(Luk. 15:20)
”Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia.” Demikianlah respons Sang Bapa ketika menyaksikan kepulangan anaknya.
Sang Perawi, Yesus Orang Nazaret, agaknya hendak menyatakan bahwa kepulangan si Bungsu merupakan prioritas Sang Bapa. Bisa jadi setiap hari dia melihat ujung jalan rumahnya sembari berharap si Bungsu pulang.
Tentunya dia sudah mendengar bahwa anaknya sudah jatuh melarat, tetapi dia sendiri tidak mau membujuk anaknya pulang. Dia agaknya ingin anaknya itu pulang karena kemauannya sendiri. Bujukan, terlebih paksaan, hanya akan membuat si Bungsu merasa terpaksa dan tidak merdeka.
Sikap dan tindakan yang sama juga diterapkan sewaktu si Bungsu meminta harta yang menjadi haknya. Sang Bapa tidak marah. Bahkan, Sang Bapa juga tidak menahan si Bungsu saat mau pergi ke luar rumah. Dia tahu menahan si Bungsu hanya akan membuatnya kesal, merasa terpaksa, dan tidak merdeka. Apa artinya hanya fisiknya yang berada dalam rumah, sedangkan pikiran dan angannya mengembara ke luar rumah.
Nah, ketika melihat si Bungsu di ujung jalan, dia pun terharu. Harapannya terkabul. Dan dia tak menunggu si Bungsu menghadap, tetapi lari menyambut anaknya. Kata Martin Luther, bangsawan Yahudi biasanya menjaga perbawanya. Namun, Sang Bapa lari mendapatkan anaknya. Tak sekadar itu, dia juga merangkul dan mencium dia. Semua itu merupakan bukti nyata dari kasihnya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional