Penyair memulai Mazmur 99 dengan pengakuan dan ajakan: ”TUHAN itu Raja, maka bangsa-bangsa gemetar. Ia duduk di atas kerub-kerub, maka bumi goyang. TUHAN itu maha besar di Sion, dan Ia tinggi mengatasi segala bangsa. Biarlah mereka menyanyikan syukur bagi nama-Mu yang besar dan dahsyat; Kuduslah Ia!”
Pengakuan bahwa Allah itu Raja sungguh signifikan—penting dan bermakna. Sebab ada konsekuensi logis dari pengakuan ini. Penyair menyatakan bahwa bangsa-bangsa gemetar. Gemetar di sini bukan karena Allah adalah pribadi yang sewenang-wenang, tetapi karena Dia kudus.
Kekudusan Allah niscaya membuat yang cemar sirna. Terang memang tak mungkin bersatu dengan gelap. Gelap akan serta merta hilang. Dan karena itu bangsa-bangsa pantas gemetar.
Namun demikian, kekudusan Allah semestinya tak hanya membuat gemetar, tetapi juga mendorong manusia untuk memuliakan-Nya. Mengapa? Karena di dalam kekudusan-Nya, Allah berkenan memberikan kehidupan kepada segala makhluk.
Bagaimana dengan kita? Kekudusan Allah semestinya mendorong kita untuk hidup kudus. Kerinduan hidup kudus—tentu dengan anugerah Allah—akan membuat kita layak bersimpuh di hadirat-Nya. Oleh karena itu, mari kita belajar menjaga kekudusan hidup, juga di tengah pandemi ini.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Martin Jernberg