”Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion. Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian sukacita: ’Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!’ Bagaimanakah kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?”
Demikianlah penyair mengawali Mazmur 137. Memelihara iman memang bukan pekerjaan mudah. Dan memelihara iman sungguh teruji ketika seseorang dalam keadaan ekstrem. Itulah yang terjadi dalam diri orang-orang buangan. Di Babel mereka diminta untuk mengumandangkan nyanyian-nyanyian Sion.
Tak mudah memang. Akan tetapi, sejarah membuktikan bahwa umat Israel di Babel ternyata mampu mempertahankan imannya. Tak sedikit yang akhirnya pulang dan membangun Yerusalem kembali. Di negeri asing itu, sekali lagi, tak mudah memelihara iman. Bisa bertahan saja sungguh sesuatu yang patut disyukuri. Dan itulah yang dilakukan umat Israel dalam pembuangan.
Tentu, mereka berharap mukjizat Allah. Namun, mukjizat sebenarnya ialah kala mereka tetap bertahan dalam iman mereka. Pertumbuhan iman dalam situasi dan kondisi ekstrem merupakan mukjizat sebenarnya.
Pertanyaannya sekarang: Masih bertumbuhkah iman kita di tengah pandemi ini?
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Andrew Seaman