Daud mengawali Mazmur 128 dengan sebuah pernyataan: ”Aku hendak bersyukur kepada-Mu dengan segenap hatiku, di hadapan para allah aku akan bermazmur bagi-Mu.” Mengapa Daud menggunakan frasa ”dengan segenap hati”? Mungkinkah memuji Allah tidak dengan segenap hati? Kelihatannya itu memang mungkin, bahkan sering terjadi.
Satu contoh yang diambil dalam hubungan antarmanusia. Ketika memuji orang lain, kadang kita perlu merasa memeriksa motivasi diri kita sendiri bukan? Apakah pujian itu tulus—sepi ing pamrih? Bukankah, kadang yang terjadi, dan kita mengakui dalam hati, kita memuji agar kita pada gilirannya mendapatkan pujian dari orang tersebut.
Lalu, bagaimana dengan pujian kepada Allah? Tentu saja, tak elok rasanya mengharapkan pujian dari Allah. Namun, kadang kita merasa, layaklah sekiranya Allah memberikan berkat-Nya kepada kita. Pada titik ini pujian kepada Allah tak lagi murni. Tak lagi segenap hati karena kita memang mengharapkan imbalan. Belum lagi, jika kita berharap adanya pujian manusia ketika mereka menyaksikan kita memuji Dia.
Tentu saja, tidak berarti kita tak perlu memuji Allah. Namun, kita perlu waspada. Caranya? Baiklah kita selalu ingat untuk memuji Allah dengan segenap hati. Jika kita merasa motivasi kita tak tulus-tulus amat, marilah kita meminta Allah untuk memurnikan hati kita!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa