Posted on Tinggalkan komentar

Sangat Bersukacita

(Luk. 24:44-52)

”Mereka sujud menyembah kepada-Nya, lalu mereka pulang ke Yerusalem dengan sangat bersukacita.” Demikianlah catatan Lukas berkait kenaikan Sang Guru dari Nazaret. Apakah yang membuat mereka bersukacita? Bukankah Sang Guru tak lagi bersama mereka? Lalu, mengapa mereka bersukacita?

Kelihatannya mereka semakin mengerti makna kematian dan kebangkitan Sang Guru. Lukas juga mencatat: ”Lalu Ia membuka pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci.”

Ini menjadi penting karena selama ini mereka begitu ketakutan menghadapi mahkamah agama, ahli Taurat, dan orang Farisi. Kekurangpahaman memang tidak menyenangkan, bahkan membuat orang ketakutan. Sang Guru menyatakan bahwa kematian-Nya bukanlah kematian biasa. Kematian-Nya telah dirancangkan sejak dosa pertama demi keselamatan manusia. Ia memang mati disalib, namun itulah sarana penyelamatan manusia.

Salib dan kebangkitan mestinya juga membuat kita bersukacita. Jangan minder karena salib! Memang kisah penyaliban tak mudah dicerna manusia kebanyakan. Bagaimana mungkin Allah mati? Yang Mahakuasa kok mati. Di mana kehebatan-Nya? Jika ada orang yang mempertanyakan penyaliban itu—bahkan menghina-keallahan-Nya—kita bisa menyatakan inilah Allah kita.
Penyaliban itu bukti keallahan-Nya. Penyaliban adalah bukti kasih-Nya. Dan ini seharusnya membanggakan kita. Saliblah yang menjadikan kita anak-anak Allah.

Dan kebangkitan Yesus membuktikan bahwa penyaliban-Nya sungguh bermanfaat. Tanpa kebangkitan, kematian-Nya adalah tragis dan mengenaskan, bahkan terkesan konyol. Tanpa kebangkitan, Dia bukanlah Allah. Kebangkitan membuktikan—sebagaimana dikatakan Kitab Suci—bahwa Yesus menyerahkan nyawa-Nya dan mengambil-Nya kembali.

Sekali lagi jika ada orang yang menghina penyaliban itu, kita bisa menyatakan bahwa Dia bangkit. Dan kenaikan juga adalah bukti kebangkitan-Nya.

Para murid pulang ke Yerusalem dengan bersukacita karena telah tiba waktunya bagi mereka—mengutip William Barclay—”mengubah pandangan dari percaya kepada Yesus duniawi menjadi Kristus surgawi; Yesus yang terlihat menjadi Kristus yang tidak terlihat.” Dari yang dibatasi ruang dan waktu menjadi yang tak dibatasi ruang dan waktu.” Dengan demikian, para murid mempunyai seorang Sahabat bukan saja di atas bumi, tetapi juga di surga.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

NB: Dengan berakhirnya Kitab Lukas, maka Rubrik Hanya Dekat Allah, yang menemani kala pandemi ini, diakhiri. Terima kasih untuk kebersamaan selama ini.

Posted on Tinggalkan komentar

Damai Sejahtera bagi Kamu

(Luk. 24:36-43)

”Damai sejahtera bagi kamu.” Demikianlah sapaan Yesus yang bangkit kepada para murid-Nya. Dalam sapaan itu tampak jelas bahwa damai sejahtera bukanlah berasal dari para murid. Damai sejahtera berasal dari Yesus yang bangkit. Damai sejahtera bukanlah upaya para murid, tetapi sungguh-sungguh pemberian Sang Guru.

Yang dimaksudkan dengan damai sejahtera di sini tentu bukanlah kehidupan serbasenang. Kita tentu pernah merasakan dalam keadaan serbasulit hati tetap sejahtera. Kita tetap merasa ada yang bisa dipegang. Namun, pengalaman hidup juga memperlihatkan, kadang kita merasa tak enak hati meski semuanya berjalan dengan baik-baik saja.

Pada waktu itu keadaan para murid memang jauh dari rasa damai. Sang Guru mati. Mereka tak lagi punya harapan. Belum lagi adanya tekanan para imam kepala dan ahli Taurat. Bisa dipahami jika mereka merasa hidup mereka bagai telur di ujung tanduk. Nasib mereka serbagamang. Dalam kegamangan itu, Sang Guru datang dan menyapa mereka, ”Damai sejahtera bagi kamu.”

Yesus memberikan damai sejahtera bagi murid-murid-Nya. Itu bukanlah sekadar perasaan damai, tetapi sungguh-sungguh berdasarkan logika sederhana. Bagaimanapun, Yesus telah bangkit dari maut. Kalau maut saja bisa dipatahkan Sang Guru, lalu mengapa pula mereka harus merasa gentar dan hidup dalam ketidakpastian?

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kabar dari Emaus

(Luk. 24:32-35)

”Sesungguhnya Tuhan telah bangkit dan telah menampakkan diri kepada Simon.” Itulah kabar yang disampaikan dua orang yang berjalan menuju Emaus. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang asing, yang tak lain Yesus sendiri. Namun, mereka tidak mengenal-Nya.

Di Emaus mereka baru menyadari bahwa teman seperjalanan mereka adalah Yesus, Sang Guru. Dan kenyataan itulah yang membuat mereka malam itu juga pergi kembali ke Yerusalem. Mereka tidak menunggu esok. Mereka sadar banyak murid yang sedang dilanda kebingungan berkaitan dengan ketiadaan jasad Yesus di kubur Arimatea. Memang para perempuan menyatakan bahwa Yesus hidup. Namun, isu yang berkembang di tengah masyarakat ialah soal pencurian mayat.

Kabar itulah yang mereka bawa ke Yerusalem. Mereka ingin para murid merdeka dari kebingungan. Dan kabar itu tampaknya juga memerdekakan Petrus.

Penyangkalan Petrus kelihatannya telah menjadi buah bibir di kalangan para murid. Mungkin, ada suara sumbang yang menyatakan bahwa Petrus tak layak lagi menjadi pemimpin. Petrus pun bisa jadi tak merasa enak berhadapan muka dengan para murid lainnya.

Penyebutan nama Simon memperlihatkan bahwa Sang Batu Karang itu masih layak berada di lingkungan para murid. Bagaimanapun, Yesus telah memperlihatkan diri kepadanya. Kabar itu memulihkan posisi Petrus di mata para murid.

Kedua orang itu tidak termasuk kedua belas murid Yesus. Tetapi, mereka sanggup menghibur dan melegakan hati pemimpin gereja abad pertama.

Paskah merupakan kisah kemerdekaan. Apakah Anda sungguh-sungguh merdeka? Jika jawabannya: ya, maka Anda dipanggil pula untuk memerdekakan orang lain.

Bagaimanapun, masih banyak orang yang belum merdeka!

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Makan Bersama

(Luk. 24:30-31)

Kedua murid itu—yang telah mengundang orang asing itu untuk tinggal—kemudian menjamu dalam makan bersama. Makan bersama berarti kita bersedia membagikan apa yang berguna untuk hidup. Manusia tentu bisa hidup tanpa sandang dan papan, tetapi sulit hidup tanpa makanan. Makananlah yang membuat manusia hidup.

Makan bersama juga mengindikasikan adanya suasana akrab. Makan bersama memperlihatkan rasa persaudaraan. Mengapa? Karena ada seseorang yang telah mau berbagi makanannya. Dan jangan pula kita lupa berbagi makanan berarti berbagi kehidupan.

Oleh karena itu, biasanya suasana dalam makan bersama, sesederhana apa pun lauknya, serbaceria. Jarang sekali makan bersama berlangsung dengan paras cemberut. Sebab makan bersama memang memperlihatkan suasana kebersamaan itu.

Tindakan kedua murid itu sebagai manusia merdeka itu ternyata membuat mereka menjadi lebih merdeka. Mulanya mereka merdeka dalam hal pangan dan papan. Mereka memiliki rumah dan makanan. Namun, peristiwa kematian Yesus dan isu yang berkembang di sekitar kebangkitan Yesus masih membelenggu mereka. Mereka masih diliputi kecemasan, kekhawatiran akan hidup mereka selanjutnya sebagai murid Yesus. Mereka masih belum merdeka.

Tindakan mereka—mengundang orang asing itu dan makan bersama—membuat mereka lebih merdeka. Mereka merdeka dari kecemasan masa depan. Ada harapan baru karena Yesus telah bangkit. Itu berarti Yesus adalah Allah. Mereka mengalami kemerdekaan sejati. Dan Yesus yang bangkit itu membangkitkan mereka untuk membangkitkan orang lain.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Undangan

(Luk. 24:13-29)

”Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam!” (Luk. 24:29). Demikianlah undangan kedua murid kepada seorang asing yang menemani mereka dalam perjalanan.

Mengundang seorang asing menginap bukanlah tanpa risiko. Mungkin saja, orang asing itu perampok. Namun, kedua murid itu agaknya memercayainya. Mereka memperhatikan nasibnya. Mereka tidak takut seandainya orang asing itu menjahati mereka. Mereka membuang semua prasangka buruk yang melintas dalam benak. Mereka ingin mengundang orang asing itu karena hari telah menjelang malam. Kepedulian membuat mereka sangat mendesaknya.

Mengundang orang memang bukan hal sederhana karena si pengundang harus rela membagikan apa yang dimilikinya. Dia harus rela membagikan ruang tamu, makanan dan minuman, bahkan pribadinya. Dalam budaya kita pun ada ungkapan bahwa tamu adalah raja. Itu berarti: mengundang orang berarti siap memberikan yang terbaik.

Tak heran, jika dalam setiap perhelatan, misalnya acara perjamuan kawin, dalam sambutannya, pemimpin acara atas nama tuan rumah biasanya meminta maaf jika pelayanan kurang menyenangkan. Kepuasan hati tamu merupakan hal terpenting.

Tindakan mengundang orang sesungguhnya merupakan tindakan manusia merdeka. Si pengundang harus merdeka dari prasangka jangan-jangan orang asing itu akan menjahati mereka. Si pengundang juga harus memberikan kemerdekaan terhadap orang asing itu untuk menikmati apa yang kita miliki. Itu membutuhkan kepercayaan dalam diri sang pengundang. Dan kepercayaan merupakan sikap dasar manusia merdeka.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

 

Posted on Tinggalkan komentar

Paskah

(Luk. 24:12)

”Sungguh pun demikian Petrus bangun, lalu cepat-cepat pergi ke kubur itu. Ketika ia menjenguk ke dalam, ia melihat hanya kain kapan saja. Lalu ia pergi dan bertanya dalam hatinya apa yang kiranya telah terjadi.”

Demikianlah catatan Lukas berkenaan dengan kebangkitan Yesus. Para perempuan yang baru saja dari kubur itu menyatakan bahwa Yesus sudah bangkit. Sedangkan para murid lainnya tidak memercayai mereka. Padahal, menurut Lukas, para perempuan itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah Maria dari Magdala, Yohana, dan Maria ibu Yakobus. Yohana sendiri adalah istri Khuza bendahara Herodes. Pastilah ia seorang terkenal dan disegani saat itu.

Bahkan, meski banyak perempuan lain meyakinkan para rasul, para laki-laki itu bergeming, tidak percaya. Lukas mencatat: ”Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu.”

Entah mengapa para rasul itu tidak percaya. Namun, Petrus sendiri mengambil Langkah jitu. Ketimbang berdebat, ia bangun dan berlari ke kuburan. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Sambil membungkuk ia menengok ke dalam, lalu melihat hanya kain kafan di situ. Petrus heran sekali, lalu pulang dengan banyak pertanyaan di dalam hatinya mengenai apa yang telah terjadi.”

Catatan Lukas ini menarik disimak. Petrus heran dan benaknya penuh dengan banyak pertanyaan. Dan sepertinya untuk beberapa saat, pertanyaan itu tinggal pertanyaan.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Paskah

(Luk. 24:1-11)

Paskah adalah kisah mengenai prioritas. Lukas mencatat: ”tetapi pagi-pagi benar pada hari pertama minggu itu mereka pergi ke kubur membawa rempah-rempah yang telah mereka sediakan.”

Ada karya yang harus dituntaskan. Para perempuan itu tidak bisa menyelesaikannya karena penguburan Yesus harus dilaksanakan secepatnya. Datangnya Sabat membuat mereka harus menghentikan keinginan merawat jenazah Yesus lebih lama. Namun, mereka ingin melanjutkannya sesudah Sabat. Karena itu, mereka membeli rempah-rempah dan minyak mur pada hari Jumat sore itu.

Bisa jadi itulah hari Sabat terpanjang dalam hidup mereka di tengah kegalauan akan penyaliban serta kerinduan merawat mayat Yesus dengan selayaknya. Bisa jadi mereka juga enggak tidur. Sekali lagi, karena ada tugas harus ditunaikan. Lukas mencatat: pagi-pagi benar mereka bergegas pergi ke kubur untuk merawat mayat Yesus. Dan ternyata batu sudah terguling.

Dua Malaikat menyapa mereka. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Mengapa kalian mencari orang hidup di antara orang mati? Ia tidak ada di sini. Ia sudah bangkit! Ingatlah apa yang sudah dikatakan-Nya kepadamu sewaktu Ia masih di Galilea, bahwa ’Anak Manusia harus diserahkan kepada orang berdosa, lalu disalibkan, dan pada hari yang ketiga Ia akan bangkit.’”

Menarik disimak, kedua Malaikat itu mengingatkan bahwa Yesus pernah menyatakan diri soal penyaliban dan kebangkitan. Menarik pula disimak catatan Lukas bahwa para perempuan itu teringat akan perkataan Yesus itu. Dan karena itu mereka semua pergi kepada para murid laki-laki dengan mengatakan bahwa Tuhan sudah bangkit.

Dan lebih menarik lagi, ternyata para murid laki-laki itu malah tidak percaya sama sekali.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Para Perempuan

(Luk. 23:55-56)

”Perempuan-perempuan yang datang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea, ikut serta dan mereka melihat kubur itu dan bagaimana mayat-Nya dibaringkan. Setelah pulang, mereka menyediakan rempah-rempah dan minyak mur. Pada hari Sabat mereka beristirahat menurut hukum Taurat.”

Lukas sepertinya sengaja menampilkan para perempuan yang datang bersama-sama dengan Yesus dari Galilea. Mereka adalah pribadi-pribadi yang setia mengikut Yesus hingga kematian-Nya. Mereka tidak beranjak dari salib dan terus setia mengikuti prosesi pemakaman-Nya.

Dengan sengaja pula Lukas memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan itu melihat kubur itu, juga menyaksikan di mana mayat Sang Guru diletakkan. Dan setelah makam ditutup mereka pulang.

Mereka pulang karena tak ada lagi yang bisa dan perlu dikerjakan karena Sabat hampir tiba. Sepertinya, setelah mampir ke pasar untuk membeli rempah-rempah dan minyak mur, mereka langsung pergi ke rumah.

Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Kemudian mereka pulang lalu menyiapkan ramuan-ramuan dan minyak wangi untuk meminyaki jenazah Yesus. Pada hari Sabat, mereka berhenti bekerja untuk mentaati hukum agama.”

Meski Yesus Orang Nazaret sering dianggap pemimpin agama Yahudi sebagai Pribadi yang tidak menaati Sabat, namun para pengikut-Nya sungguh-sungguh menaati hukum agama. Dengan cara begini Lukas agaknya hendak menyatakan pula bahwa Yesus memang tidak bermaksud menyepelekan Sabat. Guru dari Nazaret itu hendak memperlihatkan makna Sabat sesungguhnya. Buktinya para murid-Nya sendiri sungguh-sungguh menaati Sabat.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Yusuf dari Arimatea

(Luk. 23:50-54)

Pada saat kematian Yesus, Lukas menampilkan tokoh baru: ”Adalah seorang yang bernama Yusuf. Ia anggota Majelis Besar, dan seorang yang baik lagi benar. Ia tidak setuju dengan putusan dan tindakan Majelis itu. Ia berasal dari Arimatea, sebuah kota Yahudi dan ia menanti-nantikan Kerajaan Allah.”

Yusuf dari Arimatea tiba-tiba muncul di permukaan. Penampilannya dimuka umum bukan tindakan sembarangan. Lagi pula, dia yang meminta izin kepada Pilatus untuk menurunkan Yesus dari salib dan menguburkannya. Risiko yang tak kecil. Sebab dengan begitu dia telah menyatakan diri kepada umum bahwa dia adalah pengikut dari Sang Penjahat dari Nazaret. Dengan kata lain, Yusuf siap mempertaruhkan jabatannya sebagai anggota Majelis Besar.

Yusuf dari Arimatea sendiri bukanlah pribadi sembarangan. Dia agaknya seorang yang kaya. Pada masa itu tak sedikit orang yang membeli tanah makam di Yerusalem karena memang banyak orang Yahudi berniat mati dikuburkan di Yerusalem, ibu kota kerajaan Israel. Agaknya, Yusuf dari Arimatea pun telah menyiapkan kubur bagi dirinya sendiri.

Namun, kubur yang telah disiapkan bagi dirinya sendiri itu—kubur yang belum pernah dipakai orang—diberikan kepada Yesus Orang Nazaret. Inilah pemberian terbaik itu. Ukuran terbaik di sini adalah dirinya sendiri—serbakelas satu! Dan itulah yang diberikan kepada Yesus.

Kita tidak tahu apa yang ada di benak Yusuf dari Arimatea. Namun, dia mau memberikan yang terbaik bagi dirinya untuk guru-Nya. Dia tidak itung-itungan.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Posted on Tinggalkan komentar

Kepala Pasukan

(Luk. 23:44-49)

”Sungguh, orang ini tidak bersalah!” Demikianlah kesimpulan kepala pasukan yang menjadi saksi kematian Kristus. Kesaksiannya bukan tanpa alasan.

Pertama, sepertinya dia menyadari bahwa sejak penangkapan hingga kematian, Yesus tidak pernah mengakui kesalahan. Meski ditekan dengan dakwaan berat—menganggap diri sebagai Anak Allah—Yesus tidak pernah mengaku salah. Dan karena itu, Dia juga tidak pernah minta ampun.

Kedua, kepala pasukan itu pasti juga menyaksikan bagaimana Yesus malah mengampuni orang yang menyalibkan-Nya. Tidak ada dendam dalam diri-Nya. Belum lagi, ketika Yesus berjanji kepada salah seorang penjahat bahwa orang itu akan bersama dengan diri-Nya dalam Firdaus.

Ketiga, sepertinya kepala pasukan itu pun mendengarkan seruan Yesus: ”Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” Jika Yesus sungguh salah, sebagaimana tuduhan para pemimpin agama, pastilah Dia tidak akan berani menghadap Allah. Yang ada adalah rasa takut akan berhadapan dengan Sang Pencipta. Bahkan Dia menyapa Allah dengan sebutan Bapa.

Yang juga penting, ini yang keempat, Yesus tidak dicabut nyawa-Nya seperti manusia lain, tetapi Dia menyerahkan nyawa-Nya. Kenyataan ini menyatakan dengan jelas bahwa Yesus memang bukan manusia biasa. Setidaknya Dia memang tidak bersalah sebagaimana yang dituduhkan para pendakwa-Nya.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional