(Ayb. 16:1-6)
”Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua! Belum habiskah omong kosong itu? Apa yang merangsang engkau untuk menyanggah?” (Ayb.16:2-3). Ayub kembali tak bisa menahan dirinya. Dengan marah dia menyebut para sahabatnya itu penghibur sialan.
Mari kita perhatikan kembali para sahabat Ayub itu! Mulanya mereka datang untuk menghibur Ayub. Selama tujuh hari tujuh malam mereka duduk bersama-sama dengan Ayub. Dan selama seminggu itu mereka juga tidak mengucapkan apa pun. Mereka hanya duduk bersama dengan Ayub, mencoba merasakan penderitaan Ayub. Tanpa kata, dalam peristiwa seperti Ayub, adalah penghiburan sesungguhnya.
Akan tetapi, para sahabatnya itu agaknya tak bisa menahan diri mereka ketika mereka mendengarkan keluh kesah Ayub. Mereka menganggap tindakan itu bukanlah hal yang patut diperbuat oleh orang sekaliber Ayub. Karena itulah mereka mencoba menasihati Ayub. Dan Ayub tak bisa menerima nasihat itu karena dia memang merasa tak ada yang salah dalam dirinya. Nah, ketidakbersalahan itulah yang membuat para sahabat itu makin menekan Ayub. Yang berpuncak pada kemarahan Ayub dalam frasa ”penghibur sialan”.
Dalam ayat 4-5 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, Ayub berkata: ”Seandainya kamu ini aku, dan aku kamu, aku pun dapat bicara sama seperti itu. Kubanjiri kamu dengan penuturan; kepalaku akan kugeleng-gelengkan. Hatimu akan kukuatkan dengan berbagai anjuran; kata-kataku akan memberi penghiburan.”
Ya, memang mudah berkata-kata. Namun, kata-kata memang tidak mengurangi, malah menambah, penderitaan. Dan itulah yang dirasakan Ayub. Bahkan Ayub mengakui bahwa kata-kata yang keluar dari bibirnya memang tidak membuat penderitaannya menjadi ringan, tetapi berdiam diri juga tak ada gunanya.
Sekali lagi, berkait dengan penderitaan hidup, berdiam diri adalah tindakan bijak. Dalam diam kita mungkin akan lebih mampu mendengar diri kita sendiri, juga suara Allah. Itulah penghiburan sesungguhnya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional