”Sungguh, alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun” (Mzm. 133:1). Demikianlah Daud memulai nyanyian ziarahnya.
Prinsip kerukunan, menurut Rama Magnis Suseno dalam buku Etika Jawa, bertujuan mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan tentram, dan tanpa perselisihan dan pertentangan. Agar rukun, individu bersedia menomorduakan, bahkan kalau perlu, melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Apakah yang lebih baik dan indah ketimbang hal ini?
Persoalannya: kadang orang berpikir, jika seseorang berbeda pendapat dengan dirinya, maka orang tersebut pasti tidak menyukai dirinya. Sejatinya, orang boleh berbeda pandangan, tetapi harus tetap menghargai setiap pribadi.
Bagaimanapun, menghargai pribadi sebagai pribadi yang unik merupakan penghargaan terhadap Sang Pencipta, yang telah menciptakan keunikan itu. Lagi pula, ada pepatah: ”Selera memang tidak bisa diperdebatkan”.
Ingatlah ketujuh bias warna pelangi! Masing-masing berbeda warnanya, tetapi keragaman warna itulah yang membuat pelangi tampak indah. Bayangkan jika hanya satu atau dua bias warna saja yang muncul! Keindahan itu tampak karena mereka berbeda. Perbedaan itu memperindah dan memperkaya.
Sama halnya dengan alat musik angklung. Satu angklung: satu nada. Masing-masing angklung mempunyai nada tertentu, yang unik dan hanya dimilikinya sendiri. Namun toh, dia tidak dapat hidup sendirian. Untuk menjadi bagian dari sebuah lagu, maka perlu menerima dan menghargai angklung lainnya. Karena berbeda, maka mereka saling membutuhkan. Karena berbeda, mereka bersatu. Perbedaan itulah yang mempersatukan. Dan itu pulalah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan kerja kita.
Selamat Bekerja!
Yoel M. Indrasmoro
Direktur Literatur Perkantas Nasional