(Luk. 15:21-24)
”Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap Bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak Bapa.” Demikianlah perkataan si Bungsu kepada ayahnya. Dia menyadari bahwa dia tak lagi layak disebut anak.
Menarik di simak, Sang Perawi, Yesus Orang Nazaret, agaknya sengaja membuat cerita bahwa si Bungsu tidak bisa melanjutkan kalimatnya karena Sang Bapa keburu menukasnya. Semestinya, sesuai rencana, si Bungsu akan melanjutkannya dengan kalimat: ”jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.”
Ya, rencana kepulangan si bungsu adalah memohon menjadi hamba, namun Sang Bapa, dalam cerita Sang Perawi, agaknya tak mau si Bungsu meneruskan permohonannya. Dia tidak ingin anaknya berpikir bahwa dia lebih cocok menjadi hamba. Dalam pandangan Sang Bapa, anak tetap anak. Statusnya tak pernah berubah. Memang dia telah berbuat salah. Namun, kesalahannya itu tak bisa mengubah statusnya. Dan tentu saja itu merupakan prerogatif Sang Bapa. Bapa ingin memulihkan diri anaknya. Dia, yang tak merasa layak sebagai anak, tetap diteguhkan sebagai anak.
Inilah pemulihan itu, dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Cepat! Ambillah pakaian yang paling bagus, dan pakaikanlah kepadanya. Kenakanlah cincin pada jarinya, dan sepatu pada kakinya. Sesudah itu ambillah anak sapi yang gemuk dan sembelihlah. Kita akan makan dan bersukaria. Sebab anakku ini sudah mati, sekarang hidup lagi; ia sudah hilang, sekarang ditemukan kembali.”
Tak ada hukuman. Yang ada hanyalah penerimaan. Apa pun keadaan si Bungsu, Sang Bapa tetap mengingatkan dirinya juga para pelayannya bahwa dia adalah anaknya. Status tersebut tidak berubah. Tentu saja selama anak itu mau menyadari keberadaannya dan akhirnya pulang.
Sang Bapa, yang merupakan gambaran dari Allah, adalah sumber kehidupan. Meninggalkan Allah berarti kematian. Dan hidup akan kembali didapatkan ketika manusia menyadari keberadaannya dan pulang. Persoalannya, tak banyak orang yang berani pulang, kadang karena malu, tetapi lebih sering karena sulit memercayai bahwa Allah akan menerima kepulangannya.
Kisah ini mengingatkan selalu ada jalan pulang. Pintu Allah selalu terbuka.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional