Pemazmur memulai Mazmur 67 dengan harapan: ”Kiranya Allah mengasihani kita dan memberkati kita, kiranya Ia menyinari kita dengan wajah-Nya, supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa.”
Pemazmur mempunyai keinginan kuat agar Allah memberkati dirinya. Itu merupakan keinginan wajar. Lumrahlah, meminta berkat dari Sang Pencipta. Yang tak lumrah ialah ketika seseorang merasa tak perlu lagi berharap akan berkat Allah karena merasa mampu memberkati diri sendiri. Lebih tidak lumrah kala seseorang menolak berkat Allah.
Namun, pemazmur tidak meminta berkat itu untuk diri sendiri. Berkat Allah diharap bukan untuk dinikmati sendirian, tetapi agar kehendak Allah dikenal di seluruh bumi dan keselamatan yang dari Allah itu juga dirasakan semua bangsa.
Pemazmur berkerinduan kuat, agar segala bangsa, tak hanya Israel, mengenal Allah. Kerinduan yang kuat itu bisa disebut visi. Visi pemazmur—bisa kita ringkas dengan tiga kata—manusia mengenal Allah. Dan misinya ialah mewujudkan visi tersebut.
Misi umat Allah ialah memperkenalkan Allah kepada dunia. Perkara apakah orang akan menerima atau menolak Allah, sejatinya bukanlah urusan kita lagi. Namun, kita perlu berupaya menolong orang mengenal Allah dan merasakan kasih-Nya.
Dalam pembukaan katekismus Heidelberg, tersurat ”Apakah satu-satunya penghiburan Saudara, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati? Bahwa aku, dengan tubuh dan jiwaku, baik pada masa hidup maupun pada waktu mati, bukan milikku, melainkan milik Yesus Kristus, Juruselamatku yang setia.”
Itulah makna Injil: kita adalah milik Yesus Kristus. Kepada umat milik-Nya, Yesus yang bangkit berkata: ”Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu…” (Yoh. 14:27). Damai sejahtera merupakan kebutuhan utama manusia! Persoalannya, berniatkah kita membagikannya, juga di tengah pandemi COVID-19 ini?
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional