(Luk. 13:6-9)
Ada harapan besar sang pemilik terhadap pohon ara itu. Dia ingin menikmati buah ara. Namun, harapan tinggal harapan. Dengan heran, bercampur marah, sang pemilik berseru, ”Lihatlah, sudah tiga tahun aku datang mencari buah pada pohon ara ini dan aku tidak menemukannya. Tebanglah pohon ini! Untuk apa ia hidup di tanah ini dengan sia-sia!”
Tiga tahun memang bukan waktu sebentar. Dan menanti bukan hal yang menyenangkan. Tiap tahun dia perhatikan pohon itu. Namun, dia tetap kecewa. Lalu, apa artinya sebatang pohon ara tanpa buah? Kemarahannya ini memuncak dalam dalam sebuah kata kerja: tebang!
Meski demikian, sang pengurus kebun merasa sayang melakukan permintaan sang pemilik. Dia masih memiliki daya sabar yang luar biasa. Dengan memohon, sang pengurus kebun berjanji untuk mencangkul dan memberi pupuk, tentunya dengan satu tujuan: sang pohon akan berbuah.
Dia masih memiliki harapan terhadap pohon tersebut. Dia percaya, sang pohon masih bisa berguna, asal dia mau berbuah. Dia minta tambahan waktu. Namun demikian, toh dia sadar, jika waktu itu tak kunjung memberi hasil, maka hanya ada satu kata kerja pula bagi sang pohon: ditebang!
Menarik disimak, tampaknya sang pengurus sadar bahwa tugasnya cuma memelihara. Berbuah tidaknya pohon itu di luar kemampuan sang pengurus. Sehingga, dia hanya berani berkata, ”Mungkin tahun depan ia berbuah.”
Ya, dia hanya berani berkata mungkin. Kepastian buah memang bukan tanggung jawab sang pengurus. Tanggung jawabnya hanyalah memelihara. Dan perihal berbuah merupakan tanggung jawab pohon itu sendiri.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita telah berbuah? Jika belum, perumpamaan itu juga kisah kita. Dan kita mesti bersyukur karena dibela oleh Sang Pengurus dan Sang Pemilik masih memberi waktu.
Namun, jangan pula kita lupa bahwa kesempatan itu pun ada batasnya. Berbahagialah karena kita belum sampai pada masa tenggat itu! Masih ada waktu untuk bertobat. Jika tidak, kita akan ditebang!
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional