(Luk. 14:25-27)
Mari kita perhatikan konteks pembicaraan Yesus dengan para muridnya perihal kemuridan. Lukas dengan baik menampilkan sebuah kenyataan: ”Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya.”
Inilah kenyataannya: banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus. Lukas tidak menyatakan dengan jelas berapa banyak orang yang berduyun-duyun itu. Namun, kita bisa menduga bahwa jumlahnya pasti tidak sedikit. Dan kita memang tidak pernah tahu apa motivasi mereka mengikuti Yesus.
Berkaitan dengan perjalanan, maka yang dimaksudkan Lukas adalah perjalanan ke Yerusalem, tempat di mana Yesus menuntaskan misi hidup-Nya: mati dan bangkit. Nah, persoalan besarnya ialah apakah orang yang berduyun-duyun ini akan setia mengikuti Yesus hingga Yerusalem. Apakah mereka akan tetap menjadi murid saat mengetahui visi dan misi Sang Guru?
Berkenaan orang banyak yang berduyun-duyun itu, Yesus berkata, ”Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Sang Guru tampaknya membedakan antara orang yang datang dan orang yang menjadi murid. Yang datang belum tentu menjadi murid. Memang banyak yang datang. Itu patut dihargai. Namun, apakah mereka layak disebut murid? Ini memang perkara berbeda.
Murid memang bukan sekadar datang. Pengunjung dapat datang dan pergi kapan saja. Kalau ada waktu datang, kalau enggak punya waktu, ya nanti saja! semuanya tergantung mood, perasaan hati, dan tentu saja sangat situasional sifatnya. Menjadi murid tidak menunggu mood, tidak tergantung perasaan hati, dan sifatnya tentulah kekal.
Murid juga beda dengan simpatisan. Simpatisan tentu saja hubungannya lebih dekat ketimbang pengunjung. Akan tetapi, semuanya itu berdasarkan simpati seseorang. Simpati, menurut KBBI, berarti rasa kasih, rasa setuju, rasa suka, keikutsertaan merasakan perasaan orang lain. Ujung-ujungnya perasaan lagi. Dan kita sulit mengharapkan komitmen dari para simpatisan. Sekali lagi, perasaan seseorang cenderung berubah, bahkan senantiasa berubah.
Dan Yesus memanggil orang untuk tidak hanya menjadi pengunjung, simpatisan, tetapi menjadi murid.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional