(Luk. 9:46)
”Kemudian timbullah pertengkaran di antara murid-murid Yesus tentang siapakah yang terbesar di antara mereka.”
Kita tidak pernah tahu motivasi di balik pertikaian itu. Bisa diduga, mereka hendak bersiap diri seandainya Yesus tiada lagi bersama mereka. Bukankah pertengkaran ini terjadi setelah pemberitahuan kedua mengenai penderitaan Yesus?
Dengan kata lain, mereka bertengkar tentang pemimpin berikutnya. Sepertinya Yesus tidak pernah secara lugas dan tegas mengatakan siapa yang akan menggantikan-Nya. Yesus tidak mempersiapkan putra mahkota. Karena itu, pertikaian itu menjadi sungguh beralasan. Dan kelihatannya, beberapa murid, mungkin semuanya, ingin menjadi pemimpin.
Motivasi itu tidak sepenuhnya salah. Ya, apa salahnya mencari seorang pemimpin. Apa salahnya menyiapkan pemimpin baru? Apa jadinya organisasi tanpa pemimpin? Namun, yang juga perlu ditanyakan, apakah para murid memahami arti kepemimpinan?
Pemimpin tentulah orang yang memimpin. Pemimpin itu kata benda, kata kerjanya memimpin. Pemimpin haruslah menjadi seorang yang memimpin diri sendiri dan orang-orang yang dipimpinnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Jika demikian, mengapa banyak orang berlomba menjadi pemimpin? Kemungkinan besar, banyak orang telah mengubah predikat pemimpin, dari memimpin menjadi menguasai. Pemimpin akhirnya dipahami sebagai figur yang menguasai orang-orang yang dipimpinnya. Akhirnya, banyak pula yang menganggap pemimpin itu sama dengan penguasa.
Banyak orang ingin jadi pemimpin karena dalam benaknya pemimpin itu adalah seorang yang memiliki kuasa. Dan bicara soal kuasa pastilah ada embel-embel fasilitas di belakangnya. Agaknya inilah yang membuat orang berlomba-lomba, bahkan sikut sana sini, untuk menjadi pemimpin. Sekali lagi, ada fasilitas di belakangnya.
Enggak susah jauh-jauh cari contoh, ketua panitia apa pun pastilah lebih sering difoto ketimbang anggota panitianya. Itu baru ketua panitia, bagaimana dengan jabatan lainnya? Dan jika sudah menyinggung fasilitas, kemungkinan besar orang menjadi lupa tujuan organisasi.
Sejatinya fasilitas itu diadakan bukan untuk memuaskan ego pemimpin, tetapi agar kepemimpinan dapat menjadi lebih berdaya dan berhasil guna. Jika malah menghambat seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya, fasilitas itu seharusnya ditiadakan.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional