(Ayb. 6:14-30)
”Siapa menahan kasih sayang terhadap sesamanya, melalaikan takut akan Yang Mahakuasa. Saudara-saudaraku tidak dapat dipercaya seperti sungai, seperti dasar dari pada sungai yang mengalir lenyap, yang keruh karena air beku, yang di dalamnya salju menjadi cair, yang surut pada musim kemarau, dan menjadi kering di tempatnya apabila kena panas; berkeluk-keluk jalan arusnya, mengalir ke padang tandus, lalu lenyap.” (Ayb. 6:14-18).
Demikianlah sindiran Ayub terhadap para sahabatnya. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, ayat 14-15, lebih gamblang: ”Dalam derita seperti ini, kudambakan sahabat sejati. Entah aku masih tetap setia atau sudah melalaikan Yang Mahakuasa. Tetapi kamu, hai kawan-kawan, tak dapat dipercaya dan diandalkan. Kamu seperti kali yang habis airnya, di kala hujan tak kunjung tiba.”
Ya, Ayub merindukan sahabat sejati. Ayub mengakui, dia bisa saja salah dan tak lagi setia kepada Allah. Namun, dia tetap merindukan sahabat yang sungguh-sungguh dapat dipercaya dan diandalkan. Sahabat yang tidak seperti sungai tanpa air kala kemarau. Ayub berharap persahabatan itu tetap ada dan tak terpengaruh situasi dan kondisi imannya.
Pada titik ini Ayub merasa tak lagi dipercaya. Ayub memohon, ”Ajarilah aku, maka aku akan diam; dan tunjukkan kepadaku dalam hal apa aku tersesat. Alangkah kokohnya kata-kata yang jujur! Tetapi apakah maksud celaan dari pihakmu itu? Apakah kamu bermaksud mencela perkataan? Apakah perkataan orang yang putus asa dianggap angin?” (Ayb. 6:24-26).
Sebenarnya Ayub memang hanya ingin didengar dan tak berharap komentar. Namun, perkataan Elifas membuat dia meradang karena merasa enggak dipercaya. Sekali lagi Ayub memohon dalam ayat 28-30 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Coba, perhatikanlah aku; masakan aku ini berdusta kepadamu? Jangan bertindak tak adil, sadarlah! Jangan mencela aku, aku sungguh tak salah. Apakah pada sangkamu aku berdusta, tak bisa membedakan yang baik dan yang tercela?”
Ya, Ayub hanya ingin dipercaya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional