(Ayb. 9:1-35)
Ayub mengamini pernyataan Bildad. Katanya, ”Sungguh, aku tahu, bahwa demikianlah halnya, masakan manusia benar di hadapan Allah? Jikalau ia ingin beperkara dengan Allah satu dari seribu kali ia tidak dapat membantah-Nya. Allah itu bijak dan kuat, siapakah dapat berkeras melawan Dia, dan tetap selamat?”
Itulah yang diakui Ayub. Dengan kata lain, Ayub hendak mengatakan kepada para sahabatnya bahwa dia mengakui bahwa Allah memang benar—Allah tak pernah salah. Tak ada manusia yang benar di hadapan Allah, tak ada pula yang bisa membantah-Nya. Karena Dia memang Allah, Sang Pencipta.
Dalam Akitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Memang, aku tahu, kata-katamu itu tak salah. Tapi, mana mungkin manusia berperkara melawan Allah dan mengalahkan-Nya? Dari seribu pertanyaan yang diajukan Allah, satu pun tak dapat dijawab oleh manusia.” Bisa juga diterjemahkan: ”Manusia dapat menanyakan seribu pertanyaan kepada-Nya; Ia pun tak akan mau menjawabnya.”
Ayub memang memahami bahwa Allah berkuasa, juga berdaulat. Namun, yang sungguh tidak dipahami Ayub adalah mengapa Allah menimpakan semuanya itu kepada-Nya. Dalam ayat 15-18, Ayub mengakui: ”Walaupun aku benar, aku tidak mungkin membantah Dia, malah aku harus memohon belas kasihan kepada yang mendakwa aku. Bila aku berseru, Ia menjawab; aku tidak dapat percaya, bahwa Ia sudi mendengarkan suaraku; Dialah yang meremukkan aku dalam angin ribut, yang memperbanyak lukaku dengan tidak semena-mena, yang tidak membiarkan aku bernafas, tetapi mengenyangkan aku dengan kepahitan.”
Jelas di sini Ayub kelihatannya sengaja menyatakan bahwa Allah sengaja membiarkannya hidup, namun untuk mengenyangkannya dengan kepahitan. Dan dia tidak dapat menggugat Allah. Bahkan Ayub pun menambahkan dalam ayat 33: ”Tidak ada wasit di antara kami, yang dapat memegang kami berdua!”
Pada titik ini sesungguhnya Ayub sedang menggugat Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional