(Ayb. 15:17-35)
”Orang fasik menggeletar sepanjang hidupnya, demikian juga orang lalim selama tahun-tahun yang disediakan baginya. Bunyi yang dahsyat sampai ke telinganya, pada masa damai ia didatangi perusak?” (Ayb. 15:20-21).
Demikianlah gambaran hidup orang fasik menurut Elifas. Orang jahat akan merasa cemas sepanjang hidupnya dan perampok akan mendatanginya pada saat aman. Apa yang dikatakan Elifas memang tidak salah, namun perkataan itu bisa diartikan Ayub sebagai gambaran atas diri dan penderitaannya. Dengan kata lain Elifas menganggap Ayub sebagai orang fasik.
Apalagi, menurut Elifas, orang fasik mengalami semuanya itu ”karena ia telah mengedangkan tangannya melawan Allah dan berani menantang Yang Mahakuasa; dengan bertegang leher ia berlari-lari menghadapi Dia, dengan perisainya yang berlapis tebal” (Ayb. 15:25-26). Selintas kita—para pembaca masa kini—bisa langsung menduga bahwa Elifas memang sedang menyindir Ayub. Ya, siapa lagi yang berani mengedangkan tangannya melawan dan berani menentang Allah? Bukankah itu yang dilakukan Ayub?
Sebenarnya, tentu hanya kita—pembaca masa kini—yang bisa menyimpulkan, keberanian Ayub terhadap Allah itu berbeda dengan keberanian orang fasik. Keberanian Ayub itu bukanlah karena ia hendak melawan Allah, tetapi karena ia percaya bahwa Allah itu Mahakuasa dan Mahakasih. Ayub berani bersitegang urat leher di hadapan Allah karena ia tahu Allah mengetahui bahwa ia benar. Jadi, tindakan Ayub bukanlah tanpa dasar. Dia bersikap seperti itu karena percaya Allah sungguh adil dan mengasihinya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional