Posted on Tinggalkan komentar

Terang itu Menyenangkan

(Pengkhotbah 11:7-8)

”Terang itu menyenangkan dan melihat matahari itu baik bagi mata; oleh sebab itu jikalau orang panjang umurnya, biarlah ia bersukacita di dalamnya, tetapi hendaklah ia ingat akan hari-hari yang gelap, karena banyak jumlahnya. Segala sesuatu yang datang adalah kesia-siaan.”

Demikianlah kesaksian sang pemikir. Kesaksiannya itu benar. Terang memang lebih menyenangkan dibandingkan dengan gelap. Terang itu membuat kita merasa aman. Melangkah dalam terang membuat kita merasa pasti karena tak perlu meraba-raba. Manusia memang hanya mungkin melihat ketika ada sinar yang tertangkap retina. Ya, terang itu menghibur, juga mencerahkan. Dalam keadaan gelap suasana hati kita pun ikut-ikutan muram.

Dalam bahasa Indonesia, beberapa kata majemuk yang dimulai dengan terang menarik disimak, di antaranya: ”terang akal” berarti pandai atau cerdik; ”terang bulan” berarti tidak gelap pada malam hari karena ada cahaya bulan; ”terang cuaca” berarti udara baik; ”terang hati” berarti mudah mengerti; ”terang pikiran” berarti juga terang hati. Semuanya berkonotasi positif.

Dan sang pemikir mengajak pembacanya untuk menikmati terang selagi sempat. Sebab akan ada gelap, yang menurut dia jumlahnya lebih banyak. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Hendaklah engkau bersyukur kalau bertambah umur. Tapi ingat, biar engkau hidup lama di bumi, masamu di alam maut masih lebih lama lagi. Jadi, apa yang mau diharapkan pula? Semuanya percuma dan sia-sia.”

Ya, melihat matahari berarti menerima kehidupan. Dan karena itu kita perlu mengisi kehidupan, anugerah Allah itu, dengan sebaik-baiknya. Sebab jika tidak, akan ada gelap di alam maut yang kekal sifatnya. Dan jika memang demikian, maka semuanya sungguh-sungguh sia-sia.

Oleh karena itu, sekali lagi, marilah kita melakoni hidup ini dengan sebaik-baiknya, apalagi kala pandemi ini.

SMaNGaT,

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Foto: Thomas Lipke

Posted on Tinggalkan komentar

Siap Dilupakan

(Pengkhotbah 9:13-18)
Berkait dengan kuasa, dalam ayat 14-15, sang pemikir mengajak para pembacanya untuk melihat sebuah kenyataan: ”Ada sebuah kota yang kecil, penduduknya tidak seberapa; seorang raja yang agung menyerang, mengepungnya dan mendirikan tembok-tembok pengepungan yang besar terhadapnya; di situ terdapat seorang miskin yang berhikmat, dengan hikmatnya ia menyelamatkan kota itu, tetapi tak ada orang yang mengingat orang yang miskin itu.”
Inilah yang biasa terjadi dalam bumi manusia. Semua orang kota itu pastilah paham bahwa hikmat orang muda itulah yang telah menyelamatkan kota mereka. Sesungguhnya mereka sangat berutang padanya. Akan tetapi, inilah yang juga sering terjadi pada masa kini, ketika masa krisis berlalu, maka orang muda itu pun dilupakan orang-orang sekotanya.
Pertanyaannya, jika kita adalah orang muda yang miskin itu, apakah yang harus kita perbuat? Apakah kita tetap bersedia menyelamatkan kota itu? Atau, apakah kita membiarkan kota itu jatuh, toh nanti tidak ada yang mengingat kita?
Menurut sang pemikir, hikmat sejatinya lebih penting dari kuasa. Kuasa tanpa hikmat hanya akan membawa negeri pada kehancuran. Itu berarti panggilan seorang yang berhikmat adalah tetap menjalankan tugasnya untuk menyelamatkan kota, meski tahu bahwa dia akan dilupakan. Siap untuk dilupakan merupakan panggilan setiap orang yang berhikmat. Toh, yang melupakannya adalah manusia. Di hadapan Allah semuanya ada catatannya.
Semasa hidup Bunda Teresa pernah berkata, ”Hal baik yang Anda lakukan hari ini mungkin saja akan dilupakan besok. Sekalipun begitu berbuat baiklah apa pun yang terjadi.” Itu jugalah panggilan kita di tengah pandemi ini.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa
Posted on Tinggalkan komentar

Nama yang Harum

(Pengkhotbah 7:1)

Berkait dengan kehidupan, sang pemikir menekankan pentingnya nama baik: ”Nama yang harum lebih baik dari pada minyak yang mahal, dan hari kematian lebih baik dari pada hari kelahiran.”

Entah mengapa sang pemikir mengaitkan nama harum dengan parfum. Mungkin karena baunya. Dan di mata sang pemikir nama harum itu lebih baik dari pada minyak wangi mana pun.

Nah, apa artinya nama baik? Bagaimana pula cara mengujinya? Mungkin kita perlu bertanya, dalam hati tentunya, ”Apa yang melintas di benak orang ketika mengingat nama kita? Apakah komentar orang saat mendengar nama kita? Sukacitakah atau malah perasaan sebal? Perasaan senang karena telah merasakan kebaikan kita atau malah perasaan marah karena pernah merasakan perlakuan yang tidak menyenangkan dari diri kita?”

Atau, mari kita pikirkan nama-nama orang yang kita hormati. Apakah yang muncul di benak kita? Pasti rasa damai sejahtera karena kita mengingat kembali saat-saat di mana kita merasa Tuhan mengirimkan mereka untuk menolong kita. Itulah yang disebut nama baik atau nama yang harum.

Karena itu, logislah jika sang pemikir berkesimpulan bahwa hari kematian lebih baik dibandingkan dengan hari kelahiran. Sebab, orang mati tak mungkin lagi berbuat jahat. Kenyataannya, dosa membuat manusia cenderung berbuat jahat. Sehingga kematian merupakan hal yang perlu disyukuri pula berkait dengan nama baik.

Intinya, mari kita jaga diri kita! Agar hari kematian kita juga sungguh menjadi hari yang menyenangkan! Dan orang boleh merasakan harumnya nama kita saat melayat kita di rumah duka.

SMaNGaT,

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Foto: Ged Lawson