(Ayb. 39:34-38)
”Maka jawab TUHAN kepada Ayub: ’Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!’ Maka jawab Ayub kepada TUHAN: ’Sesungguhnya, aku ini terlalu hina; jawab apakah yang dapat kuberikan kepada-Mu? Mulutku kututup dengan tangan. Satu kali aku berbicara, tetapi tidak akan kuulangi; bahkan dua kali, tetapi tidak akan kulanjutkan.’”
Setelah serangkaian kalimat retorik, Allah tegas bertanya kepada Ayub, ”Apakah si pengecam hendak berbantah dengan Yang Mahakuasa? Hendaklah yang mencela Allah menjawab!” Kata-kata Allah begitu lugas. Dia menyebut Ayub sebagai si pengecam atau yang mencela Allah.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengecam berarti orang yang mengecam. Mengecam itu sinonim dengan mengkritik. ”Kritik” berasal dari bahasa Yunani ”criterion” yang kita pungut menjadi kata ”kriteria”, yang berarti ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Sehingga, yang tidak sesuai dengan kriteria, lazimnya harus dikritik.
Memang itulah yang terjadi dalam Kisah Ayub. Mulanya Ayub bisa tahan. Namun, akhirnya dia mungkin bingung dan mulai mempertanyakan kasih Allah. Bisa jadi Allah tak lagi sama dengan apa yang dipahaminya. Tindakan Ayub itu menuai protes para sahabatnya, yang pada gilirannya mencela Ayub. Dan Ayub yang baper akhirnya membalas celaan itu dengan celaan pula.
Mungkin juga Ayub tak bermaksud mengecam Allah, namun Allah agaknya merasakan kecaman itu. Dan karena itu Allah menantang Ayub untuk bicara. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Hai Ayub, kautantang Aku, Allah Yang Mahakuasa; maukah engkau mengalah atau maukah engkau membantah?”
Menghadapi pertanyaan itu, dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, Ayub menjawab: ”Aku berbicara seperti orang bodoh, ya TUHAN. Jawab apakah yang dapat kuberikan? Tak ada apa-apa lagi yang hendak kukatakan.”
Ya, tiada kata yang keluar.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional