Posted on Tinggalkan komentar

Pencobaan di Padang Gurun

(Luk. 4:1-13)

”Sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik” (Luk. 4:13).

Berkait Kisah Pencobaan di Padang Gurun, Lukas punya catatan menarik. Menurut dia, alasan Iblis mundur bukanlah karena merasa kalah, bukan pula karena tahu bahwa pendirian Yesus tak mungkin goyah. Akan tetapi, Iblis merasa saatnya tidak tepat. Ini cuma soal waktu.

Iblis menunggu waktu yang baik. Jika terhadap Yesus saja, Iblis merasa hanya soal waktu; bagaimana pandangannya terhadap para pengikut Yesus? Lalu, apa yang mesti kita lakukan?

Pertama, kita harus senantiasa waspada. Jangan lengah sedetik pun. Saat kita lengah, Iblis akan langsung menyambar kesempatan itu.

Logisnya, manusia memang harus lebih waspada ketimbang Iblis. Sebab, Iblis berada pada posisi menyerang. Tingkat kewaspadaan pada pihak yang diserang semestinya memang lebih tinggi.

Kedua, bersikap rendah hati. Jangan sok kuat! Jangan sekali-kali kita berkata, baik terucap maupun dalam hati, ”Saya tak mungkin jatuh!” Kesombongan macam begini hanya akan membuat kita lengah dan akhirnya jatuh beneran.

Ketiga, mari kita mencontoh sikap Yesus dalam mengatasi ketiga cobaan itu!

Perut keroncongan bukan alasan kuat bagi Yesus untuk mengubah batu menjadi roti. Dia juga tidak tergoda untuk membuktikan jati diri-Nya. Dia tetap Anak Allah, meski tak mengubah batu menjadi roti.

Iblis sanggup memberikan kuasa, namun Allah Mahakuasa. Kuasa adalah anugerah. Jika kita mengakui kemahakuasaan Allah, kita akan terhindar dari pencarian kuasa.

Iblis mencobai manusia untuk membuktikan kasih Allah. Dia mencobai manusia untuk membuktikan kesetiaan-Nya. Dia mencobai manusia untuk mencobai Allah. Untuk cobaan kayak begini, Yesus tegas berkata, ”Jangan engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” (Luk. 4:12).

Jelaslah, Iblis tidak mencobai manusia dalam kawasan hitam-putih, melainkan abu-abu. Sekilas, cobaan Iblis kepada Yesus tidak ada yang salah. Ya, apa salahnya mengubah batu menjadi roti kala lapar, apa salahnya menjadi berkuasa, apa salahnya mencari tahu apakah Tuhan mengasihi atau tidak?

Pada titik ini, kita perlu hikmat. Caranya? Kembangkanlah alur pikir alkitabiah, bukan ayatiah! Pahamilah ayat secara benar, utuh, menyeluruh, dan seimbang. Jangan sepotong-sepotong!

Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional

Bagikan:
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *