(Pengkhotbah 4:17–5:6)
Berkait dengan relasi dengan Allah, dalam ayat 17 sang pemikir memberikan nasihat jitu: ”Jagalah langkahmu, kalau engkau berjalan ke rumah Allah! Menghampiri untuk mendengar adalah lebih baik dari pada mempersembahkan korban yang dilakukan oleh orang-orang bodoh, karena mereka tidak tahu, bahwa mereka berbuat jahat.”
Sepertinya yang dimaksud dengan ”langkah” tak cuma gerakan fisik, tetapi gerakan hati. Itu juga berarti motivasi. Mengapa? Karena kalimat berikut, dalam Alkitab Bahasa Indonesia Masa Kini tertera: ”Lebih baik pergi ke situ untuk belajar daripada untuk mempersembahkan kurban, seperti yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Mereka itu tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.”
Kita, orang percaya abad XXI, agaknya perlu juga bertanya dalam hati: Apakah motivasi kita ke rumah Allah? Sekadar ritual atau karena ingin belajar dari Allah? Apakah kita sungguh-sungguh ingin mendengarkan suara-Nya?
Dalam Perjanjian Baru, nasihat sang pemikir bergema dalam kisah Maria dan Marta. Lukas mencatat: ”Ketika Yesus dan murid-murid-Nya dalam perjalanan, tibalah Ia di sebuah desa. Seorang perempuan yang bernama Marta menerima Dia di rumahnya. Perempuan itu mempunyai seorang saudara yang bernama Maria. Maria ini duduk dekat kaki Tuhan dan terus mendengarkan perkataan-Nya, sedangkan Marta sibuk sekali melayani” (Luk. 12:38-40). Sang Guru dari Nazaret mengatakan bahwa Maria telah memilih bagian terbaik yang takkan mungkin diambil orang lain. Ya, siapa yang bisa mengambil suara yang telah didengarkan Maria?
Allah selalu ingin menyapa manusia. Persoalannya, tak sedikit orang merasa punya banyak perkara yang harus dibicarakan dengan Allah. Padahal yang ingin dibicarakan Allah pastilah lebih penting. Tak heran, jika sang pemikir pun akhirnya menegaskan: ”Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit” (Pkh. 5:1).
Nah, mari kita berhemat kata!
SMaNGaT,
Yoel M. Indrasmoro
Literatur Perkantas Nasional
Foto: Istimewa