(Pengkhotbah 9:13-18)
Berkait dengan kuasa, dalam ayat 14-15, sang pemikir mengajak para pembacanya untuk melihat sebuah kenyataan: ”Ada sebuah kota yang kecil, penduduknya tidak seberapa; seorang raja yang agung menyerang, mengepungnya dan mendirikan tembok-tembok pengepungan yang besar terhadapnya; di situ terdapat seorang miskin yang berhikmat, dengan hikmatnya ia menyelamatkan kota itu, tetapi tak ada orang yang mengingat orang yang miskin itu.”
Inilah yang biasa terjadi dalam bumi manusia. Semua orang kota itu pastilah paham bahwa hikmat orang muda itulah yang telah menyelamatkan kota mereka. Sesungguhnya mereka sangat berutang padanya. Akan tetapi, inilah yang juga sering terjadi pada masa kini, ketika masa krisis berlalu, maka orang muda itu pun dilupakan orang-orang sekotanya.
Pertanyaannya, jika kita adalah orang muda yang miskin itu, apakah yang harus kita perbuat? Apakah kita tetap bersedia menyelamatkan kota itu? Atau, apakah kita membiarkan kota itu jatuh, toh nanti tidak ada yang mengingat kita?
Menurut sang pemikir, hikmat sejatinya lebih penting dari kuasa. Kuasa tanpa hikmat hanya akan membawa negeri pada kehancuran. Itu berarti panggilan seorang yang berhikmat adalah tetap menjalankan tugasnya untuk menyelamatkan kota, meski tahu bahwa dia akan dilupakan. Siap untuk dilupakan merupakan panggilan setiap orang yang berhikmat. Toh, yang melupakannya adalah manusia. Di hadapan Allah semuanya ada catatannya.
Semasa hidup Bunda Teresa pernah berkata, ”Hal baik yang Anda lakukan hari ini mungkin saja akan dilupakan besok. Sekalipun begitu berbuat baiklah apa pun yang terjadi.” Itu jugalah panggilan kita di tengah pandemi ini.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa