, tetapi Dia merasa perlu bertanya. Guru dari Nazaret itu ingin menguji apakah si lumpuh tetap hidup dalam visinya. Jawaban si lumpuh memperlihatkan bahwa dia masih menghidupi visinya. Itulah sebabnya Yesus menolong dia mewujudkan visinya.

Nah sekarang, apakah visi Anda dalam bekerja? Selaraskah dengan visi perusahaan? Jika tidak, usul saya: pindah tempat kerja. Sebab Anda pasti akan stres setiap hari. Atau, ini jalan terlogis, sesuaikan visi Anda dengan visi perusahaan.

Setelah itu, komunikasikanlah visi itu dengan Allah! Jika memang selaras dengan visi Allah, Allah pasti akan menolong Anda mewujudkannya. Itu hanya soal waktu. Percayalah!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Keprihatinan, Ketaatan, dan Mukjizat

Kita tak pernah tahu siapa para pelayan itu (Yoh. 2:1-11). Namun, mereka menaati perintah Yesus dengan mengisi enam tempayan itu penuh dengan air.

Photo by Dominik Scythe on Unsplash

Mungkin Anda berkata, ”Namanya juga pelayan, ya harus taat!” Saya sepakat. Akan tetapi, kita tahu ada pelayan yang tidak taat, ogah-ogahan, dan tak serius. Ada juga yang menganggap kerja sebagai beban, sehingga menolak saat ketambahan pekerjaan.

Satu tempayan berisi antara 80-120 liter air, anggap 100 liter. Jika satu ember berisi lima liter air, dan dua tangan mengangkat dua ember, maka satu pelayan membutuhkan 60 rit (bolak-balik) untuk enam tempayan. Dua pelayan membutuhkan 30 rit.

Kemudian Yesus meminta mereka mencedoknya dan membawa ke pemimpin pesta. Ini sungguh menggelikan. Mereka tahu persis bahwa yang mereka timba dan cedok air belaka.

Mungkin mereka bingung, bertanya-tanya dalam hati, juga takut dimarahi pemimpin pesta. Masak pemimpin pesta diminta mencicip air! Namun, sekali lagi, mereka taat. Dan pada saat itulah mukjizat terjadi.

Mengapa mereka taat? Sepertinya mereka prihatin atas pesta itu. Mereka tidak ingin pesta itu gagal dan menjadi buah bibir. Mungkin juga karena mereka menyaksikan keprihatinan Maria dan anaknya Yesus. Karena itu, mereka bertindak.

H. A. Oppusunggu—guru penerbitan saya—pernah berkata, ”Modal terbesar perusahaan bukanlah uang, tetapi keprihatinan.” Keprihatinan mendorong orang bertindak.

Keprihatinan para pelayan itu berbuah ketaatan, yang akhirnya berbuah mukjizat!

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Dicipta untuk Kemuliaan Allah

”Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yes. 43:4).

Israel berharga di mata-Nya. Begitu berharga, hingga Allah merasa perlu menebusnya. Mereka telah dimerdekakan dari Mesir.

Alasan mendasarnya: Allah menjadikan manusia bukan tanpa tujuan. Allah menciptakan manusia untuk kemuliaan-Nya. Tujuan dasar Allah menciptakan manusia ialah untuk memuliakan Dia (Yes. 43:7).

Tak heran, jika Allah sendiri merasa perlu turun ke dunia—menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus—untuk menebus manusia. Sebab manusia memang dicipta untuk sesuatu yang mulia, yakni memuliakan-Allah.

Itu berarti, profesi atau pekerjaan yang kita pilih merupakan sarana untuk memuliakan Allah. Pertanyaannya: apakah tujuan dasar penciptaan itu sudah tergenapi dalam diri Anda?

Selamat Bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kuasa

”Lalu kekuasaan TUHAN meliputi aku” (Yeh. 37:1). Betapa banyak orang—saya juga—ingin memiliki kuasa. Kuasa untuk mengatur orang atau sesuatu. Bangga rasanya jika mampu mengatur.

Photo by Roman Averin on Unsplash

Ada seorang kawan masa remaja bernama Mangatur. Bisa jadi orang tuanya ingin dia menjadi pribadi yang bijak mengatur.

Harus diakui, banyak orang suka mengatur, dan herannya enggak mau diatur. Bahkan, kadang senang melanggar aturan—atas nama wewenang.

Catatan Yehezkiel di pembuangan menarik disimak. Kekuasaan Allahlah yang melingkupinya. Dia dalam kondisi—bukan menguasai—tetapi dikuasai.

Yehezkiel dikuasai Allah, bukan sebaliknya. Dikuasai Allah berarti meletakkan kehendak diri dalam kehendak Allah; menyesuaikan kehendak diri dengan Allah.

Berkait kuasa Allah, memang cuma dua pilihan: dikuasai atau menguasai Allah. Dan Tuhan Yesus pun dalam pencobaan di padang gurun—yang juga berkait kuasa—lebih suka dikuasai Bapa-Nya ketimbang bertindak semaunya.

Kata-kata itu mengikat. Bagi seorang pemimpin, kata-kata itu lebih mengikat lagi, tak hanya bagi orang yang dibawahkannya, terutama dirinya sendiri. Terlebih kata-kata yang memang diyakininya dari Allah sendiri.

Mungkin baik, jika kita berikhtiar: ”Tuhan, ketika diri mulai berpikir, berkata-kata, dan bertindak semaunya, biarlah kuasa-Mu meringkus diriku!”

Selamat bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Dipimpin Roh

Kepada para murid-Nya, Yesus Orang Nazaret berkata, ”Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran…” (Yoh. 16:13).

Photo by Sunyu on Unsplash

Roh Kudus disebut juga Roh Kebenaran karena Ia akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Ia memimpin kita. Artinya, bukan kita yang memimpin, melainkan Rohlah yang memimpin.

Persoalannya: apakah kita rela dipimpin Roh? Dipimpin berarti menyerahkan wewenang penuh kepada pihak lain. Itu berarti pasrah bongkokan ’menyerah tanpa syarat’.

Sesungguhnya membiarkan diri dipimpin Roh Kudus merupakan tindakan logis karena Dia akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Dalam hidup ada banyak kebenaran, tetapi Roh Kudus akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran. Itu berarti, tindakan orang-orang yang menyerahkan dirinya dipimpin Roh Kudus memang tak mungkin salah karena semuanya serbakebenaran.

Bukankah ini yang sering kali menjadi soal? Kita acap sulit mengambil keputusan karena merasa takut salah. Oleh karena itu, biarlah diri kita dipimpin oleh Roh Kudus.

Caranya? Pindailah dahulu setiap kata yang belum terucap, juga karya yang masih dalam rencana. Bertanyalah dalam diri: ”Siapakah yang dimuliakan dalam kata dan karya kita itu?”

Mudahkah? Pasti tidak! Karena itu, marilah kita memohon, ”Roh Kuduslah turunlah dan tinggal dalam hatiku, dengan cahaya kasih-Mu terangi jalanku! Apimulah pembakar jiwaku sehingga hidupku memuliakan Tuhanku” (Kidung Jemaat 233:1).

Selamat bekerja!

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Milik Allah

Ketika seseorang bertanya kepada Dietrich Bonhoeffer, ”Siapakah Anda?”; Teolog Jerman yang mati pada tiang gantungan dalam pemerintahan Nazi menjawab, ”Saya adalah milik-Mu, ya Tuhan!”

Photo by Erik Scheel from Pexels

Kita tentu mengamini jawaban macam begini. Namun—ini yang perlu sungguh-sungguh kita simak sekarang—apa artinya ungkapan ”milik Tuhan”?

Menjadi milik Allah berarti siap menjadi saluran berkat. Menjadi milik Allah berarti siap berkarya di mana pun Tuhan menempatkan kita. Sebab, di mana pun kita berada, frasa ”milik Allah” erat melekat dalam diri kita masing-masing.

Itu jugalah yang dinyatakan Dietrich Bonhoeffer dalam bukunya Hidup Bersama (terbitan Literatur Perkantas): ”Gereja baru menjadi gereja yang benar kalau dia hadir untuk orang lain. Untuk dapat melakukan hal itu, Gereja harus memberikan segala yang dia miliki kepada mereka yang berkekurangan.”

Bonhoeffer mengecam gereja yang hanya memperjuangkan keselamatan dirinya sendiri. Pada masa itu, gereja-gereja di Jerman malah mendukung apa yang dilakukan Nazi di bawah kepemimpinan Hitler. Dengan tegas, masih dalam Hidup Bersama, ia menyatakan: ”Hanya mereka yang bersuara membela kaum Yahudi boleh menyanyikan lagu Gregorian.” Itulah makna konkret ”milik Allah”.

Apakah kita merasa sebagai milik Allah? Jika ya, buktikanlah dengan cara memperhatikan orang lain! Itu berarti juga rekan sekerja di kantor kita.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Berkarya dengan Cinta

Ini kisah lama. Saya sendiri telah lupa di mana membacanya, namun begitu melekat di hati hingga hari ini.

Sebuah restoran mengadakan Parade Kidung Rohani. Seorang penyanyi terkenal melantunkan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan begitu baik. Nyaris sempurna. Hadirin—yang terpesona dengan suara emasnya itu—riuh bertepuk tangan.

Di akhir parade, tibalah giliran seorang bapak yang tidak begitu dikenal. Dia menyanyikan lagu yang sama. Suaranya biasa saja. Beberapa kali terdengar nada sumbang. Dia menyanyikan lagu ”Tuhan adalah Gembalaku” dengan tersendat, diselingi isak tangis di sana-sini. Penonton pun diam, terkesima, hingga tak menyadari kapan lagu itu berakhir.

Penyanyi terkenal itu pun lalu menghampiri bapak tersebut, menyalaminya, dan berkata, ”Saya menyanyi dengan mulut, tetapi Bapak menyanyi dengan hati. Saya kira, Bapak sungguh-sungguh mengenal Gembala Agung itu!”

Menyanyi dengan hati. Berkarya dengan cinta. Mungkin, di sinilah soalnya. Kita sering terjebak mengerjakan sesuatu hanya dengan otak dan keringat, sehingga tak jarang pekerjaan itu serasa seperti beban di pundak.

Ujung-ujungnya kita berharap pekerjaan itu cepat selesai. Atau, kita malah berpedoman yang penting selesai. Tiada lagi sukacita dalam bekerja.

Karena itu, mari berkarya dengan cinta. Libatkanlah Tuhan karena pekerjaan kita sejatinya adalah pekerjaan-Nya juga!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Damai Sejahtera bagi Kamu

”Damai sejahtera bagi kamu” (Luk. 24:48).

Photo by Biegun Wschodni on Unsplash

Demikianlah sapaan Yesus yang bangkit kepada para murid-Nya. Jelas, damai sejahtera tidaklah berasal dari para murid. Damai sejahtera bersumber pada Yesus yang bangkit. Damai sejahtera juga bukan upaya para murid, namun sungguh anugerah Sang Guru.

Yang dimaksud ”damai sejahtera” di sini, tentu bukan hidup serbasenang. Kita tentu pernah merasakan, meski keadaan serbasulit, hati tetap tenang. Kita tetap merasa ada yang bisa dipegang. Namun, pengalaman hidup memperlihatkan, kadang kita merasa tak enak hati meski semua berjalan baik-baik saja.

Pada waktu itu, keadaan para murid memang jauh dari rasa damai. Sang Guru mati. Mereka tak lagi punya harapan. Belum lagi tekanan para imam kepala dan ahli Taurat. Bisa dipahami jika mereka merasa bagai telur di ujung tanduk. Nasib serbatak pasti. Dan dalam ketidakpastian itu, Sang Guru datang dan menyapa mereka, ”Damai sejahtera bagi kamu.”

Yesus memberikan damai sejahtera bagi murid-murid-Nya. Itu bukanlah sekadar rasa damai, tetapi sungguh-sungguh berdasarkan logika sederhana. Bagaimanapun, Yesus telah bangkit dari maut. Kalau maut saja bisa dipatahkan Sang Guru, mengapa pula harus gentar meski hidup dalam ketidakpastian?

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Hidup Kudus

Setiap pengikut Kristus dipanggil menjadi saksi. Manusia butuh Terang. Dunia butuh Tuhan. Menjadi saksi berarti hidup di dalam dan berdasarkan Terang itu agar orang lain boleh merasakan Terang itu melalui kita.

Photo by Kristine Weilert on Unsplash

Menjadi saksi tak ubahnya bulan yang memantulkan cahaya matahari. Sehingga orang yang merasakan terang itu dapat mensyukuri keberadaan matahari.

Tugas pengikut Kristus hanyalah memantulkan cahaya kasih Ilahi. Satu-satunya cara ialah dengan hidup di dalam dan berdasarkan Terang itu.

Pada titik ini, nasihat Petrus menjadi sangat relevan: ”Sebab itu, saudara-saudaraku yang kekasih, sambil menantikan semuanya ini, kamu harus berusaha, supaya kamu kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia” (2Ptr. 3:14).

Hidup kudus merupakan syarat utama seorang saksi Kristus. Dalam dunia media terdapat adagium ”media adalah pesan itu sendiri”. Jika ingin menjadi pembawa kabar baik, maka diri kita haruslah hidup dalam kabar baik itu sendiri. Jika tidak, kabar baik yang kita bawa hanya akan menjadi bahan olok-olokan.

Dan menurut Jose Maria Escriva, pendiri Opus Dei, ”Krisis dunia sekarang ini adalah krisis orang kudus”. Semua persoalan Indonesia, jika ditelusuri, memang bermuara pada aspek kekudusan ini.

Hidup kudus berarti hidup khusus. Bahasa Ibraninya qadosy ’dikhususkan’. Hidup kudus berarti hidup yang dikhususkan untuk Allah. Itu berarti juga semua yang kita pikirkan, katakan, lakukan di kantor pada hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Inilah Hari yang Dijadikan TUHAN

”Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” (Mzm. 118:24).

Photo by Mads Schmidt Rasmussen on Unsplash

Inilah nyanyian Paskah. Inilah pengakuan akan tindakan Allah yang menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan di Mesir.

Pada kemerdekaan Israel pertama itu, jelaslah bahwa Allah menjadikan Israel sebagai prioritas. Dia menyelamatkan Israel. Paskah merupakan Hari Raya Kemerdekaan Israel dari Mesir. Sehingga mereka berseru: ”Inilah hari yang dijadikan TUHAN, marilah kita bersorak-sorak dan bersukacita karenanya!” This is the day that The Lord has made!

Hari itu bukan sekadar hari. This is The day that The Lord has made! Sayangnya, lagu itu diterjemahkan menjadi ”Hari ini hari ini harinya Tuhan”. Lebih sayang lagi ketika orang menambahkan bait berikutnya: ”Hari Senin Hari Selasa hari….” Padahal ini bukan sekadar hari. Ini hari khusus. Ini hari kemerdekaan Israel. Inilah Paskah pertama.

Paskah kedua adalah ketika Yesus bangkit dari kubur! Kebangkitan Yesus menyatakan dengan jelas bahwa kematian Yesus Orang Nazaret pada Jumat Agung sungguh bermakna. Inilah Paskah kedua—Allah memerdekakan manusia dari belenggu dosa itu sendiri.

Karena itu, marilah kita hidup dalam suasana kebangkitan! Marilah kita hidup dalam suasana kehidupan! Marilah kita membangkitkan orang lain! Marilah kita menghidupkan orang lain dan bukan mematikannya! Juga dalam dunia kerja kita hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Miskin di Hadapan Allah

”Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang punya Kerajaan Surga.” (Mat. 5:3).

Apakah makna kalimat ini? Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Berbahagialah orang yang merasa tidak berdaya dan hanya bergantung pada Tuhan saja; mereka adalah anggota umat Allah.”

Dalam film ”Quo Vadis”, sang aktris Deborah Kerr harus memerankan adegan berbahaya, yang cukup mendebarkan. Setelah pengambilan gambar, seorang reporter bertanya, ”Apakah Anda tidak takut ketika seekor singa ganas menyerang Anda di arena?”

”Sama sekali tidak,” jawab Deborah, ”Saya sudah baca skenarionya dan saya tahu bahwa saya akan diselamatkan.”

Mark Link, SJ, dalam bukunya Keputusan, menyatakan bahwa inilah kepercayaan khas anak-anak yang dipunyai ”kaum miskin” di masa Yesus hidup.

Kata Ibrani untuk ”kaum miskin” adalah aini. Kata ini menunjuk pada orang-orang miskin yang secara ekonomis dan politis sungguh tak punya harapan lagi. Orang-orang dalam situasi seperti itu akan melepaskan diri dari harta benda dan menggantungkan diri kepada Allah saja.

Orang-orang ”yang miskin di hadapan Allah” disebut Yesus berbahagia karena mereka telah sampai pada kesadaran bahwa mereka tidak dapat lagi menggantungkan diri pada harta benda untuk meraih kebahagiaan sejati. Mereka mencari kebahagiaannya hanya kepada Allah.

Yesus menyebut mereka berbahagia karena Allah adalah Sumber Hidup Sejati. Bergantung penuh kepada Allah sungguh akan membuat hidup seseorang sungguh hidup.

Tentu pemahaman itu tidak mengajak kita untuk diam berpangku tangan. Kita dipanggil untuk terus berusaha dengan tetap memahami bahwa usaha itu pun hanya mungkin karena perkenan Allah.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

 

Posted on Tinggalkan komentar

Menjadi Jembatan

”Tuan, kami ingin bertemu dengan Yesus!” (Yoh. 12:21). Demikianlah harapan orang-orang Yunani yang disampaikan kepada Filipus. Mengapa Filipus? Kita tidak pernah tahu alasan pastinya.

Kemungkinan besar karena Filipus adalah nama Yunani. Bisa jadi mereka beranggapan, orang yang bernama Yunani itu pasti akan mau menolong mereka. Pada masa itu kebanyakan orang Yahudi memandang rendah bangsa lain. Persoalannya: Filipus sendiri tak tahu harus berbuat apa.

Kelihatannya, Filipus tidak tahu tanggapan Yesus terhadap keberadaan orang-orang Yunani itu. Mungkin dia khawatir, Yesus akan bersikap sama seperti orang Yahudi lainnya. Jika demikian, tentu tak ada gunanya menyampaikan keinginan mereka kepada Yesus.

Filipus diharapkan menjadi jembatan. Dari sisi orang Yunani, nama Filipus terasa dekat. Tetapi, persoalannya, sekali lagi, Filipus tidak sungguh-sungguh tahu apa kehendak Yesus sehingga dia gagal menjadi jembatan. Filipus mungkin mengasihi orang-orang Yunani itu, tetapi dia tidak tahu apakah Yesus akan menerimanya atau tidak?

Untunglah, Filipus menyampaikan persoalan itu kepada Andreas. Dan bersama dengan Andreas, Filipus membawa orang-orang Yunani itu kepada Yesus. Andreas mampu menjadi jembatan karena dia tahu kehendak Yesus.

Sejatinya, menjadi jembatan merupakan panggilan setiap Kristen. Menjadi jembatan antara manusia dan Allah. Pertanyaannya: apakah kita telah menjalani panggilan menjadi jembatan dalam hidup sesehari? Syaratnya cuma dua: sungguh-sungguh diterima manusia dan mengetahui kehendak Allah.

Mari menjadi jembatan, juga di tempat kerja kita!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Bukan Basa Basi

”Siapa saja yang menyambut seorang nabi sebagai nabi, ia akan menerima upah nabi…” (Mat. 10:40-41).

Photo by Belinda Fewings on Unsplash

”Menyambut” merupakan kata kerja. Ada gerakan dalam menyambut. Tak ada orang yang berpangku tangan saat menyambut orang lain. Tangan terbuka seolah ingin merangkul yang disambutnya.

Tak hanya tangan terbuka, wajah pun berseri. Enggak lucu bukan, tangan terbuka, tetapi wajah dingin tanpa ekspresi?

Baik tangan maupun wajah sejatinya merupakan cerminan hati terbuka. Jika hati tak terbuka, semua terkesan basa-basi. Dan semua basa-basi akan menjadi basi beneran.

Sejatinya, tak ada orang yang suka basa-basi. Siapa pun yang melakukannya akan menyadari ketidaktulusan dirinya. Dan akhirnya menjadi malu sendiri.

Lagi pula, basa-basi tak gampang ditutupi. Orang yang disambut akan cepat menyadari bahwa semuanya itu cuma basa-basi sehingga pertemuan pun menjadi tanpa makna.

Tindakan menyambut mensyaratkan bahwa orang yang kita sambut merupakan pribadi yang penting. Dalam bukunya, Pelayanan yang Berpusatkan Kehadiran, Mike King menyatakan betapa semakin banyak anak muda yang sedang berjalan menjauhi gereja. Namun, pertanyaan reflektifnya, tulis Mike King: ”Apakah mereka berjalan menjauh dari Yesus atau dari cara kita melakukan pelayanan gereja dan kaum muda?”

Tak hanya orang muda. Setiap orang perlu disambut dengan selayaknya—”menyambut nabi sebagai nabi”. Juga orang-orang yang kita temui hari ini. Dan tanpa basa-basi.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

 

Posted on Tinggalkan komentar

Konsisten

”Lihatlah Anak domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29).

Photo by rawpixel on Unsplash

Demikianlah Yohanes Pembaptis memperkenalkan Yesus kepada para muridnya. Tentu Yohanes, tidak hanya mengajak para muridnya untuk melihat, tetapi lebih jauh lagi melakukan sesuatu setelah melihat Anak Domba Allah itu. Tampaknya, Yohanes Pembaptis tidak hanya ingin para muridnya melihat, tetapi bertindak setelah kegiatan melihat itu.

Akan tetapi, para muridnya tidak melakukan apa-apa. Keesokan harinya—saat bersama dengan dua orang muridnya—Yohanes kembali berseru, ”Lihatlah Anak domba Allah!” Dan kedua muridnya itu melakukan sesuatu.

Jika pada perkenalan pertama, tak ada satu pun yang bergerak. Pada perkenalan kedua ini, penulis Injil Yohanes mencatat bahwa dua orang murid itu mengikuti Yesus dari jauh. Setelah menyampaikan maksud mereka, Yesus, Sang Anak Domba Allah, berkata, ”Marilah dan kamu akan melihatnya.”

Salah seorang murid itu, Andreas—karena terkesan dengan pribadi Yesus—membawa Simon, saudaranya, untuk bertemu Sang Guru. Simon pun kemudian menjadi murid Yesus.

Kita, orang percaya abad XXI, perlu belajar dari Yohanes Pembaptis yang konsisten memperkenalkan Yesus kepada para muridnya. Dia tidak bosan-bosannya memperkenalkan Yesus sebagai Anak Domba Allah.

Bayangkan, seandainya Yohanes Pembaptis hanya sekali memperkenalkan Yesus kepada para muridnya! Bisa jadi Sang Guru tidak pernah mendapatkan murid-murid terbaik!

Memperkenalkan Yesus kepada orang di sekitar kita perlu dijalankan secara konsisten. Tak hanya dengan kata, tetapi juga dengan karya. Pun di tempat kerja kita.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Lalu

 

”Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya” (Kel. 12:4a).

Demikianlah catatan penulis Kitab Kejadian. Kata ”lalu” yang dipakai memperlihatkan bahwa kalimat ini merupakan lanjutan kalimat-kalimat sebelumnya. Dengan kata lain, kalimat yang dimulai dengan ”lalu” itu merupakan respons Abram.

Kita tidak pernah tahu dengan pasti berapa waktu yang dibutuhkan Abram dalam pengambilan keputusan. Kita juga tidak pernah tahu dengan pasti apakah Abram menggumuli panggilan Allah itu sendirian atau berembug dengan Sarai istrinya. Itu bukanlah pokok perhatian penulis kitab. Bagi dia, yang penting ialah Abram menanggapi panggilan Allah itu; Abram melakukan perintah TUHAN.

Mengapa Abram melakukannya? Apakah karena memang dia sungguh-sungguh percaya kepada Allah? Ataukah karena iming-iming janji—menjadi bangsa yang besar? Lagi-lagi, penulis Kitab Kejadian tidak merasa perlu menjawab rasa penasaran kita. Motivasi itu agaknya menjadi rahasia mereka berdua: TUHAN dan Abram.

Lalu, apa makna kisah Abram ini bagi kita, orang percaya abad XXI ini? Pertama, Tuhan masih berfirman hingga kini. Tuhan menyapa kita dalam beragam cara: buku yang kita baca, musik yang kita dengar, situasi dan permasalahan kantor, kolega, anggota keluarga kita, dan tentu saja Alkitab. Persoalannya: apakah kita mendengarkan sapaan-Nya itu? Apakah kita cukup peka mendengarkan kehendak Tuhan?

Kedua, Tuhan menanti tanggapan kita. Persoalannya: Apakah kita mau menanggapinya atau tidak? Dan tanggapan itu hanya mungkin terjadi tatkala kita sungguh mau mendengarkan suara-Nya, juga di tengah kesibukan dunia kerja kita hari ini.

Lalu?

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Menjadi Manusia (2)

Photo by Kai Dörner on Unsplash

Rame ing gawe, sepi ing pamrih.

Multatuli pernah berkata, sering disitir Pramoedya Ananta Toer, ”Tugas manusia ialah menjadi manusia, bukan menjadi Malaikat atau pun setan.” Ya, tugas manusia ialah menjadi manusia. Jika manusia tidak menjadi manusia, maka dia tidak memenuhi hakikatnya sebagai manusia. Jika demikian, masih layakkah menganggap diri manusia?

Menjadi manusia merupakan panggilan manusia. Menjadi manusia berarti menjalani hidup sebagai hamba Allah. Allah tidak menuntut kita menjadi malaikat, tetapi juga tidak ingin kita menjadi setan. Dia hanya ingin kita memenuhi panggilan hidup sebagai manusia. Itulah cita-cita-Nya ketika mencipta manusia. Ketika manusia tak lagi menjalani hakikat sebagai manusia, ia harus bertobat.

Itu jugalah yang dikumandangkan nabi Yesaya: ”Carilah TUHAN selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama Ia dekat! Baiklah orang fasik meninggalkan jalannya, dan orang jahat meninggalkan rancangannya…” (Yes. 55:6-7).

Pertobatan merupakan inti berita Yesaya. Dan berkait dengan pertobatan, saya dan Saudara termasuk golongan manusia berbahagia karena kita masih dikaruniai waktu.

Kita bagai pohon ara yang diberi kesempatan hidup, yang dibela oleh Sang Pengurus (Luk. 13:8-9). Namun, kesempatan itu pun terbatas. Berbahagialah karena kita belum sampai pada masa tenggat itu! Masih ada waktu untuk bertobat. Jika tidak, kita pun akan ditebang!

Sekali lagi, mumpung masih ada waktu marilah kita bertobat. Salah satu langkah konkretnya: rame ing gawe, sepi ing pamrih ’giat bekerja, namun tulus tanpa pamrih’ dalam pekerjaan kita. Jadikanlah pekerjaan kita sebagai ladang misi Allah, sehingga makin banyak orang yang mau belajar menjadi manusia. Menjadi hamba Allah.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Janganlah Gelisah Hatimu

Janganlah gelisah hatimu (Yoh. 14:1). Demikianlah nasihat Yesus kepada para murid-Nya. Perasaan gelisah sering menghantui insan. Sebab, kita memang tidak akan pernah tahu hari depan. Mungkinkah orang gelisah karena sesuatu yang telah terjadi?

Photo by Nik Shuliahin on Unsplash

Rasa gelisah memang bisa menerpa siapa saja dan kapan saja. Dia tidak memandang bulu, juga waktu. Dia datang begitu saja, menyergap laksana angin. Dan akan menjadi masalah besar tatkala orang begitu dikuasai rasa tersebut sehingga tidak mampu berbuat apa-apa.

Lalu, mengapa kita gelisah? Kalau kita simak, akar masalahnya ialah karena kita tidak yakin bisa mengatasi persoalan di depan kita. Ujung-ujungnya, kegelisahan sering disebabkan—biasanya kita tidak menyadarinya—oleh pengandalan terhadap diri sendiri. Dan kita sungguh gelisah karena kita takut tidak mampu mengelola persoalan itu dengan baik.

Kalau sudah begini, cara yang paling mujarab ialah bertindak selaku penumpang bus. Penumpang bus yang baik tidak akan berusaha bertindak selaku supir yang ikut menginjak rem dan gas, tetapi mempercayakan diri kepada sang supir. Kalau kita tidak percaya kepada supir bus, usul saya turun saja!

Yesus punya alasan lain. Tak perlu kita gelisah karena memang ada Roh Kudus yang setia menyertai kita. Dan tidak hanya setia, tetapi Dia juga menghibur kita. Biasanya, kegelisahan acap juga diakibatkan oleh kesendirian. Saat kita gelisah, ingatlah bahwa Roh ada bersama kita dan siap sedia menghibur kita. Persoalannya, mau enggak kita dihibur oleh-Nya?

Mengenai masa depan, ada sebuah syair terpajang di kantor saya. Demikian syairnya: ”Tuhan, ajarku memahami bahwa tidak ada satu persoalan pun pada hari ini yang tidak dapat kita tangani bersama-sama!”

Penyertaan-Nya. Itulah janji-Nya, yang tak lekang ditelan waktu. So, jangan gelisah!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Berdua Saja

”Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Perkataan Tuhan Yesus ini—mengenai keberadaan Allah di tengah persekutuan umat-Nya—sering menjadi sumber penghiburan. Allah tidak pernah meninggalkan umat-Nya. Allah memedulikan mereka. Enggak perlu bicara soal jumlah, Allah hadir dalam persekutuan terkecil sekalipun.

Photo by rawpixel on Unsplash

Namun, frasa ”berkumpul dalam nama-Ku” agaknya kurang mendapat perhatian. Frasa itu berarti Kristuslah yang menjadi dasar dan pusat persekutuan. Persekutuan tidak berdasarkan atas kesamaan ideologi, warna kulit, tingkat sosial, melainkan berdasarkan Kristus. Itulah makna gereja sebenarnya. Kehendak Kristuslah yang utama.

Dan salah satu tindakan nyata ”dalam nama-Ku” ialah keberanian menyatakan kesalahan orang. Yesus Kristus menasihatkan ”Apabila saudaramu berbuat berdosa, tegorlah dia di bawah empat mata” (Mat. 18:15).

Pada kenyataannya, tak banyak yang mengambil jalan ini karena takut terhadap tanggapan orang tersebut. Jika pun ada keberanian, kadang kita lebih suka membicarakannya tanpa ada orangnya atau membicarakannya blak-blakan di hadapan banyak orang ketika orangnya ada. Akhirnya kesalahannya itu menjadi konsumsi banyak orang.

Yesus menasihati, jika hendak menegur orang mulailah dengan berdua saja. Baru setelah itu tiga orang. Dengan cara ini, orang tersebut tidak merasa dihakimi dan kesalahan yang dilakukannya tidak menjadi konsumsi publik. Hanya dengan cara itulah kita akan mendapatkannya kembali.

Sejatinya ini jugalah salah satu tugas pemimpin. Ketika bawahan kita salah, masih merasa perlukah kita menegurnya ”berdua saja” atau kita lebih suka menegurnya di depan banyak orang? Jika kita ingin mendapatkannya kembali, menegur dengan diam-diam merupakan langkah jitu.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kisah Tjondro Sungkowo

Photo by Kristine Weilert on Unsplash

Pada Jumat pagi, 15 Februari 2019, Tjondro Sungkowo—warga jemaat kami sekaligus Om dari istri saya—dipanggil Tuhan. Dari semua orang yang bercakap-cakap dengan kami—teman sejawat, mantan mahasiswanya, dan warga jemaat—terungkap nada yang sama: ”Beliau orang baik!”

Banyak orang telah merasakan kebaikannya melalui profesi dokter, yang ditekuninya seumur hidupnya. Kata mereka, dia memang bertangan dingin. ”Mendengar suaranya saja, anak saya langsung sembuh,” imbuh seorang bapak. Yang lain menambahkan, ”Beliau tidak pernah menolak pasien. Dibangunkan jam dua pagi pun beliau siap menangani.”

Dia juga pribadi yang tidak neko-neko. Alasannya tak mau mengambil kesempatan menjadi spesialis pun sederhana saja. ”Nanti, kalau sudah jadi spesialis malah enggak bisa menolong orang karena takut biayanya mahal,” tutur putrinya.

Ya, setiap yang hadir punya cerita berbeda dengan nada sama: ”Orang baik!” Ibadah penghiburan dan pemakaman akhirnya menjadi sebuah perayaan kehidupan yang menghiburkan banyak orang. Sebab setiap orang telah mengalami kebaikan Allah melalui dirinya. Inilah hidup yang berbuah (Yer. 17:8).

Manusia memang dipanggil untuk berbuah. Tak hanya bagi diri sendiri, terutama untuk orang lain melalui profesinya. Dan hanya dengan itu Allah dimuliakan.

Caranya? Dengan tetap mengandalkan Allah dan menaruh harap kepada-Nya dalam menghidupi profesi yang telah dipilih (Yer. 17:7).

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kisah Susan Cooper

Ini bukan kisah saya. Ini kisah Susan Cooper. ”Untuk pekerjaan rumah, saya diminta membuat lukisan tangga. Dan saya telah menyelesaikannya. Akan tetapi, ketika saya hendak menyingkirkan tinta, satu titik tertetes tepat di tengah gambar. Waktu sudah tidak memungkinkan lagi untuk menggambar ulang. Saya merasa sangat putus asa, hingga saya menangis.

Photo by Matthew Henry on Unsplash

Mendengar kesusahan ini, ayah berkata dengan lembut, ’Jangan khawatir. Tetesan tinta itu kelihatannya seperti bintik di tubuh seekor anjing kecil. Yang harus Engkau lakukan hanyalah menggambar seekor anak anjing di sekitar titik hitam ini. Jangan mudah putus asa, Nak! Sering kita hanya membutuhkan sedikit keuletan dan daya khayal untuk mengubah keadaan buruk menjadi baik. Ingat, hanya sedikit hal yang memang tidak ada harapan seperti kelihatan sejak awal.’

Saya segera menggambar anak anjing kecil di sekitar bintik hitam itu. Keesokan harinya, gambar saya terpilih sebagai gambar terbaik di kelas. Anak anjing itu justru membuat lukisan tangga itu semakin indah.”

Masalah hidup sehari-hari—juga masalah di kantor—sering membuat diri kita merasa tertekan. Apa lagi jika di tengah tenggat waktu yang mepet itu ternyata kita melakukan kesalahan. Rasanya ingin menyerah saja.

Namun, the show must go on ’hidup terus berjalan’. Bagian kita hanyalah meminta hikmat dari Allah, untuk mengubah kesalahan itu menjadi berkat.

Jangan pula kita lupa bahwa masalah berasal dari bahasa Arab masya Allah, yang secara harfiah berarti ”apa kehendak Allah”. Masalah merupakan kesempatan untuk mencari dan menghidupi kehendak Allah dalam diri kita.

Lagi pula, bukankah ”Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Rm. 8:28)?

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Genaplah Nas Ini

”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya” (Luk. 4:21). Demikianlah pamungkas pengajaran Yesus dalam rumah ibadah di Nazaret. Pamungkas semacam ini memperlihatkan kepada kita bahwa setiap orang sejatinya dipanggil untuk menggenapi kehendak-Nya. Allah mempunyai rancangan bagi setiap ciptaan-Nya. Dan panggilan makhluk adalah menggenapi Sang Khalik.

Pamungkas itu jugalah agaknya yang membuat umat yang sebelumnya kagum menjadi kaget dan bertanya-tanya: ”Bukankah Ia ini anak Yusuf?” (Luk. 4:22). Mereka tampaknya tak menduga bahwa Mesias akan muncul dari tempat mereka.

Klaim Yesus bahwa Dia menggenapi nubuat Yesaya membawa orang banyak itu dalam sebuah keputusan: menerima atau menolak pernyataan Yesus itu. Lukas mencatat bahwa mereka lebih suka tidak memercayai-Nya. Dan Yesus pun ditolak.

Kisah penolakan ini memperlihatkan juga kepada kita bahwa sesungguhnya, setiap manusia itu unik, khas, dan satu-satunya. Karena itu, setiap pribadi, yang diciptakan Allah secara khusus, sungguh-sungguh harus menggali dan mengeluarkan semua keunikan dirinya. Hanya dengan cara itulah harkat manusia sebagai ciptaan Allah tampak. Dan hanya dengan cara itu pula, manusia dapat menemukan desain yang Allah tanam dalam dirinya.

Allah punya desain bagi setiap manusia. Kita dipanggil untuk hidup seturut desain tersebut. Kita dipanggil untuk menggenapi desain Allah itu. Pekerjaan yang kita geluti sekarang ini sejatinya adalah cara kita dalam menggenapi desain kita—panggilan yang telah Allah tanamkan dalam diri kita masing-masing.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Revisi Kata

Ada yang mati di tengah pesta itu (Mrk. 6:14-29). Pestanya bukan pesta kematian, melainkan pesta ulang tahun. Dan yang berulang tahun bukan sembarang orang. Ini pesta ulang tahun seorang raja. Tragisnya, di pesta ulang tahun raja ada seseorang yang harus mati karena raja tak mampu mengekang lidahnya.

Herodes, penyelenggara pesta itu, begitu bergembiranya hingga tak mampu mengendalikan lidahnya. Dia terpesona oleh keindahan tarian putri Herodias. Saking gembiranya, Herodes berjanji akan memberikan apa saja yang diinginkan gadis itu. Tak hanya itu, dia pun bersumpah, ”Apa saja yang kauminta akan kuberikan kepadamu, sekalipun setengah dari kerajaanku” (Mrk. 6:23).

Jika raja tak mampu mengekang lidahnya saking gembiranya, putri Herodias lain. Dia tidak mau buru-buru berbicara. Agaknya, dia tidak mau menyesal di kemudian hari. Dia punya kesempatan besar. Bagaimanapun, raja telah bersedia memberikan setengah kerajaannya. Namun, dia tak mau buru-buru meminta setengah kerajaan. Dia pergi ke Herodias, dan memohon nasihatnya.

Sang Ibu tak hirau tawaran raja, dia lebih suka menyaksikan kematian Yohanes Pembaptis. Sang Putri meminta—karena nasihat ibunya—kepala Yohanes Pembaptis di dalam sebuah talam. Herodes terkejut mendengar permintaan itu. Bagaimanapun, sabda pandita ratu ’janji harus ditepati’. Pantang bagi seorang raja menelan ludah sendiri. Dan karena itulah, putra Zakaria mati di tengah pesta.

Janji memang harus ditepati. Namun, dalam kondisi tertentu, revisi bukanlah aib. Terlebih jika janji itu berpengaruh besar terhadap kehidupan orang lain. Apalagi, janji yang diucapkan sembarangan.

Dan yang terpenting: hati-hati dengan kata! Juga di tempat kerja hari ini.

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Dengan Gembira dan Tulus Hati

”Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah.” (Kis. 2:46-47).

Photo by Robert Collins on Unsplash

Dengan gembira dan tulus hati. Demikianlah suasana persekutuan jemaat mula-mula sebagaimana direkam Lukas. Tidak hanya tampak dalam ibadah, juga dalam hidup sehari-hari. Mereka agaknya paham bahwa ibadah dan hidup keseharian merupakan kesatuan. Hidup sehari-hari dipahami sebagai ibadah.

Sikap gembira bukan hal gampang. Bagaimana mungkin gembira ketika hati luka? Bagaimana mungkin gembira saat yang diharap beda dengan realitas? Bagaimana mungkin gembira di tengah ketidakpastian hidup?

Jika memang itu pertanyaannya, maka perlulah kita tambah dengan serangkaian pertanyaan lagi. Apakah memang sungguh-sungguh tak ada yang dapat menggembirakan hati? Pandanglah surya di kala pagi dan sore hari! Perhatikanlah mekar sekuntum bunga! Tengoklah juga ketenangan bayi yang lelap dalam gendongan ibunya!

Semuanya itu mungkin akan membuat Anda bergembira. Jika Anda masih belum mampu bergembira, pandanglah diri Anda seutuhnya. Bukankah Anda masih hidup? Pandanglah sekeliling Anda, rasakanlah kasih dan perhatian orang-orang terdekat. Dan bergembiralah!

Dunia sudah cukup suram. Janganlah tambah kesuramannya dengan kesedihan Anda! Dan kegembiraan Anda biasanya akan membuat orang di sekitar Anda turut gembira.

Agaknya ada kaitan erat antara gembira dan tulus hati. Tulus berarti memandang orang lain tanpa prasangka, bersikap jujur, terbuka, apa adanya. Kita sering tak mampu gembira karena kita tak mampu bersikap jujur dengan diri sendiri, apa lagi dengan orang lain.

Atau, prasangka terhadap orang lain sering membuat kita cemas dan memasang kuda-kuda. Itu sungguh melelahkan, yang akhirnya membuat kita sulit gembira.

Karena itu, marilah kita kembangkan sikap gembira dan tulus hati, juga di tempat kerja kita masing-masing!

Selamat bekerja,

Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional