(Lukas 4:29-30)
”Mereka bangkit, lalu menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu. Tetapi Ia berjalan lewat dari tengah-tengah mereka, lalu pergi.”
Para pendengar Yesus tak lagi mampu menahan kemarahannya. Kekaguman telah berubah menjadi kebencian. Begitu bencinya hingga mengharapkan kematian bagi orang yang pernah mereka kenal.
Dalam Alkitab Bahasa Indonesia Sederhana tertera: ”Mereka berdiri lalu menyeret Dia ke luar kota sampai ke tebing gunung. Kota mereka terletak di atas gunung itu. Mereka membawa Dia ke situ dengan maksud untuk mendorong Dia ke dalam jurang. Tetapi, Yesus menerobos orang banyak itu, lalu pergi.”
Kita bisa membayangkan apa yang terjadi saat itu. Yesus diseret ke luar dari rumah ibadah dan diseret terus hingga ke tebing gunung. Lukas tidak menceritakan berapa jauh dari rumah ibadah itu ke tebing gunung, juga berapa lama mereka menyeret Yesus. Yang pasti, mereka tidak lagi menghargai orang yang sempat mereka kagumi. Mereka juga sudah tidak lagi menghargai Yusuf dan Maria sebagai orang tua Yesus. Mereka sudah kalap. Keinginan mereka cuma satu: kematian Yesus.
Kita bisa bertanya sejenak, ”Tak adakah yang membela Yesus?” Bisa jadi memang tidak ada. Kalau ada pun pasti lebih memilih diam. Lagipula, Yesus dipandang telah merendahkan kota mereka. Membela Yesus sama saja mencari mati.
Namun, Lukas mencatat, sampai di pinggir tebing, Yesus malah leluasa menerobos dan pergi dari situ. Apakah maknanya? Sederhana: kematian adalah prerogatif Allah. Tak mungkin ada orang mati di luar kehendak Allah. Pemahaman ini semestinya bisa menjadi penghiburan kita juga.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional