(Ayb. 7:1-21)
Dalam ayat 1-3, Ayub menegaskan: ”Bukankah manusia harus bergumul di bumi, dan hari-harinya seperti hari-hari orang upahan? Seperti kepada seorang budak yang merindukan naungan, seperti kepada orang upahan yang menanti-nantikan upahnya, demikianlah dibagikan kepadaku bulan-bulan yang sia-sia, dan ditentukan kepadaku malam-malam penuh kesusahan.”
Nada bicaranya seperti keluhan. Semua serba tidak menyenangkan. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Manusia itu seperti dipaksa berjuang; hidupnya berat seperti hidup seorang upahan; seperti budak yang merindukan naungan; seperti buruh yang menantikan imbalan. Bulan demi bulan hidupku tanpa tujuan; malam demi malam hatiku penuh kesedihan.”
Itulah yang dirasakan Ayub. Penderitaannya, juga kecaman sahabatnya, membuat Ayub jatuh ke dalam lubang ”mengasihani diri sendiri”. Seakan memang tidak ada baiknya hidup itu. Bahkan, dalam ayat 16 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini Ayub mengakui: ”Aku lelah dan jemu hidup; aku ingin mati! Biarkan aku, sebab hidupku tidak berarti.” Ayub merasa semua serbasia-sia, dan lebih baik mati saja.
Menarik disimak, Ayub pun merasa perlu bertanya kepada Allah: ”Kalau aku berbuat dosa, apakah yang telah kulakukan terhadap Engkau, ya Penjaga manusia? Mengapa Engkau menjadikan aku sasaran-Mu, sehingga aku menjadi beban bagi diriku?” (Ayb. 7:20). Ayub memang tak mengerti mengapa Allah yang disembahnya dengan tekun itu membiarkannya dalam penderitaan.
Apa pun penilaian kita terhadap keluh kesah Ayub ini, yang bisa kita pelajari adalah Ayub jujur. Dia tidak sok kuat. Dia sungguh-sungguh menyatakan rasa kecewanya kepada Allah. Dan sepertinya Ayub tahu, hanya Allah yang sanggup menjawab semua pertanyaannya itu.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional