Dalam ziarahnya ke Yerusalem, di awal Mazmur 121, penyair menulis: ”Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung….” Yerusalem dibangun di atas bukit sehingga dari situ orang bisa bebas melayangkan pandangannya. Tak hanya melayangkan pandang, penyair merasa perlu bertanya: ”Dari manakah datangnya pertolonganku?”
Tersirat penyair butuh pertolongan. Pertanyaan ini juga memperlihatkan kepada kita bahwa pemazmur sadar dia tidak mungkin hidup sendiri. Dia butuh pertolongan. Dan dia bertanya, ”Siapakah yang menjadi penolongnya?”
Berbicara soal penolong, pemazmur jujur. Sejak lahir, manusia butuh pertolongan manusia lain. Tangisan pertama merupakan tanda. Tangisan pertama merupakan bukti bahwa dia merasa tidak aman di dunia. Dan karena itulah, dia butuh pertolongan.
Manusia memang berbeda dengan anak ayam yang setelah keluar dari cangkang telur bisa langsung berjalan. Manusia butuh waktu setahun untuk berjalan. Dan dalam berjalan pun dia butuh pertolongan manusia lain untuk mengajarinya berjalan.
Penyair menyadari, di atas semuanya itu Tuhanlah yang menjadi sumber pertolongannya. Dengan tegas pemazmur menjawab sendiri pertanyaannya dengan: ”Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Pemazmur mengaku hanya Tuhanlah sumber pertolongan hidupnya. Ini merupakan sebuah pengakuan iman.
Meski demikian, jika dirunut lebih jauh, pengakuan iman ini lahir dari alur pikir sederhana. Manusia butuh manusia lain. Dan manusia lain itu tidak hadir dengan sendirinya. Tuhanlah yang menciptakannya. Sehingga, pada dasarnya hidup manusia memang ditopang oleh Tuhan sendiri. Dan karena itu layaklah setiap manusia berseru, ”Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.”
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Joshua Earle