(Ams. 1:15-19)*
Jika dalam ayat 10, penulis Kitab Amsal mengajak para pembacanya untuk waspada, maka dalam ayat 15-16 dia menasihati: ”Hai anakku, janganlah engkau hidup menurut tingkah laku mereka, tahanlah kakimu dari pada jalan mereka, karena kaki mereka lari menuju kejahatan dan bergegas-gegas untuk menumpahkan darah.”
Jika tidak diberi ruang, maka kejahatan itu akan mati dengan sendirinya. Persoalannya memang di sini: tak hanya diberi tempat, kejahatan malah dihidupi. Dan ketika dihidupi kejahatan akan beranak pinak. Satu kejahatan akan berlanjut ke tindak kejahatan lainnya.
Kisah klasik Daud dan Batsyeba merupakan contoh konkret. Mulanya Daud mengingini Batsyeba, istri Uria. Keinginan tak terkendali itu berlanjut dengan pencurian istri orang dan perzinaan. Karena ingin menutupi kejahatannya, Daud mencoba menipu Uria dengan memanggilnya pulang dari medan pertempuran untuk bersetubuh dengan istrinya. Karena gagal, Daud—dengan perantaraan Yoab—akhirnya membunuh Uria melalui tangan orang Raba. Daud pun akhirnya menjadikan Batsyeba, yang telah menjadi janda, sebagai istri. Perkawinan itu menyempurnakan kejahatan Daud.
Jelaslah, sekali lagi, saat dihidupi kejahatan makin merajalela, bahkan tak logis. Penulis Kitab Amsal, dalam ayat 17-18 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, menyatakan: ”Sedangkan burung pun tidak akan masuk ke dalam jaring yang dibentangkan di depan matanya, tetapi orang-orang jahat itu malah memasang jerat untuk dirinya sendiri—jerat yang akan mencelakakan mereka.”
Karena itu, baiklah kita belajar untuk mengelola keinginan kita. Yakobus menyatakan: ”Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya” (Yak. 1:14). Ya, kita perlu mengelola keinginan kita.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Marc Kleen