(Ayb. 8:1-22)
Bildad orang Suah tak bisa menahan hati. Dia pun mulai menegur Ayub. ”Berapa lamakah lagi engkau akan berbicara begitu, dan perkataan mulutmu seperti angin yang menderu? Masakan Allah membengkokkan keadilan? Masakan Yang Mahakuasa membengkokkan kebenaran? Jikalau anak-anakmu telah berbuat dosa terhadap Dia, maka Ia telah membiarkan mereka dikuasai oleh pelanggaran mereka. Tetapi engkau, kalau engkau mencari Allah, dan memohon belas kasihan dari Yang Mahakuasa, kalau engkau bersih dan jujur, maka tentu Ia akan bangkit demi engkau dan Ia akan memulihkan rumah yang adalah hakmu” (Ayb. 8:2-6).
Tak ada yang salah dari perkataan Bildad. Dia tampaknya gusar karena Ayub terus menganggap dirinya benar, dan secara tak langsung mulai menyalahkan Allah. Sehingga Bildad mulai mengajak Ayub untuk berefleksi dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Allah tidak pernah membengkokkan keadilan; tidak pernah gagal menegakkan kebenaran.”
Di mata Bildad Allah sungguh adil dan benar. Sehingga yang penting adalah pengakuan Ayub. Hanya itulah yang akan memulihkan keadaan Ayub—tentu dengan pemahaman bahwa Allah adalah Pribadi yang rahimi.
Bildad pun perlu menegaskan—lagi-lagi dengan gaya bahasa retorik—”Dapatkah pandan bertumbuh tinggi, kalau tidak di rawa, atau mensiang bertumbuh subur, kalau tidak di air? Sementara dalam pertumbuhan, sebelum waktunya disabit, layulah ia lebih dahulu dari pada rumput lain. Demikianlah pengalaman semua orang yang melupakan Allah; maka lenyaplah harapan orang fasik, yang andalannya seperti benang laba-laba, kepercayaannya seperti sarang laba-laba” (Ayb. 8:11-14).
Dengan demikian, Bildad gamblang menyatakan bahwa Ayub tak beda dengan orang fasik. Penderitaan Ayub kemungkinan besar karena ada dosa yang belum diakuinya. Dan karena itu, mengaku dosa adalah jalan terlogis.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional