”Ya Allah, berikanlah hukum-Mu kepada raja dan keadilan-Mu kepada putera raja!” (Mzm. 72:1). Catatan redaksi Mazmur 72 menarik disimak: mazmur ini berasal dari Salomo yang menyatakan bahwa awalnya merupakan doa-doa Daud bin Isai.
Doa ini memperlihatkan betapa ”kuasa,” mengutip Lord Acton, ”cenderung membuat manusia menjadi korup dan kuasa yang mutlak pasti korup.” Setulus-tulusnya orang, ketika berkuasa tak steril dari sikap menjadi diktator. Itu jugalah pengalaman Daud, khususnya ketika dia merebut Batsyeba dari Uria.
Agaknya sengaja diberi catatan bahwa mazmur ini merupakan doa dari Daud bin Isai. Yang ditekankan bukanlah keberadaan Daud sebagai raja, tetapi sebagai manusia biasa—daging belaka, yang memang rentan. Di Getsemani pun, Sang Guru mengingatkan, ”roh memang penurut, tetapi daging lemah” (Mat. 26:41).
Dalam doanya, Daud memohon hukum Allah. Dia kelihatannya sadar bahwa manusia yang berkuasa kadang merasa boleh melakukan apa saja. Sejarah mencatat begitu banyak diktator. Bahkan, Raja Louis XIV kabarnya pernah berujar, l’etat c’est moi ’negara adalah saya’.
Tak hanya raja, Daud juga menyadari bahwa anak-anak raja kadang merasa lebih hebat dari raja. Mungkin ini juga pengalaman Salomo. Sehingga mereka pun perlu berlajar bersikap adil. Dasar keadilan itu bukan perasaan atau pikiran pribadi, tetapi hukum Allah.
Sejatinya, bukan soal besar atau kecilnya kuasa. Tukang parkir pun bisa menyalahgunakan kuasanya jika ada pengemudi yang dirasa semaunya. Karena itu, manusia perlu membatasi diri. Yang bisa membatasi hanyalah Allah sendiri.
Sesungguhnya aturan dibuat bukan untuk mengikat, tetapi menolong manusia dalam menjaga dirinya agar tetap bermartabat manusia. Dan dalam hidup ada banyak aturan. Salah satunya aturan kerja di kantor kita. Butuh kerelaan untuk mengikatkan diri padanya. Itulah makna sebuah komitmen.
Selamat Bekerja!
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional