(Ayb. 4–5)
Kemungkinan besar keluh kesah Ayub mengagetkan para sahabat Ayub. Bagaimanapun Ayub dikenal sebagai pribadi saleh dan jujur, juga takut akan Allah. Tindakan Ayub mengutuki hari kelahirannya tak bisa dibenarkan. Itu sama saja marah kepada Allah. Bukankah kelahiran ada dalam kuasa Allah?
Tak bisa menahan diri, Elifas pun menegur Ayub, ”Ayub, kesalkah engkau bila aku bicara? Tak sanggup aku berdiam diri lebih lama. Banyak orang telah kauberi pelajaran, dan mereka yang lemah telah kaukuatkan. Kata-katamu yang memberi semangat, membangunkan orang yang tersandung, lemas dan penat. Tetapi kini engkau sendiri ditimpa duka; kau terkejut, dan menjadi putus asa. Bukankah engkau setia kepada Allah; bukankah hidupmu tiada cela? Jika begitu, sepantasnyalah engkau yakin dan tak putus asa” (Ayb. 4:2-6, Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini).
Elifas tampaknya tak percaya dengan apa yang didengarnya. Jika itu dikatakan oleh orang biasa itu terasa wajar. Namun, ketika itu keluar dari mulut Ayub—orang yang sering menguatkan hati orang dalam penderitaan—terasa sangat janggal. Dalam pemahaman Elifas, Ayub berbuat demikian karena putus asa.
Sebagai sahabat, sampai di sini kata-kata Elifas sungguh baik. Hanya, di sinilah persoalannya, keluh kesah Ayub membuat Elifas berpikir bahwa Ayub memang punya persoalan dengan Allah. Berbeda dengan istri Ayub yang sungguh mengenal suaminya, Elifas malah curiga terhadap kesalehan Ayub selama ini. Dan kata-katanya kemudian menjadi penghakiman: ”Camkanlah ini: siapa binasa dengan tidak bersalah dan di manakah orang yang jujur dipunahkan? Yang telah kulihat ialah bahwa orang yang membajak kejahatan dan menabur kesusahan, ia menuainya juga. Mereka binasa oleh nafas Allah, dan lenyap oleh hembusan hidung-Nya.” (Ayb. 4:7-9).
Jika kalimat Elifas berhenti pada ayat 6, Ayub kemungkinan besar akan berterima kasih karena diingatkan. Namun, kalimat berikutnya yang bernada vonis, pastilah menyakitkan hati Ayub. Seakan-akan Elifas berkata, ”Mbok kamu sadar, Yub! Sepertinya ada kejahatan yang kamu sembunyikan. Akuilah dan bertobatlah!”
Selanjutnya Elifas berkata, ”Sesungguhnya, berbahagialah manusia yang ditegur Allah; sebab itu janganlah engkau menolak didikan Yang Mahakuasa. Karena Dialah yang melukai, tetapi juga yang membebat; Dia yang memukuli, tetapi yang tangan-Nya menyembuhkan pula” (Ayb. 5:17-18). Kalimat-kalimat Elifas ini terkesan menguatkan, namun sejatinya Elifas hendak mengatakan bahwa semua itu teguran Allah. Dan itu berarti Ayub memang bersalah.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional