Ada rasa syukur yang luar biasa saat saya membaca buku A. W. Tozer, Mengasihi Yang Mahakudus. Ya, mempelajari serta menggumuli kembali satu hal yang penting dan terutama dalam kehidupan rohani kita, Allah Yang Mahakudus. Secara mendetail dalam bab keempatnya, Tozer mengungkapkan kerinduannya—bagi saya, bagi kita, dan bagi Gereja masa kini—tentang bagaimana kembali masuk ke hadirat Sang Mahakudus.
Tozer merasa cemas melihat kondisi Gereja akhir-akhir ini, yakni semakin hilangnya persepsi yang tepat tentang Allah. Bahkan, Tozer menyoroti salah satu gereja dalam Kitab Wahyu yang pernah disebut sebagai gereja yang suam-suam kuku—tidak dingin atau panas—yang berarti mereka memulai dengan baik, dengan tujuan yang baik, berjalan di jalan yang baik. Namun di suatu tempat di tengah jalan, kasih mereka kepada Allah menjadi hambar.
Tozer juga memberikan contoh tentang kebangunan rohani jemaat di suatu negara kecil Wales pada 1904, di bawah kepemimpinan Evan Roberts. Suatu kali pada minggu pagi, pendeta tidak berkhotbah sama sekali karena Allah bekerja sedemikian rupa. Mereka hanya duduk terpesona dalam kekaguman akan kehadiran Allah sambil menyanyikan lagu-lagu pujian dari Kitab Mazmur—Roh Kudus menggerakkan umat. Persepsi orang tentang Allah kala itu menjadi tinggi dan mulia, sehingga orang dapat betul-betul yakin akan Allah.
Dalam ibadah kebangunan rohani pada masa lalu, orang menjadi tidak sadar akan waktu dan hanya menyadari kehadiran Allah yang berkarya dalam hidup mereka. Namun, Tozer melihat pada masa kini yang orang sadari dalam gereja-gereja kita adalah semangat hiburan dan kesenangan semata, serta menunggu ”Kapan acara ini selesai sehingga saya dapat kembali ke dunia nyata?”
Tozer tentu tidak serta-merta menggunakan kacamata kuda. Ia menyadari betul bahwa zaman memang telah berubah, kita tidak lagi segan dan hormat kepada Allah, dan tidak lagi mengalami rasa takut yang kudus kepada-Nya. Menurutnya, fokus pemberitaan Firman masa kini juga telah bergeser karena lebih mementingkan sifat hiburan agar jemaat senantiasa mau hadir.
Tozer menilai, merosotnya situasi kerohanian Gereja yang tragis dan mencemaskan ini sebagai akibat dari kita melupakan sifat Allah kita. Khotbah kita seharusnya mengutamakan firman Allah di atas segalanya—bahkan di atas tren dan budaya— karena persepsi kita tentang Allah menentukan persepsi kita tentang ibadah. Selain itu, hal mendasar yang hilang dari kita pada masa kini adalah ”visi dari tempat tinggi”.
Mari kita mengingat dan merenungkan kembali bahwa kekristenan adalah tentang menyembah Allah, memuliakan Allah, dan bersukacita atas sifat Allah yang sungguh mengagumkan. Semua hal tentang kekristenan berpusat kepada Allah. Dan sebagai Gereja-Nya, mari kita terus rindu memberitakan Allah, berdoa kepada Allah, serta dengan bangga dan penuh sukacita, mendeklarasikan Allah di antara bangsa-bangsa.
Febriana D.H.
Literatur Perkantas Nasional