Dalam bait pertama Mazmur 107, pemazmur menulis: ”Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Biarlah itu dikatakan orang-orang yang ditebus TUHAN, yang ditebus-Nya dari kuasa yang menyesakkan, yang dikumpulkan-Nya dari negeri-negeri, dari timur dan dari barat, dari utara dan dari selatan.”
Sebab Ia baik! Itulah alasan pujian kepada Allah. Kebaikan Allah itu dijabarkan dalam kalimat ”Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya. Kebaikan Allah tidak bersifat temporer, tak terkandung keadaan, tetapi melampaui waktu itu sendiri.
Mungkin persoalannya memang di sini. Berbeda dengan Allah manusia dibatasi oleh waktu, dan sering kali pandangan manusia hanya berbilang tahun. Sehingga tak selalu mudah untuk manusia memahami kebaikan Allah. Kadang manusia baru bisa sungguh-sungguh menyadari kebaikan Allah dalam sebuah peristiwa ketika telah berjarak cukup lama dengan perisitiwa itu.Karena itu, pemazmur mengajak orang-orang tebusan Allah untuk memuji Allah.
Jadi, dasarnya bukan peristiwa-peristiwa sehari-hari—yang kadang membuat kita tak begitu memahami kebaikan Allah; tetapi peristiwa penebusan. Penebusan—kematian dan kebangkitan Yesus Orang Nazaret—merupakan alasan terkuat kita memuji Allah. Karena dalam penebusan itu kita menjadi milik-Nya.
Dan berkait dengan kepemilikan itu sendiri, Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus menyatakan: ”Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38-39).
Ya, itulah alasan utama kita terus memuji Allah, khususnya di tengah pandemi ini.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa