(Luk. 12:35-40)
”Hendaklah pinggangmu tetap berikat dan pelitamu tetap menyala. Hendaklah kamu sama seperti orang-orang yang menanti-nantikan tuannya yang pulang dari perkawinan, supaya jika ia datang dan mengetuk pintu, segera dibuka pintu baginya. Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Ia akan mengikat pinggangnya dan mempersilakan mereka duduk makan, dan ia akan datang melayani mereka. Apabila ia datang pada tengah malam atau pada dini hari dan mendapati mereka berbuat demikian, maka berbahagialah mereka. Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pukul berapa pencuri akan datang, ia tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.”
Pinggang berikat dan pelita menyala berarti setiap hamba menyadari status kehambaannya. Hamba itu, ya, melayani. Dan status itu tidak ditentukan situasi dan kondisi. Di mana saja dan kapan saja hamba itu, sekali lagi, melayani.
Itu seperti hamba yang menanti-nantikan tuannya. Tentunya, orang yang menanti-nantikan tuannya itu siap berhadapan dengan tuannya. Artinya, dia telah siap memberi jawab seandainya tuannya menanyakan sesuatu kepadanya.
Nah, sejatinya kita, orang percaya abad xxi, sedang hidup dalam masa penantian akan kedatangan Kerajaan Allah. Menanti-nantikan Allah berarti hidup berdasarkan penantian akan kedatangan Kerajaan Allah itu. Orang-orang yang menanti-nantikan Allah berarti siap mempertanggungjawabkan apa yang telah Allah percayakan kepadanya.
Namun, yang menarik disimak dalam perumpamaan ini, saat kita hidup dalam penantian itu, Allah sendiri yang akan melayani kita. Dan inilah sumber penghiburan sejati: Allah melayani kita. Adakah yang membahagiakan ketimbang hal ini?
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional