”Berikanlah kepada hamba-Mu ini hati yang paham menimbang perkara untuk menghakimi umat-Mu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat…” (1Raj. 3:9). Demikianlah jawaban Salomo ketika Allah memberinya kesempatan untuk meminta apa pun juga.
Salomo agaknya sadar bahwa dirinya raja—pengambil keputusan tertinggi di kerajaan. Sehingga, dia lebih memprioritaskan hati yang berhikmat ketimbang usia, harta, dan kemenangan. Dan permintaan Salomo itu baik di mata Allah karena seturut kehendak-Nya.
Salomo tidak meminta hikmat. Tidak. Hikmat bukan sesuatu yang sudah jadi dari sananya. Semua itu bersumber dari hati. Fokus Salomo adalah hati yang mampu menimbang-nimbang: mana yang benar, baik, dan tepat.
Kunci hati yang berhikmat adalah persekutuan dengan Allah. Tuhan Yesus pernah bersabda: ”Akulah terang dunia; siapa saja yang mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang kehidupan” (Yoh. 8:12). Manusia hanya mampu mengambil keputusan jernih dalam terang. Dalam gelap yang ada hanyalah kegamangan, bahkan ketakutan.
Ketika kita memiliki terang kehidupan, kita pun dapat menerangi hidup orang lain. Pada titik ini setiap keputusan dan tindakan yang kita ambil tidak hanya berguna untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain—sebagaimana Salomo!
Tahun kerja baru sudah di depan mata. Apa pun level pekerjaan kita, semuanya itu berkait dengan keputusan. Dan hati yang berhikmat adalah kuncinya.
Selamat Bekerja!
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional