(Ayb. 10:18-22)
”Mengapa Engkau menyebabkan aku keluar dari kandungan? Lebih baik aku binasa, sebelum orang melihat aku! Maka aku seolah-olah tidak pernah ada; dari kandungan ibu aku langsung dibawa ke kubur” (Ayb. 10:18-19). Dalam kebingungan, sekaligus kekecawaan, menanggung semua penderitaannya, Ayub mewakili banyak orang mempertanyakan eksistensi dirinya: Mengapa aku lahir?
Berkait kelahiran, tentu saja, tak ada seorang pun yang pernah meminta untuk dilahirkan dari dunia. Semua itu merupakan prerogratif Allah. Sehingga yang bisa menjawab pertanyaan itu memang Allah saja. Ya, mengapa kita lahir di dunia. Kalau lahir hanya untuk merasakan derita, lalu mengapa harus lahir. Pada titik ini manusia yang menanyakan eksistensi diri sejatinya sedang menanyakan pula eksistensi Allah—Sang Pencipta.
Konsep bahwa Allah itu Mahakasih sering membuat manusia mempertanyakan kasih-Nya. Dan kasih Allah sering diukur bukan dalam ukuran Allah, tetapi dalam ukuran manusia. Dan ukuran manusia itu: jika kita baik, maka kita akan menerima kebaikan; jika kita jahat, maka kita akan dijahati orang lain. Sehingga ketika kita baik, namun menerima hal yang buruk, dianggap sebagai suatu kesalahan.
Ketika Allah membiarkan hal itu terjadi, Allah dianggap telah bertindak tidak adil. Dan menerima ketidakadilan dari Allah—yang dipahami sebagai Mahaadil—menjadikan manusia frustrasi. Sebab siapakah yang sanggup melawan Allah?
Dan karena itulah, kepada para sahabatnya, Ayub berkata dalam ayat 20 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini: ”Ah, tak lama lagi aku akan mati, maka biarkanlah aku sendiri, agar dapat aku menikmati masaku yang masih sisa ini.” Tampaknya Ayub memang tak hanya kecewa dengan Allah, tetapi juga para sahabatnya.
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional