”Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Demikianlah penyair mengawali Mazmur 100, yang merupakan untuk kurban syukur.
Menarik disimak, penyair mengajak seluruh bumi untuk beribadah kepada TUHAN. Dan itu hanya mungkin terjadi jika umat Allah—yang telah merasakan penyelamatan Allah—menjadi contoh. Itu berarti juga hidup yang dijalani umat Israel—selaku umat Allah—terlalu berharga untuk dilakoni secara biasa-biasa saja. Hidup adalah ibadah. Itu berarti mereka perlu melakoni hidup itu dalam situasi dan kondisi sembah kepada Allah. Artinya: serius, tidak main-main, dan kudus!
Pemazmur memiliki alasan kuat: ”Karena TUHANlah Allah; Dialah yang menjadikan kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya.” (Mzm. 100:3). Ya, TUHANlah Allah. Dalam kalimat ini pemazmur mengakui bahwa dia adalah ciptaan Allah.
Dalam pemahaman pemazmur, TUHAN—Yahwe—bukanlah pribadi yang gemar mencipta sesuatu lalu melupakannya. Yahwe bukanlah pencipta jam otomatis yang setelah mencipta langsung membiarkan jam itu jalan sendiri. Tidak. Yahwe tak hanya mencipta, tetapi juga memelihara ciptaannya.
Dalam Alkitab BIMK tertera: ”Ia menciptakan kita dan kita milik-Nya; kita umat-Nya, bangsa yang dipelihara-Nya.” Itu berarti umat Israel adalah ciptaan Allah. Umat Israel adalah milik Allah. Dan ini yang terpenting: umat Israel dipelihara Allah.
Karena semua alasan itulah, memuji Allah merupakan keniscayaan. Memuji Allah karena Dia memang layak dipuji dan dimuliakan. Memuji Allah karena Dia baik, kasih-Nya kekal, dan kesetiaan-Nya tak pernah putus.
Di tengah pandemi ini agaknya kita, umat percaya pada masa kini, perlu juga menguji diri: ”Benarkah kasih Allah itu kekal, tak putus dalam hidup kita?” Mungkin kita mengalami kesulitan, tetapi percayalah kita tidak sendirian. Semua orang merasakannya.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Joshua Earle