”Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku.” Demikianlah percakapan pribadi antara Daud dan Allah, yang terekam dalam Mazmur 26. Awalnya saya tak begitu paham, mengapa Daud begitu percaya diri—terkesan sombong—meminta Allah untuk menguji, bahkan mencobai dirinya. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Selidikilah aku, ya TUHAN, dan ujilah aku, periksalah keinginan dan pikiranku.”
Namun, jika kita mencoba memperhatikan alasan Daud, sesungguhnya apa yang dinyatakan Daud sungguh masuk akal. Perhatikan Mazmur 26:3: ”Sebab mataku tertuju pada kasih setia-Mu, dan aku hidup dalam kebenaran-Mu.” Itu berarti Daud telah terlebih dahulu hidup dalam kebenaran Allah.
Dan karena manusia itu lemah, Daud merasa perlu meminta Allah untuk memeriksa keinginan dan pikirannya. Daud tidak berpretensi bahwa pikiran dan keinginannya pasti selalu baik. Karena itulah, dia memohon kepada Allah untuk mengujinya. Pada titik ini sebenarnya Daud sedang mengembangkan budaya—yang bisa kita tiru juga dalam pandemi Covid-19—transparansi. Daud bersedia diaudit oleh Allah sendiri.
Hari ini kita merayakan Paskah. Jika Jumat Agung memperlihatkan kepada kita bahwa hidup kita sungguh berharga—begitu berharganya hingga Allah mau mati untuk kita; maka Paskah memperlihatkan bahwa kematian Allah itu sungguh ada faedahnya.
Kepada warga jemaat di Korintus, Paulus menulis: ”Dan jika Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah kepercayaan kamu dan kamu masih hidup dalam dosamu” (1Kor. 15:17). Kebangkitan Kristus semestinya membuat kita hidup dalam hidup yang baru.
Dengan kata lain, kita perlu terus memperbarui diri kita—menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri. Dan sebagai standarnya, kita pun berani memohon kepada Allah, ”Ujilah aku, ya Allah!” Selamat Paskah!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional