(Pengkhotbah 7:5-6)
Berkait teguran, sang pemikir menyimpulkan: ”Mendengar hardikan orang berhikmat lebih baik dari pada mendengar nyanyian orang bodoh. Karena seperti bunyi duri terbakar di bawah kuali, demikian tertawa orang bodoh. Ini pun sia-sia.”
Saat ditegur—sebaik apa pun teguran itu—toh kita sering merasa sakit. Namun, sang pemikir menasihati, dalam ayat 7 Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini, ”Lebih baik ditegur oleh orang yang berbudi, daripada dipuji oleh orang yang sukar mengerti.” Mengapa? Karena orang berbudi pasti tahu mengapa dia menegur. Dia punya alasan kuat.
Yang paling celaka adalah mendapat pujian dari orang yang tidak mengerti. Itu tak ubahnya pepesan kosong. Hampa. Tiada makna. Ini seperti halnya semak duri yang terbakar di bawah kuali. Pada masa itu, ketika bahan bakar sulit diperoleh, orang memakai carang-carang duri yang kering. Duri itu terbakar dengan cepat, tetapi hanya memberi sedikit panas. Tak terlalu berguna sebenarnya. Apa maknanya bagi kita?
Ketika ada orang yang menegur kita, logislah jika kita bersyukur karena ada orang yang menyediakan waktu untuk menegur kita. Selanjutnya kita perlu menelaah teguran itu. Masuk akalkah? Sungguh demi kepentingan diri kitakah? Jika ya, berterima kasihlah kepadanya. Sekali lagi, karena dia sungguh-sungguh mengasihi kita.
Itu berarti, kita juga dipanggil untuk menegur orang lain. Namun, kita harus punya alasan kuat untuk menegurnya. Dan, ini yang penting, sungguh-sungguh demi kepentingan orang tersebut dan bukan sekadar untuk menunjukkan bahwa kita lebih baik darinya.
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa