Pemazmur memulai Mazmur 130, nyanyian ziarahnya, dengan seruan: ”Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku.”
Pemazmur menyadari posisinya. Dia sedang berada di dalam jurang yang dalam. Dan keberadaan itu dipahaminya sedikit banyak karena kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Sehingga dia pun mengakui pada ayat 3-4: ”Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, Tuhan, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang.”
Sesungguhnya manusia memang senantiasa bergumul dengan dosanya. Itu jugalah pengakuan Paulus dalam suratnya: ”Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat” (Rm. 7:18-19).
Jelaslah, jika Allah mengingat dosa-dosa kita, siapakah manusia yang dapat tahan? Namun demikian, inilah penghiburan bagi semua manusia: di dalam Allah ada pengampunan. Dan pegampunanlah yang membuat manusia percaya diri untuk mengakui segala kesalahannya.
Kenyataannya memang demikian, lebih mudah bagi kita untuk meminta maaf kepada rekan kita kalau kita tahu dia mengasihi dan siap memaafkan kita. Allah jelas lebih mengasihi kita ketimbang manusia. Dan karena itu, bersama pemazmur kita—sebagaimana ayat 5-6 dalam Bahasa Indonesia Masa Kini—kita berseru, ”Aku menantikan bantuan TUHAN, janji-Nya kuharapkan. Aku merindukan TUHAN, lebih dari seorang peronda merindukan fajar.”
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Weston MacKinnon