(Luk. 15:11-20)
Perumpamaan Anak yang Hilang bisa jadi membuat kita—orang percaya abad XXI—merasa tergiring dan langsung mengidentifikasi diri pada sosok si Bungsu. Kita merasa sering bersikap layaknya si Bungsu, yang merasa mempunyai hak atas harta Sang Bapa, menjauh dari Sang Bapa, hidup sesukanya, dan akhirnya pulang sebagai pribadi yang sadar.
Kisahnya berawal dengan sebuah permintaan: ”Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik yang menjadi hakku.” Pada titik ini si Bungsu merasa punya hak. Pertanyaannya: Benarkah si Bungsu memiliki hak atas harta itu? Jawabnya: Tentu saja tidak. Mengapa? Sebab orang tuanya belum mati. Bahkan, ketika orang tuanya mati pun, dia tidak memiliki hak jika orang tuanya tidak mewariskan harta itu kepadanya.
Namun, yaitu tadi, karena merasa punya hak, si Bungsu pergi ke luar rumah untuk hidup bebas dari Bapanya. Dia merasa mandiri. Sebagai pemilik dia merasa boleh menggunakan harta itu sesukanya. Dan karena cuma dihabiskan, harta itu pun lenyap dalam sekejap. Hidupnya pun merosot drastis menjadi hamba penjaga babi, yang bahkan tak diizinkan memakan makanan babi.
Sang Perawi dengan piawai menyatakan: ”Lalu ia menyadari keadaannya…”. Dan kesadaran tidak berhenti pada kesadaran, tetapi pada tindakan untuk pulang ke rumah Bapa untuk meminta ampun sekaligus melamar menjadi seorang upahan.
Ya, pada akhirnya si Bungsu pulang sebagai orang yang menyadari keberadaannya. Dia berani pulang karena memang tidak ada tempat lain yang akan menerimanya. Dia berani pulang karena percaya Sang Bapa akan mengampuninya. Dan dia siap menjadi upahan sebagai suatu pertanggungjawaban atas apa yang pernah dia lakukan. Dia pulang sebagai pribadi yang berbeda.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional