(Ayb. 3:1-26)
”Biarlah hilang lenyap hari kelahiranku dan malam yang mengatakan: Seorang anak laki-laki telah ada dalam kandungan. Biarlah hari itu menjadi kegelapan, janganlah kiranya Allah yang di atas menghiraukannya, dan janganlah cahaya terang menyinarinya. Biarlah kegelapan dan kekelaman menuntut hari itu, awan-gemawan menudunginya, dan gerhana matahari mengejutkannya” (Ayb. 3:3-5).
Demikianlah Ayub memulai keluh kesahnya. Mungkin kita bertanya-tanya, mengapa pula Ayub mengeluh? Bukankah dia pribadi tegar yang tahan banting? Bukankah dia yang bilang: ”Masak kita mau menerima yang baik, namun tidak mau menerima yang buruk?” Lalu mengapa pula dia mengutuki hari kelahirannya?
Bisa jadi Ayub menunggu pemulihan dari Allah. Mungkin juga dia berharap para sahabatnya membuat Allah luluh. Namun, seminggu telah berlalu dan ternyata keadaan tak berubah. Ayub pun banyak bertanya ”mengapa”? Mengapa dia lahir? Mengapa ada orang tua yang merawatnya? Mengapa dia tidak mati saja setelah lahir?
Bagaimanapun Ayub memang manusia. Dia bukan superman. Sehingga dia bertanya, mengapa pula dia mesti lahir kalau harus merasakan semuanya itu. Sehingga dia mengeluh dalam ayat 20-21 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, ”Mengapa manusia dibiarkan terus hidup sengsara? Mengapa terang diberi kepada yang duka? Mereka lebih suka kuburan daripada harta, menanti maut, tapi tak kunjung tiba.”
Kelihatannya Ayub memang lebih suka mati ketimbang hidup. Tak heran dalam kalimat terakhir dia berkeluh dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Bagiku tiada ketentraman, aku menderita tanpa kesudahan.”
Ya, Ayub menderita tanpa kesudahan. Namun, menarik disimak pula, Ayub tak berniat bunuh diri. Sebab dia tahu kelahiran dan kematian adalah wewenang Allah sendiri. Dan dia masih menghargai Allah.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional