(Luk. 9:47-48)
”Tetapi Yesus mengetahui pikiran mereka. Karena itu Ia mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya, dan berkata kepada mereka, “Siapa saja yang menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku; dan siapa saja yang menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar.”
Menjadi pemimpin dalam pemahaman Yesus bukanlah untuk menguasai, tetapi untuk melayani orang lain. Pemimpin yang melayani. Dengan sengaja Yesus mengambil seorang anak kecil dan menempatkannya di samping-Nya.
Yesus mengambil anak tersebut. Tentunya, cara pengambilannya bukanlah dengan paksa. Kalau memang demikian, anak tersebut pasti sudah meronta-ronta. Tak ada paksaan terhadap si anak. Dan saya duga si anak sendiri tidak merasa dipaksa. Bahkan, dia senang saat Yesus mengambilnya.
Marilah kita bayangkan bagaimana paras wajah Yesus waktu itu. Senyumkah? Atau malah cemberut? Kita bisa menduga, Yesus tersenyum. Mana ada anak kecil yang suka dengan orang dewasa yang cemberut? Kita juga bisa menduga bahwa anak itu merasa diterima Yesus. Sehingga, dia tidak keberatan diajak Yesus untuk berdiri di sampingnya.
Berdiri di samping melambangkan kesetaraan. Pemimpin harus bersikap setara terhadap orang yang dipimpinnya. Bahkan, menganggap yang dipimpin lebih tinggi kedudukannya. Dan itulah yang dinyatakan Sang Guru ketika mendorong para murid untuk menyambut anak tersebut. Pemimpin memang mesti bersikap senantiasa menyambut orang yang dipimpinnya. Tak sekadar menyambut, tetapi menyambut dalam nama Yesus. Kepemimpinan seharusnya dilakukan dalam nama Kristus.
Kepemimpinan yang tidak dilakukan dalam nama Kristus akan mudah berubah menjadi menguasai. Sang Pemimpin akan menjadi penguasa. Dan itulah yang tidak pernah dilakukan Kristus. Sebab Dia datang untuk melayani.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional