Elia terpana. Janda yang begitu dihormati—yang juga telah memberi tempat berteduh dan makan selama ini—menuduhnya. Dalam kekalutan karena kematian anaknya, janda di Sarfat itu berkata kepada Elia, ”Apakah maksudmu datang ke mari, ya abdi Allah? Singgahkah engkau kepadaku untuk mengingatkan kesalahanku dan untuk menyebabkan anakku mati?” (1Raj. 17:18).
Perkataan itu tampaknya mengguncangkan hati Elia. Betapa tidak, Elia telah merasakan kasihnya. Janda itu sekarang ketimpa musibah dan menganggap Elia biang keladinya.
Elia lalu mengambil anak itu dan bersyafaat kepada Tuhan: ”Ya TUHAN, Allahku, mengapa Engkau mendatangkan celaka ini ke atas janda ini? Ia sudah memberi tumpangan kepadaku dan sekarang Engkau membunuh anaknya!” (1Raj. 17:20).
Elia berdoa seakan dia yang kena musibah. Sang Nabi berseru seperti dia sendirilah yang menderita. Kelihatannya, Elia sungguh merasakan kepedihan janda tersebut. Inilah yang dinamakan empati—’dalam penderitaan orang lain’. Jika simpati berarti bersama dengan penderitaan orang lain, maka empati—lebih dalam lagi—yakni dalam penderitaan orang lain. Allah pun kemudian membangkitkan anak itu dari kematian.
Sebelumnya janda itu memperlihatkan wajah Allah kepada Elia. Selanjutnya, Elia juga memperlihatkan wajah Allah kepada janda tersebut. Mereka saling memperlihatkan wajah Allah. Mereka saling menyatakan kasih Allah. Mereka saling memberi kehidupan. Mereka saling menghidupkan. Akhirnya, janda itu pun percaya kepada Allah Israel.
Memperlihatkan wajah Allah merupakan panggilan orang beriman. Dan dua minggu lalu seorang rekan pelayan mengirimkan pesan melalui whatsapp: ”Kalau ada gereja atau lembaga pelayanan yang perlu kita dukung untuk memiliki buku ini, saya ikutan ya.” Singkat pesannya. Namun, pada hemat saya, dia sedang berupaya memperlihatkan wajah Allah kepada sesama, yang bisa jadi tak pernah dikenalnya.
Nah, marilah kita saling memperlihatkan wajah Allah! Juga kepada rekan sekerja kita hari ini!
Selamat bekerja,
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional