Kisah panggilan Yeremia layak direnungkan. Panggilan itu tidak berasal dari diri Yeremia sendiri. Allah memanggilnya untuk menjadi nabi-Nya. Allah yang menyapa Yeremia. Allah yang melamar Yeremia dan bukan sebaliknya.
Panggilan itu bukan tanpa alasan. Allah bersaksi: ”Sebelum Aku membentuk engkau dalam rahim ibumu, Aku telah mengenal engkau, dan sebelum engkau keluar dari kandungan, Aku telah menguduskan engkau, Aku telah menetapkan engkau menjadi nabi bagi bangsa-bangsa.” (Yer. 1:5). Allah memiliki visi. Persoalannya: relakah manusia terlibat dalam perwujudan visi-Nya?
Yeremia berasal dari keluarga imam. Agaknya dia sadar akan tuntutan yang cukup tinggi dari masyarakat terhadap kalangan rohaniawan. Dan Yeremia menyadari bahwa bekalnya belum cukup banyak. Dia mengelak: ”Ah, Tuhan ALLAH! Sesungguhnya aku tidak pandai berbicara, sebab aku ini masih muda.” (Yer. 1:6)
Yeremia sadar, menjadi nabi berarti harus berbicara atas nama Allah kepada umat! Menjadi nabi itu tidak hanya cukup pintar ngomong. Tidak. Menjadi nabi berarti harus memiliki pengetahuan yang cukup agar berita yang dibawa tidak menjadi bahan olok-olok.
Dalam bayangan Yeremia, menjadi nabi berarti harus mampu berargumentasi. Lalu, bagaimana mau berargumen jika bekal pengetahuannya tidak memadai? Yeremia merasa dia masih terlalu muda. Sedikitnya pengetahuan—karena kemudaannya itu—membuatnya gentar menerima lamaran Allah.
Akan tetapi, Tuhan tetap pada pendirian-Nya. Dia berdaulat penuh. Lagi pula, alasan Yeremia itu hanya akan membawa Yeremia bertumpu pada kekuatannya sendiri. Dan Allah tidak mau hal itu terjadi. Allah ingin Yeremia bergantung penuh kepada-Nya. Ya, bergantung penuh kepada Allah. Itulah modal utama setiap pekerja Allah!
Selamat bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional