(Lukas 4:31-32)
”Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa.”
Demikianlah catatan Lukas. Orang di rumah ibadat itu takjub karena perkataan Yesus penuh kuasa. Tentu saja, kesimpulan itu hanya mungkin terjadi ketika mereka mendengarkan Sang Guru, yang baru saja ditolak di Nazaret.
Pendengaran yang baik akan menolong seseorang mendapatkan apa yang terpenting dalam hidup. Persoalannya, tak banyak orang suka mendengarkan orang lain. Karena salah satu prinsip dalam mendengarkan adalah seseorang harus diam. Jika tidak, dia hanya akan mendengarkan kata-katanya sendiri. Nah, kalau sudah begini, peribahasa orang Indian Cherokee layak disimak: ”Dengarlah, atau kata-katamu akan membuat engkau tuli!”
Ya, di mata mereka cara Yesus mengajar terasa berbeda. Dia mengajar penuh kuasa. Dia tidak bertindak sebagai sumber kedua atau sumber ketiga, melainkan sumber pertama. Yesus adalah narasumber sejati. Jika ahli Taurat mengajarkan sesuatu yang dipelajari dan dipahami, Yesus tak perlu mempelajari bahan ajar karena Dialah ajaran itu sendiri. Yesus tidak mengajarkan firman Allah. Dialah Firman.
Berbeda dengan ahli Taurat yang mengulang, menafsir, dan memberikan pendapat orang lain, Yesus berbicara atas nama-Nya sendiri. Dia sungguh Pribadi berwibawa.
Dalam dunia pendidikan, manusia normal pastilah senang diajar guru yang memiliki wibawa akademis. Di sini akreditasi menjadi sangat beralasan. Kita mungkin tak enak hati sendiri menyaksikan guru yang mencari-cari dan menegakkan wibawa di hadapan naradidik.
Sejatinya, wibawa intrinsik pada diri manusia. Guru memang perlu menguasai bahan ajar. Namun, wibawa tak melulu soal nalar. Wibawa tak cuma soal otak, tetapi juga sikap dan tingkah laku. Wibawa tak hanya kena-mengena dengan cara pikir, tetapi juga cara sikap dan tindak seseorang.
Yesus menjadi sangat berwibawa di hadapan para pendengarnya karena hidup-Nya merupakan perwujudan kata-kata-Nya. Kalimat-kalimat Yesus merupakan rumus verbal dari perbuatan-Nya. Ada keselarasan antara omongan dan tindakan; antara kata dan karya. Dan itulah yang dinamakan integritas.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional