Posted on Tinggalkan komentar

Simeon dan Hana

(Luk. 2:22-38)

”Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat, ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: ’Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.’” (Luk. 2:27-32).

Simeon, seorang yang benar dan saleh, menyambut anak itu. Perhatikan catatan Lukas tentang Simeon! Dia adalah seorang yang benar dan saleh, yang menantikan penghiburan bagi Israel. Benar berkaitan apa yang ada dalam diri seseorang; saleh berkait dengan apa yang tampak; tingkah laku.

Dan ketika menyambut Anak itu, Simeon tidak ragu-ragu. Dia tidak merasa perlu menilai Anak itu berdasarkan keberadaan orang tuanya. Namun, dengan yakinnya, dia bersaksi tentang Anak itu. Ini masalah kepekaan. Dan Simeon seorang yang peka!

Kepekaan itu, tentunya tidaklah berasal dari kemampuan Simeon sendiri, Lukas mencatat: ”Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus.” (Luk. 2:27). Jelas, kepekaan Simeon adalah karena dia mendengarkan suara Roh Kudus. Dan karena peka terhadap suara Roh Kudus inilah, Simeon menggemakan kembali nubuat Yesaya (Yes. 62:2).

Tak hanya Simeon, yang peka. Lukas mencatat bahwa Hana pun datang ke Bait Allah, mengucap syukur kepada Allah, dan berbicara tentang bayi Yesus kepada semua orang yang menantikan kelepasan untuk Yerusalem. Hana begitu yakinnya bersaksi kepada orang yang ada di situ tentang bayi Yesus itu.

Jika Simeon bersaksi kepada Yusuf dan Maria, maka Hana bersaksi kepada orang-orang yang ada di situ. Hana mengajak orang-orang yang ada di situ untuk mengarahkan pandangan mereka kepada Yesus Kristus.

Pertanyaannya sekarang: Apakah kita sungguh-sungguh ingin menjadikan kehendak Allah dalam diri kita? Apakah kita sungguh-sungguh peka terhadap suara Allah. Jangan hanya mendengarkan suara kita! Kita perlu mendengarkan suara Allah. Yang juga penting ialah apakah yang kita lakukan sungguh-sungguh mengarahkan orang kepada Yesus Kristus? Hanya dengan cara itulah kita sungguh-sungguh membuktikan bahwa kita adalah hamba Allah.

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *