”Jangan pasang bendera putih di rumah. Jangan tunjukkan ke orang banyak bahwa aku telah menyerah.” Demikianlah penggalan surat EP, remaja putri, 16 tahun, kepada ibunya sebelum bunuh diri, Selasa, 29 Mei 2018.
Surat EP membuat saya kelu, tak tahu harus ngomong apa. Membayangkan betapa remaja, yang dikenal selalu ingin ranking satu, itu merasa bahwa menyerah merupakan satu-satunya jalan yang bisa dilakukannya. Harapannya untuk masuk sekolah favorit SMAN 1 Blitar dirasakan mustahil.
Dan sayangnya, seribu kali sayang, tampaknya dia tidak punya orang yang bisa menjadi kawan bicara. EP tinggal di rumah kos bersama seorang lansia yang telah merawatnya sejak kecil.
Kita tidak pernah tahu alasan utama dia mengambil tindakan itu. Bisa jadi bebannya memang besar. Beban yang mungkin diletakkan keluarga besarnya—atau mungkin dia sendiri—pada bahu kecilnya.
Ah, seandainya dia mengingat perkataan Sang Guru: ”Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat. 11:28). Akan tetapi, bisa jadi dia mengingatnya. Namun, tak berani memercayainya. Dan, sekali lagi, dia begitu muda.
Misi Allah dalam Diri
Kisah kematian EP memperlihatkan kepada kita bahwa masih banyak orang memahami bahwa hidup itu beban semata. Chairil Anwar, dalam puisinya ”Derai-derai Cemara”, berpendapat: ”Hidup hanya menunda kekalahan… sebelum pada akhirnya kita menyerah”. Hidup dianggap beban dan kematian menjadi jalan keluar. Benarkah?
Sejatinya hidup adalah panggilan. Allah memanggil manusia dengan cara memercayakan hidup kepada mereka. Itu berarti setiap manusia sesungguhnya insan kepercayaan Allah. Dan saat Allah memanggil, sejatinya Dia memperlengkapi manusia untuk menuntaskan panggilan itu.
Dalam diri setiap manusia, Allah telah menanamkan—layaknya DNA—misi-Nya untuk dijalani. Dan misi Allah itu unik, khas, satu-satunya, dan hanya untuk satu orang saja. Persoalannya: apakah manusia mau menghidupi misi Allah dalam diri-Nya?
Pada titik ini memahami misi Allah merupakan hal utama dalam hidup manusia. Pemahaman mengenai misi Allah dalam diri akan menolong kita untuk memilih pekerjaan yang bisa menjadi sarana untuk menghidupi misi tersebut. Sehingga tak asal mendapatkan pekerjaan. Namun, sungguh-sungguh menjadikan pekerjaan yang dipilih itu sebagai alat untuk menghidupi misi Allah itu.
Ngobrol dengan Allah
Nah, pertanyaan yang layak diajukan sekarang: apakah misi Allah dalam diri kita masing-masing? Lalu, apakah pekerjaan kita sekarang ini sungguh-sungguh mampu menjadi alat dalam menghidupi misi Allah itu? Pada titik ini ngobrol dengan Allah menjadi keniscayaan.
Namun, ketika kita merasakan bahwa pekerjaan kita sekarang ini ternyata belum menjadi alat efektif untuk menghidupi misi Allah itu, tak perlu kita patah arang. Bisa jadi pekerjaan kita sekarang merupakan cara Allah untuk mempersiapkan diri untuk beralih ke pekerjaan berikutnya.
Karena itu, tidak ada jalan lain bagi kita kecuali bekerja dengan fokus dan serius. Kualitas kerja tinggi akan membuat kepercayaan diri kita meningkat, dan tentu juga akan membuat orang lebih memercayai kita. Dan bisa jadi itu juga pintu masuk bagi kita untuk mendapatkan pekerjaan seturut dengan misi Allah dalam diri kita tadi.
Jika memang pekerjaan kita sekarang ini telah menjadi sarana efektif untuk menghidupi misi Allah dalam diri, maka menjadi panggilan kita sesehari untuk menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Pembaruan diri menjadi kata kunci. Dan dalam semuanya itu, kasih Allah kekal sifatnya. Tidak tergantung pada diri dan keberadaan kita. Dia juga tak pernah menuntut keberhasilan kita. Dia hanya ingin kita setia menjadi anak-Nya. Dia ingin kita teguh menjalani misi, yang telah ditanamkan-Nya dalam diri kita!
Karena itu, jangan pernah menyerah! Allah siap memberi kelegaan. Apalagi—biarlah ini juga senantiasa menjadi penghiburan—Allah tidak pernah salah sewaktu mengambil keputusan untuk menciptakan kita!
Selamat bekerja!
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional