Posted on Tinggalkan komentar

Syarat Kemuridan

(Luk. 14:25-27)

Untuk menjadi murid-Nya, Yesus punya syarat. Syaratnya terkesan berat. Bayangkan: membenci anggota keluarganya sendiri. Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Kalau orang datang kepada-Ku, tetapi lebih mengasihi ibunya, bapaknya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, malah dirinya sendiri, ia tidak bisa menjadi pengikut-Ku.”

Jelaslah, menjadi murid tidak berarti membenci hubungan-hubungan keluarga. Namun, seorang murid harus menomorduakan hubungan-hubungan keluarga itu. Bahkan, hubungan dengan diri sendiri pun harus dinomorduakan.

Dalam gaya bicara orang Semit, menurut Rama Gianto, ungkapan ”membenci” biasa dipakai untuk menggambarkan sikap tidak memihak. Begitu pula ”mengasihi” maksudnya sama dengan berpihak. Dalam mengikuti jalan menuju Kerajaan Allah orang diingatkan agar tidak lagi memihak pada ikatan-ikatan kekerabatan atau mengikuti naluri menyelamatkan diri. Mengapa? Bukan karena mengikuti Yesus itu bertolak belakang dengan ikatan-ikatan tadi, melainkan agar perkara Kerajaan Allah tidak dibataskan lagi menjadi perkara “mengurus nyawa sendiri” dan dibawahkan pada kelembagaan sosial yang tumbuh dari ikatan-ikatan keluarga.

Di sini, tuntutan Yesus jelas. Guru dari Nazaret menginginkan semua hubungan keluarga dinomorduakan karena Allahlah yang menciptakan semua hubungan itu. Agak aneh memang, kita menomorduakan Allah, yang telah mengaruniakan semua hubungan itu kepada kita.

Syarat kedua: memikul salib dan mengikuti Yesus. Perkataan ini janganlah kita pahami sebagai ajakan mencari-cari salib. Yesus, Sang Guru, memikul salib. Para murid-Nya pun harus memikul salib. Bukan salib Yesus yang dipikul, tetapi salib mereka sendiri. Artinya, meneladani Kristus. Dan ketika para murid memikul salibnya, maka sama seperti Yesus mereka juga akan mengalami kemuliaan yang sama.

Dalam semua ayat itu, ”memikul salib” dan ”mengikut aku” tak bisa dipisahkan satu dari yang lainnya. Bila dipisahkan, beban yang dipikul orang bisa-bisa bukan lagi salib yang membawa ke ”keselamatan”, tetapi berhenti pada penderitaan yang tak berujung.

Yoel M. Indrasmoro


Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *